Merajut Asa di Kala Duka

oleh

(Refleksi Hari Pendidikan Nasional)

Oleh Johansyah*

 

johansyah-mudeKASUS pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS) yang cukup menghebohkan, dan kasus kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang berujung maut, kiranya cukup mengguncang dunia pendidikan nasional. Inilah yang menjadi salah satu kado ‘istimewa’ di hari pendidikan nasional (hardiknas) ini, yang setiap tanggal 2 Mei kita peringati. Ini adalah petaka bagi dunia pendidikan kita yang membuat hati miris dan sedih.

Situasi ini harus disikapi dengan bijak dan kalau bisa mampu melahirkan solusi. Tidak penting untuk mengklaim dan menuduh siapa yang salah, tetapi semua harus berani mengaku salah dan harus berusaha memperbaikinya secara sinergis dan simultan. Akan menjadi rumit ketika kita menyalahkan sekolah, atau menyalahkan pemerintah karena keluarga dan masyarakat juga punya peran penting, begitu pula sebaliknya. Semuanya merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Dalam sebuah acara dialog TV swasta (02/05), Rektor Universitas Paramadina, Anis Baswedan mengatakan; ‘kita jangan hanya memperlihatkan sisi kelam dan kegagalan dari dunia pendidikan nasional, harus dilihat pula sisi-sisi keberhasilan pendidikan yang sudah di capai dalam dunia pendidikan, dan itu dapat menjadi contoh dan inspirasi bagi lembaga pendidikan lain yang ada di Indonesia”.

Meski pun demikian, artikel ini akan tetap melihat beberapa persoalan inti pendidikan. Bukan kritik emosional, tetapi untuk memetakan problem pendidikan yang sedang kita hadapi sehingga ada kemungkinan untuk mencari solusinya. Langkah yang nudah untuk melihatnya adalah dengan melihat dari perspektif struktural dan kultural. Perspektif pertama terkait dengan kebijakan pemerintah, kepemimpinan pendidikan, dan lembaga pendidikan. Sedangkan perspektif kedua terkait dengan partisipasi masyarakat dan pendidikan dalam keluarga.

Dari aspek struktural, kebijakan pemerintah jelas sangat berperan dalam menentukan langkah strategis-implementatif pendidikan. Semua yang dilakukan sekolah merupakan wujud akumulasi kebijakan pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Jika kebijakan yang dibuat baik, maka implikasi logisnya adalah akan adakemaslahatan, tidak ada yang merasa terdiskriminasi dan dirugikan. Sebaliknya jika kebijakan itu buruk, maka akan melahirkan kemudaratanberupa ketidakpuasan dan rasa terdiskriminasi.

Untuk itu, setiap langkah dan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah harus mampu mewakili suara nurani ujung tombak pelaksana kebijakan, terutama guru. Jangan sampai kebijakan pendidikan justru menyulitkan dan menghambat kinerja guru. Sebagai contoh, ada kebijakan yang belakangan membuat resah guru, seperti yang tertuang dalam petunjuk teknis penyaluran tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD)  melalui mekanisme transfer daerah 2014.

Khusus Bab III huruf B nomor 1, butir e, menyatakan bahwa sesuai dengan peraturan perundangan, guru yang tidak  memenuhi beban tatap muka 24 jam per minggu, maka tunjangan profesinya tidak dibayar. Ini  ditafsirkan oleh pemerintah daerah kalau tidak mengajar satu jam saja maka seluruh  tunjangan profesi guru selama sebulan tidak  dibayarkan (Republika Online, 01/05). Saya kira tidak satu guru pun menerima kebijakan ini, karena ada upaya pengaburan hak-hak mereka. Inilah contoh kebijakan yang tidak maslahah yang menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan kita.jika di telisik, maka lumayan banyak kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kehendak para pemerhati dan praktisi pendidikan di tingkat bawah, terutama guru.

Persoalan struktural lain yang juga sangat berpengaruh terhadap laju perkembangan pendidikan nasional adalah kepemimpinan pendidikan. Menteri pendidikan, Dirjen, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, dan semua administrator pendidikan, semua itu akan memberi warna dalam menata situasi ril pendidikan. Ketika sistem yang dibangun rusak, maka akan sangat berpengaruh terhadap situasi pendidikan di sekolah. Memang tidak terkait langsung, tapi dampaknya dapat dilihat nyata.

Dalam hal kepemimpinan pendidikan, persoalan pokoknya adalah krisis teladan. Sedikit sekali dari administrator pendidikan yang dapat dijadikan panutan atau contoh. Padahal garis komando pendidikan secara hieraskis tidak mungkin menafikan para administrator dalam proses dan keberhasilan pendidikan. Atasan peserta didik adalah guru, atasan guru adalah pengawas dan kepala sekolah, atasan kela sekolah adalah kepala dinas, atasan kepala dinas adalah kepala dinas pendidikan provinsi, terus sampai kepada menteri. Pada kenyataannya, sebagian besar administrator yang bertengger pada masing-masing tingkatan tadi tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap perkembangan dan kemajuan pendidikan, sebab mereka membeli posisi yang dia tempati sehingga menyebabkan orietasinya lebih cenderung individu, pragmatis, berpikir aku bukan kita, dan berpikir sekarang bukan yang akan datang.

Akibatnya, pendidikan karakter yang didengung-dengungkan oleh pemerintah sendiri tidak pernah terbangun secara permanen dan sempurna karenabanyak para administrator pendidikan yang cacat moral atau berkarakter rusak (broken character). Bahkan boleh jadi, pendidikan karakter itu justru dijadikan ladang proyek dan ‘makanan lezat’ para administrator pendidikan.

Sementara itu, dari aspek kultural ada kesan bahwa masyarakat dan keluarga sudah mulai melempar tanggung jawab pendidikan. Sekolah dijadikan satu-satunya wadah yang diharapkan untuk membangun kecerdasan fisik dan mental anak-anak, sementara orang tua banyak yang terjebak dengan kesibukan sendiri dengan beragam dalih. Padahal nilai-nilai etika moral yang sesungguhnya itu hanya di peroleh di lingkungan masyarakat dan keluarga.

Corak budaya yang berkembang dalam masyarakat itulah sebenarnya nilai etika yang kita tawarkan kepada mereka dan menjadi kurikulum pendidikan karakter yang sesungguhnya. Sekolah sebenarnya hanya berperan sebagai penguat nilai-nilai etika tersebut. Di sisi lain, bukankah interaksi dan komunikasi antara anak dan orang tua dalam keluarga juga sangat menentukan kondisi jiwa, cara berpikir dan cara berbuat anak-anak? Lalu mengapa hal ini diabaikan, mengapa orang tua mencari seribu satu alasan dan argument, bahkan menyalahkan pemerintah ketika anak mereka gagal dalam menempuh pendidikan, padahal dia sendiri tidak pernah serius dan maksimal membimbing dan mendidik anaknya.

Akhirnya, petaka moral yang menimpa dunia pendidikan kita merupakan potret lemahnya partisipasi, kontribusi serta tanggung jawab kita terhadap pendidikan, baik di lingkungan struktural maupun dalam wilayah kultural. Pendidikan nasional hanya akan maju dan berkembang baik apabila ada kepedulian dan tanggung jawab bersama dari kita. wallahu a’lam!

*Pengamat pendidikan. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.