Catatan: Muhammad Syukri
Seandainya RA Kartini masih hidup pasca Pemilu Legeslatif (Pileg) 9 April 2014 lalu, bukan hanya tokoh perempuan Gayo yang prihatin dan berduka atas hasil Pileg di Aceh Tengah. RA Kartini juga akan menangis atas rendahnya keterpilihan calon legeslatif (caleg) perempuan di kabupaten ini.
Kenapa? Coba baca pandangan Kartini melalui surat-surat yang ditulisnya kepada Estelle Zeehandelaar, dia mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu (sumber: Wikipedia).
Di abad ke-21 ini, semua cita-cita Kartini sudah terwujud. Perempuan sudah bebas sekolah setinggi-tingginya, tidak lagi dipingit, bisa memilih laki-laki yang disukainya, dan sudah ada regulasi tentang perkawinan yang melindungi hak kaum perempuan. Bahkan sesuatu yang belum pernah dicita-citakan Kartini waktu itu, kini sudah bisa diraih oleh seorang perempuan, yaitu menjadi politisi.
Sebagaimana halnya laki-laki, seorang perempuan mempunyai hak untuk mencalonkan diri dalam Pemilu. Siapapun tidak bisa melarang seorang perempuan untuk menjadi caleg, bupati, walikota, gubernur bahkan presiden. Siapapun tidak berhak mengungkung keinginan perempuan untuk berkiprah di parlemen.
Hebatnya lagi, regulasi pemilihan umum sangat memihak kepada perempuan. Dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pencalonan Anggota DPRD ditegaskan bahwa partai politik wajib memenuhi syarat kuota 30% caleg perempuan disetiap daerah pemilihan.
Hasilnya, menjelang Pileg 2014, terpajanglah sejumlah baliho atau spanduk yang berisi gambar caleg perempuan disepanjang jalan dan tempat strategis lainnya. Selain pajangan baliho, caleg perempuan juga turun ke desa-desa menjumpai konstituen dengan tawaran berbagai program dan rencana aksi.
Semua caleg, termasuk caleg perempuan optimis akan memperoleh suara yang sangat signifikan dalam pemungutan suara tanggal 9 April 2014. Asumsi itu berangkat dari apresiasi konstituen terhadap program-program yang mereka tawarkan. Kursi parlemen sudah terbayang didepan mata, begitu kira-kira.
Siapa sangka, suara pemilih di Kabupaten Aceh Tengah ternyata tidak memihak kepada caleg perempuan. Dari ratusan caleg perempuan yang mencalonkan diri dalam Pileg 2014 ini, ternyata hanya seorang yang berhasil lolos ke DPRK Aceh Tengah yang menyediakan 30 kursi.
Dia adalah Asmayanti, caleg Partai Hanura dari Daerah Pemilihan (Dapil) II. Sebelumnya, hasil Pileg 2009, tercatat dua orang caleg perempuan yang berhasil lolos ke DPRK Aceh Tengah, yaitu Ramiyanti dari Partai Golkar, dan Arlina dari Partai Demokrat.
Didasarkan atas regulasi yang mensyaratkan 30% kuota caleg perempuan untuk setiap dapil, seharusnya caleg perempuan yang lolos ke DPRK Aceh Tengah adalah 9 orang atau 30%. Faktanya, caleg perempuan yang berhasil duduk di DPRK Aceh Tengah hasil Pileg 2014 hanya 1 orang atau 3,3%.
Lantas, kemana larinya suara pemilih perempuan di Aceh Tengah? Padahal pemilih perempuan yang tercatat di DPT Aceh Tengah mencapai 62.016 orang atau 50,09% dari 123.790 pemilih. Melihat komposisi dan potensi pemilih perempuan, seharusnya caleg perempuan yang berhasil duduk di DPRK Aceh Tengah mencapai 15 orang.
Angka diatas membuktikan bahwa mayoritas pemilih perempuan di Aceh Tengah cenderung memilih caleg laki-laki. Kenapa mereka tidak memilih caleg perempuan? Inilah yang aneh. Sebenarnya perlu dilakukan sebuah penelitian terkait fenomena yang sangat menarik ini.
Sebagai masukan terhadap mereka yang ingin melakukan penelitian tentang fenomena itu, mari disimak pandangan seorang pemilih perempuan terhadap caleg yang dipilihnya. Kisahnya begini, usai mencoblos di bilik suara sebuah TPS di Desa K, 9 April 2014 lalu, seorang ibu rumah tangga (IRT) berbaju pink berlari-lari kecil untuk bergabung kembali dengan teman-temannya yang belum dapat giliran menyoblos.
Kerumunan ibu-ibu itu berjarak 4 meter dari tempat penulis mengantri. Walaupun agak jauh, tetapi suara ibu-ibu itu masih terdengar jelas ditelinga penulis. Nah, begitu IRT berbaju pink itu bergabung dengan teman-temannya, dalam bahasa Gayo, seorang ibu bertanya: “Siapa kamu coblos?”
“Kan Bapak yang ibu bilang kemarin,” kata ibu berbaju pink itu sambil melakukan gerakan cas dengan si penanya itu.
Rupanya, ibu yang bertanya tadi adalah ketua kelompok itu, juga tim sukses dari caleg laki-laki yang mereka pilih. Sepertinya, si ibu itulah yang meyakinkan pemilih di Desa K itu. Makanya dia sangat serius ketika bertanya siapa yang dicoblos anggota “geng”-nya.
Padahal, dari Desa K tersebut terdapat tiga orang caleg perempuan yang juga maju dalam Pileg 2014. Caleg perempuan itu tidak mereka pilih, dan kalah di TPS-nya sendiri. Kelompok ibu-ibu tadi lebih suka memilih caleg laki-laki walaupun berasal dari desa lain. Entah kenapa?
Jelaslah bahwa isu gender atau solidaritas sesama perempuan ternyata bukan jaminan dalam demokrasi. Dengan sistem pemilihan langsung, one man one vote, suara pemilih tidak bisa diprediksi apalagi dikontrol. Itulah resiko demokrasi yang jadi pilihan kita, tentu apapun hasilnya tak layak untuk ditangisi.