Memperlambat Kepunahan Bahasa Gayo

oleh

Oleh: Desy Fatmala Makhmud

New Picture (1)MUNGKIN judul yang kami buat terlalu ekstrim. Betapa tidak, sebagaimana dinyatakan  Prof. Dr. Zainuddin Taha seorang pakar Budaya dan Bahasa dari Universitas Negeri Makasar (UNM) bahwa pada abad ini 50 persen dari 5000 bahasa di dunia akan punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa, Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Lebih lanjut  dikatakan, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu

Masalah kepunahan bahasa lebih lanjut dijelaskan oleh Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedangkan puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini dalam keadaan teramcam punah. Temuan ini didapat dari hasil penelitian pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.

Memang pernyataan Sugono tidak memasukkan bahasa daftar bahasa Gayo yang termasuk terancam punah. Namun kalau kita melihat jumlah penutur bahasa Gayo yang tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Aceh (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, sebagian Aceh Timur) tidak mencapai 1 juta orang atau termasuk kelompok bahasa minor. Namun kalau mengacu pendapat Dr. Gufran Ali Ibrahim pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun Ternate, dalam makalahnya pada Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi Karsa Jakarta, 28 Oktober-1 November 2008, “Sebagian besar dari bahasa-bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnik minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki begitu beragam bahasa dan budaya”.

Bagaimana dengan kelangsungan bahasa Gayo? Sebab Prof. Dr. Asim Gunawan (Pakar bahasa dari Universitas Indonesia)  berpendapat bahwa bahasa Jawa  juga terancam punah. Padahal kita ketahui, bahasa Jawa termasuk bahasa berpenutur puluhan juta orang dan memiliki struktur pembinaan yang baik, memiliki lembaga pengkajian dan program studi di beberapa perguruan tinggi. Sedangkan bahasa Gayo tidak memiliki lembaga pembinanaan dan tidak ada lembaga pengkajian perguruan tinggi yang mengkosentrasikan pada pembinaan dan pengembangan bahasa Gayo.

Berdasarkan beberapa  pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa bahasa Gayo termasuk bahasa yang terancam punah atau kehilangan penuturnya. Memang sebagaimana sebagaimana dinyatakan Prof.  Dr Asim Gunarwan, kepunahan sebuah bahasa berlangsung cukup lama, yakni sekitar 75-100 tahun atau tiga generasi.

            Karena bahasa termasuk bahasa yang terancam punah, tugas kita sebagai orang Gayo atau orang yang peduli pada Gayo adalah memperlambat atau menghambat kepunahan bahasa Gayo. Berikut penulis kutip pendapat Safriandi, S.Pd dalam makalahnya yang berjudul “Pergeseran, Pemertahanan, dan Kepunahan  Bahasa” dan secara singkat dapat penulis kemeukakan sebagai berikut.

  1. Vitalisasi etnolinguistik. Vitalisasi etnolinguistik ini pernah diterapkan pada bahasa Ibrani yang dipakai oleh masyarakat Yahudi. Bahasa ini pernah berada di ambang kepunahan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang Yahudi yang dibasmi oleh Hitler dalam sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama holocaust. Diperkirakan sebanyak 3 juta orang Yahudi dibunuh oleh Hitler. Jumlah ini belum termasuk orang Slav, orang Polandia non-Yahudi, orang Roma dan Sinti, kaum Freemason, kaum Komunis, pria homoseksual, dan saksi Yehowa. Jika dikelompokkan, jumlah pembasmian mencapai 60 juta jiwa (Widada, 2007:39). Akibat pembunuhan terhadap 3 juta orang Yahudi tersebut, penurut bahasa Ibrani dengan sendirinya berkurang. Oleh karena itu, untuk menghambat punahnya bahasanya, dilakukanlah vitalisasi etnolinguistik terhadap bahasa Ibrani sehingga bahasa tersebut sekarang manjedi bahasa nasional.
  2. Yang dapat dilakukan adalah dengan menggiatkan penerbitan majalah berbahasa berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa Aceh bagi media elektronik.
  3. Memasukkan sebagian kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional. Berkaitan dengan hal ini, sebut saja misalnya bahasa Aceh. Kosakata ini setahu penulis tidak ada dalam bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia. Anda boleh mencermati Kamus Besar Bahasa Indonesia. Padahal, kosakata bahasa Aceh juga berpotensi menjadi kosakata bahasa Indonesia layaknya bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang sebagian kosakata bahasanya telah menjadi kosakata bahasa Indonesia. Salah satu contoh yang dapat ditampilkan adalah timplak. Kata ini mempunyai arti mencela atau celaan (Aboe Bakar, dkk. 1985:985). Kata ini sangat cocok menjadi kosakata bahasa Indonesia. Secara kaidah bahasa, yaitu konsep peluluhan, bunyi awal kata ini memenuhi syarat peluluhan. Jika bunyi awal diluluhkan, kata timplak akan menjadi menimplak jika diimbuhkan imbuhan meN- dan dapat pula menjadi penimplakan jika diimbuhkan konfiks peN-an. Dari segi pelafalan pun, kosakata ini tidak sulit dilafalkan oleh penutur nonbahasa Aceh. Kasus yang sama juga dapat diterapkan pada kata padubawa. Dari segi pelafalan, kata ini sangat mudah dilafalkan oleh penutur nonbahasa Aceh. Selain itu, konsep pelafalan juga memenuhi kata ini. Jika dilekatkan imbuhan meN-, kata ini menjadi memadubawa, atau jika dilekatkan afiks peN-, kata tersebut akan menjadi pemadubawa(-an).
  4. Menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan, bukan semata-semata hanya mata pelajaran muatan lokal dan juga dimasukkan ke uji UKBD. Jika bahasa Aceh, berarti uji UKBA, yaitu uji kemahiran bahasa Aceh.
  5. Membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah. Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke sekolah, media massa baik cetak maupun elektronik yang memiliki program atau jam tayang yang menggunakan bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya diimbangi dengan insentif yang layak.

 

Biodata Penulis
Nama :  Desy Fatmala Makhmud
TTL  : Takengon, 4 Desember 1997
Pendidikan : Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 4 Takengon
Alamat Rumah : Lingkungan Amal 154 Blang Kolak 1 Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.