Orang Tua dan Guru

oleh
Drs Jamhuri (foto:tarina)

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA

jamhuri
jamhuri

Ketika seorang anak menginjak usia sekolah orang tua sering menyerahkan anaknya kepada guru, mereka tidak mau tau apakah anaknya mau jadi orang atau mau jadi apa yang pentignya terserah kepada guru, sehingga banyak dari orang tua yang berkomunikasi dengan sekolah hanya ketika mengambil raport (itupun kalau disuruh orang tua yang mengambilnya) atau ketika waktu ada rapat wali murid pada awal tahun untuk menentukan pembangunan. Sehingga banyak dari orang tua yang berpikiran ketika pihak sekolah mengundang mereka (para orang tua) untuk datang kesekolah pasti ada keperluan yang berhubungan dengan uang pembangunan sekolah, walaupun sebenarnya dugaan itu salah. Untuk lembaga pendidikan yang lebih maju (modern) hubungan antara orang tua dengan guru disekolah tidak lagi sebatas komunikasi mengambil raport dan penambahan pembangunan tetapi sudah menjamah kepada komnikasi pemberitahuan guru kepada orang tua tentang PR (pekerjaan Rumah) si anak didik atau memberi ingat kepada anak didik melalui alat komunikasi (HP atau telephon) orang tua untuk belajar lebih rajin dirumah karena akan ada ulangan atau mendekati ujian. Demikian juga dengan orang tua yang selalu berkomunikasi dengan guru di sekolah tentang perkembangan anak di ruang kelas dan hubungan anak dengan para guru dan teman-teman mereka.

Itulah perbedaan pola pendidikan yang di anut oleh masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, dimana orang tua tidak hanya menjadikan anak sebagai anak ketika berada di rumah dan guru atau sekolah yang tidak hanya menjadikan anak sebagai anak didik ketika di sekolah dan pada jam belajar. Perubahan pola ini dilakukan dikarenakan kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan dan karena kesinambungan pendidikan antara anak yang masih dalam didikan orang tua (pra sekolah) dengan pendidikan di lembaga pendidikan yang sangat diperlukan untuk membentuk kepribadian anak.

Pemahaman bahwa anak sebelum sekolah dengan anak setelah sekolah seolah tidak ada hubungan adalah salah, kendati dalam realitanya ini tidak pernah di ucapkan oleh para pendidik tetapi dalam kenyataannya para guru jarang mempertanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian anak (seperti bagaimana orang tua mengajarkan kepribadian kepada anak, tentang cara bertutur kata, sikap kepada keluarga dan orang-orang disekitar keluarga si anak). Kebanyakan guru menganggap bahwa hal itu sudah selesai dalam pengajaran orang tua, padahal pertanyaan itu merupakan penghubung antara ilmu kepribadian yang ajarkan oleh orang tua dengan ilmu sosial yang akan didapatkan anak ketia ia berada dalam lembaga pendidikan. Juga orang tua jarang menanyakan bagaimana komunikasi anak mereka dengan teman-teman yang berbeda strata, kekayaan atau juga dengan teman-temannya yang berbeda suku malahan berbeda agaman.

Pendidikan anak ketika masih dalam asuhan orang tua (pra sekolah) lebih beroriantasi kepada pengenalan diri sebagai seorang anak (egois), pada saat itu ia berupaya mengenal dirinya, posisi diri dari keluarga terdekat (sedarah). Siapa yang paling mengasihi, menyayangi dan siapa yang paling banyak memperhatiikan diri mereka, kepada siapa ia harus memanggil bapak, mamak, nenek, kakek kakak, abang, adik dan lain-lainnya. Sedang ketika ia berada di bangku sekolah dan di dalam bimbingan guru pendidikan lebih berorientasi kepada pengetahuan terhadap orang lain atau apapun yang berada di luar diri mereka (Altruistik). Pada masa ini si murid sudah berhubungan dengan orang yang berada di luar mereka, orang yang sekampung atau orang yang berbeda kampung, orang yang mempunyai orang tua yang sama profesi atau orang tua yang beda profesi, orang yang memiliki suku yang sama atau suku yang berbeda.

Seorang sosiolog (Emile Durkhem) dalam bukunya Pendidikan Mural suatu studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, melihat peran lembaga pendidikan terhadap pembentukan moral sosial anak lebih penting karena moral sosial sangat diperlukan untuk masa depan seseorang, dimana seseorang tidak mungkin bisa hidup tanpa adanya interaksi dengan orang lain, baik dalam pemenuhan kebutuhan sebagai individu juga pemenuhan kebutuhan sebagai anggota masyarakat. Beliau juga menjelaskan bahwa sejak anak dalam masa pendidikan guru sudah berperan untuk melatih anak keluar dari dirinya untuk segala yang ada di luar dirinya untuk selanjutnya membawa segala yang ada di luar untuk masuk kedalam dirinya.

Untuk meraih tujuan pendidikan “untuk mencerdaskan bangsa” dan guna meraih tujuan “hidup sejahtera di dunia dan sejahtera di akhirat” maka tidak salah bila kita katakan bahwa tugas guru sangat berat dan guru selalu dapat merubah anak didik sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan anak didik.

*Dosen pada Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, dan Dosen Pendidikan Agama pada Jurusan Gizi Poltikes Aceh.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.