Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Ketika melihat kondisi masyarakat Gayo yang kebanyakan dari mereka menumpukan hidup kepada bertani utamanya kopi, sering terdengar ucapan “ekonomi masyarakat saat ini lagi susah” belum berselang bulan kebelakang buah kopi banyak tetapi tidak ada harga, sekarang ini buah kopi tidak ada lagi harga juga semakin murah. Sebagian dari mereka yang tua-tua berkisah sekaligus menyesalkan banyaknya lahan persawahan yang kini telah ditanami kopi dan dijadikan untuk perluasan kampong atau kota.
Dalam masa resah seperti sekarang ini, mereka mulai berhitung dimana harga kopi (gelondong) Rp. 2500,-/bambu berarti 1 kaleng kopi hanya Rp. 25.000,- sedangkan harga beras satu karung 15 kg mencapai Rp. 120.000,-,berarti untuk 1 karung beras perlu lebih kurang 5 kaleng kopi. Mingkin selama ini hitungan seperti ini tidak pernah terucap dari mulut petani, karena masih ada perimbangan antara apa yang mereka hasilkan dari dari kebun kopi dengan apa yang dibutuhkan.
Itulah realita kehidupan masyarakat yang selama ini menumpukan hidup mereka kepada kopi semata malah banyak lahan yang seharusnya tidak dijadikan kebut tetapi berubah pungsi menjadi kebun sampai kepada halaman rumah sudah mereka ditanami dengan kopi, mereka tidak pernah memprediksi masa seperti sekarang ini akan terjadi, tidak ada juga orang yang memberi tahu masa-masa seperti ini akan terjadi. Sebagian dari mereka mengeluhi keadaan yang sedang mereka hadapi sambil menungu informasi apa yang seharusnya mereka lakukan.
Kondisi masyarakat seperti itu saya rekam dari ucapan dan keluhan mereka ketika saya pulang ke kampong saat lebaran ‘Idul Fithri dua minggu yang lalu, sebagai bagian dari masyarakat yang hanya bisa menduga saya mencoba memberi solusi untuk tidak hanya menumpukan hidup kepada tanaman kopi kendati sebagaimana semua orang mengetahui bahwa kopi merupakan komoditi ekspor. Mungkin sudah menjadi tuntutan dalam kehidupan modern supaya setiap orang tidak lagi berpegang kepada satu jenis tanaman dalam memenuhi kebutuhan, tetapi harus berusaha menjadi orang yang selalu berusaha dan bekerja untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan orang lain. Dengan tetap harus menjaga dan merawat tanaman kopi yang telah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan. Hal ini yang sebenarnya belum banyak dimanfaatkan orang Gayo, kita melihat sayur-sayur yang masuk kekampung-kampung banyak yang berasal dari Bireuen seperti kacang panjang, kangkung terong dan lain-lain, kenapa untuk sayur-sayur yang menjadi kebutuhan masyarakat Gayo harus dibawa dari luar.
Melihat kondisi alam Gayo yang sering dikatakan sebagai serpihan tanah surga seharusnya tidaklah terlalu resah dengan keadaan yang ada karena masih banyak yang bisa dilakukan oleh para penduduk Gayo yang berprofesi sebagai petani dengan tidak harus beralih profesi. Masyarakat telah lama hidup dengan berbagai tanaman sebelum mereka menanam kopi, kita masih teringat pada masa sebelum adanya kopi Gayo dikenal dengan tanaman tembakau pada saat itu juga sebagian orang Gayo telah merintis usaha dagang ke luar dari daerah Gayo, mereka menjual tembakau yang mereka tanam dan olah sendiri, Selain dari itu Gayo juga dikenal dengan berbagai macam tanaman palawija yang sampai sekarang masih menjadi tanaman unggulan, malah bila dilihat dari jumlah pendapatan pertahun masyarakat lebih untung menanam tanaman palawija dari pada kopi, hanya saja modal yang dikeluarkan untuk tanaman palawija lebih mahak dan masalah modal inilah sebagai salah satu alasan sehingga masyarakat menumpukan hidup kepada tanaman kopi.