Sabela Gayo[1]
Sejarah Singkat Perang dan Konflik di Aceh
Aceh merupakan satu wilayah yang terus mengalami pergolakan dalam menegakkan keadilan dan amar makruf nahi munkar. Peperangan demi peperangan terus melanda bumi Aceh sejak Kerajaan Belanda mengikrarkan perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1873. Perlawanan demi perlawanan terus dilakukan oleh para pejuang Aceh baik yang ada di pesisir maupun di datarang tinggi Gayo. Terdapat sejumlah nama yang tercatat dalam tinta emas sejarah Aceh sebagai para tokoh pejuang pemberani yang tak kenal takut dalam menghadapi serdadu Belanda seperti Inen Mayak Teri di daerah Serbejadi Lokop, Perlak, Idi dan sekitar kawasan pesisir pantai timur Aceh (sampai ke perbatasan Aceh Utara). Kemudian Laksamana Malahayati, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien di Aceh Barat, Cut Meutia di sekitar Aceh Utara, Panglima Aman Dimot di dataran tinggi Gayo, pesisir kota Medan, pesisir pantai timur Aceh dan Tanah Karo. Selanjutnya Panglima Polim, Tgk Maat di Tiro dan Tengku Ilyas Leube.
Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh pada waktu itu merupakan bentuk perlawanan atas ketidakadilan, kedzaliman dan tindakan sewenang-wenang para penjajah Belanda terhadap rakyat tempatan. Kemudian setelah hengkangnya Belanda dari Bumi Aceh dan masuknya Aceh sebagai salah satu propinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, kembali mengantarkan Aceh pada babak baru perlawanan atas nama ketidakadilan terhadap Pemerintah RI dengan bergabungnya sejumlah tokoh pejuang Aceh seperti Tgk Daud Berueueh dan Tgk Ilyas Leube ke dalam gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Perlawanan tokoh-tokoh tersebut merupakan bentuk jawaban atas ketidakadilan yang diberikan oleh Pemerintah RI terhadap Aceh dengan meleburkan Propinsi Aceh ke dalam Propinsi Sumatera Utara dan tidak diberlakukannya klausul kewajiban pelaksanaan syariat Aceh bagi para pemeluknya di dalam konstitusi RI. Kemudian pergolakan tersebut berkahir dengan ditandatanginya Ikrar Perjanjian di Desa Lamteh yang kemudian dikenal dengan nama Ikrar Lamteh.
Babak berikutnya seorang pemuda Aceh yang bernama Hasan Tiro mendeklarasikan sebuah bentuk perlawanan baru terhadap Pemerintah RI dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di gunung Halimon, Pidie pada tahun 1976. Gerakan tersebut lahir karena adanya ketidakadilan, kedzaliman dan tindakan sewenang-wenang Pemerintah RI terhadap hak-hak rakyat Aceh. Gerakan tersebut kemudian yang menjalin ikatan perdamaian dalam kerangka Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding) di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 yang lalu.
Silih berganti generasi di Aceh terus melahirkan sosok pembaharu yang berani memperjuangkan hak-hak dan nasib rakyat Aceh dan pejuang dalam melawan ketidakadilan, kedzaliman dan tindakan sewenang-wenang para penguasa.
MoU Helsinki dan produk hukum turunannya
Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah ditandatangi pada 15 Agustus 2005 yang lalu merupakan tonggak sejarah berkahirnya konflik bersenjata yang telah berlangsung ± 32 tahun. Seiring dengan perjalanannya pemerintah Republik Indonesia baru mengeluarkan beberapa produk turunan hukum MoU Helsinki dalam bentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana yang tercantum di dalam MoU Helsinki butir 1.1.1 bahwa implementasi butir-butir Nota Kesepahaman Bersama tersebut akan segera “diterjemahkan” ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia. sehingga terbitlah Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) maka semua produk hukum “turunan” undang-undang tersebut menjadi domain dan tanggung jawab sosial, moral dan hukum Pemerintah Republik Indonesia. ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (PERPRES) yang wajib diterbitkan oleh Pemerintah RI untuk melaksanakan UUPA seperti PP Migas, PP Partai Politik Lokal, PP Pembagian Kewenangan Pusat dan Aceh, PP Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah, PP Dewan Kawasan Sabang, dan Perpres Perubahan Status Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menjadi Satuan Kerja Pelaksana Aceh (SKPA). Diantara beberapa produk hukum “turunan” UUPA tersebut sudah ada beberapa yang diterbitkan walau secara substansi masih dirasa kurang memuaskan. Bahkan sampai hari ini setelah 8 (delapan) tahun MoU Helsinki ditandatangani, masih ada beberapa produk hukum “turunan” UUPA yang belum diterbitkan oleh Pemerintah RI, sehingga komitmen dan konsistensi Pemerintah RI terhadap keberlanjutan proses perdamaian Aceh masih dapat dipertanyakan. Padahal semua produk hukum tersebut merupakan ranah eksekutif yang notabene berada dibawah kepemimpinan Presiden RI.
Konflik Kewenangan antara Pusat dan Aceh
Paradigma yang harus dibangun antara Pemerintah RI dan Aceh adalah paradigma perdamaian dimana Aceh diberikan status sebagai daerah Otonomi Khusus dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri selain 6 (enam) jenis urusan yang sudah menjadi kewenangan mutlak pemerintah RI. Hal itu harus tegas dirumuskan di dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia dan tersosialisasi dengan baik di kalangan pejabat eselon I, II dan III Kementerian/Lembaga Negara di Jakarta. Bahkan jangan sampai kewenangan perijinan pendidikan, kewenangan investasi, kewenangan ekspor-impor, dan kewenangan-kewenangan lainnya yang tidak merupakan kewenangan pemerintah RI masih dipegang oleh pemerintah RI. Sebagai contoh, perijinan mendirikan institusi pendidikan baik dasar, menengah dan tinggi seharusnya tidak berada di tangan Kementerian Pendidikan Nasional lagi semenjak keluarnya UUPA yang mengatur secara khusus (bersifat lex specialis) kewenangan Aceh sebagai daerah Otonomi Khusus. Kewenangan memberikan ijin, mencabut ijin, mengawasi semua institusi pendidikan baik negeri maupun swasta di Aceh seharusnya sudah menjadi kewenangan mutlak pemerintah Aceh jika Otonomi Khusus untuk Aceh benar-benar diterapkan oleh Pemerintah RI. Demikian juga kewenangan lainnya diluar 6 (enam) urusan yang mutlak menjadi kewenangan pemerintah RI.
Jika kedua belah pihak berpegang teguh pada semangat perjanjian yang sudah ditandatangi di Helsinki dan beri’tikad baik untuk menjalankan masing-masing kewajiban yang menjadi tanggung-jawabnya maka tidak akan ada konflik kewenangan yang berarti antara pemerintah RI dan Aceh.
Mekanisme Khusus untuk Daerah Otonomi Khusus di Indonesia
Perlu dipertimbangkan untuk dibentuk suatu Kementerian Khusus di dalam Kabinet RI dalam rangka melakukan pengawasan, pengendalian, koordinasi dan pembuatan kebijakan khusus yang terkait dengan kekhususan wilayahnya masing-masing. Dan kewenangan Kementerian /Lembaga lainnya diberikan kepada Kementerian Khusus tersebut dalam rangka percepatan penanganan pembangunan di wilayah-wilayah khusus di Indonesia. sebagai contoh; Kewenangan Menteri Dalam Negeri terkait pengawasan dan pembinaan daerah Otonomi bagi wilayah-wilayah yang berstatus Otonomi Khusus diserahkan urusannya kepada Kementerian Khusus tersebut dan kemudian Kantor Wilayah Kementerian/Lembaga yang memang nyata-nyata masih merupakan kewenangan pemerintah pusat seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia masih tetap diperbolehkan keberadaannya di wilayah otonomi khusus tersebut tetapi khusus untuk kewenangan Kementerian/Lembaga Negara lainnya yang tidak merupakan kewenangan pemerintah pusat seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS) dan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Agama Islam (KOPERTAIS), Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara, Kantor Wilayah Badan Pemeriksa Keuangan, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pembangunan (BPKP) dan kantor-kantor Kementerian/Lembaga Negara lainnya yang tidak secara tegas dinyatakan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus masing-masing daerah sebagai kewenangan pemerintah pusat maka harus segera dihapuskan. Sebagai contoh, di dalam MoU Helsinki Pemerintah RI hanya berwenang terhadap 6 (enam) hal yang jelas-jelas secara nyata merupakan kewenangan pemerintah pusat yaitu; hubungan luar negeri, pertahanan eksternal, keamanan nasional, moneter dan fiskal, hukum dan kebebasan beragama. Sedangkan kewenangan Aceh sudah secara tegas dan nyata disebutkan bahwa berwenang mengatur semua sektor publik kecuali yang yang 6 (enam) hal tersebut diatas.
Jika pemerintah RI sungguh-sungguh ingin mengimplemetasikan poin-poin MoU Helsinki tersebut (yang juga sudah diserap ke dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh) maka insya allah proses perdamaian di Aceh akan langgeng dan tidak akan ada lagi muncul perlawanan bersenjata di kemudian hari di Bumi Johansyah Al-Khahar tersebut. Tetapi sebaliknya, selama kurun waktu 8 (delapan) tahun perjalanan perdamaian Aceh (terhitung sejak ditandatanginnya Nota Kesepahaman Bersama di Helsinki pada 15 Agustus 2005) belum juga ada tanda-tanda political will dari pemerintah RI terkait pelaksanaan semua butir-butir MoU tersebut maka dikhawatirkan hal tersebut dapat memicu kembali perlawanan “jilid baru” terhadap Pemerintah RI atas nama ketidakadilan, kedzaliman dan perbuatan yang sewenang-wenang.
[1] Kandidat Doktor Hukum Universiti Utara Malaysia dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Biro Bantuan Hukum-Sentral Keadilan (YBBHSK) www.bbh-sk.org