Oleh : Fauzan Azima*
Di hutan rimba, setiap lembah dan pematang ada makhluk Allah bertugas sebagai pengelola sumber daya alam di sana; baik makhluk hidup maupun benda mati. Masuk ke dalam kawasan hutan dan Mengambil sesuatu tanpa izin pengelolanya adalah ilegal dan bisa dituduh dengan pasal pencurian dan perbuatan tidak menyenangkan.
Sepatutnyalah sebelum masuk hutan, kita sudah dibekali ilmu pengetahuan tentang siapa “manajer ghaib” yang ada di sana. Setidaknya salam yang kita ucapkan langsung kepada makhluk yang beralamat di sana.
Sebelum masuk ke hutan belantara, tentu kita melewati zona “pesingiten belang orom uten (batas antara padang sabana dengan hutan)” atau perkebunan dengan hutan. Pada tempat tersebut kita ucapkan salam. Kalau kita tahu nama penunggunya langsung ucapkan salam kepada beliau. Misalnya daerah Bur Tedet di Samarkilang, wali negeri ghaib di sana bernama Tengku Ribun Tapa, maka lafadz salamnya; “Assalamualaikum Ya Tengku Ribun Tapa.”
Kalau kita tidak tahu siapa penjaga hutan tersebut, maka salamnya; “Assalamualaikum Ya Ahlul Badri.” Sedangkan bagi yang mencari rizki di dalam hutan rimba, maka salamnya adalah “Assalamualaikum Si Bujang Gempar, kami amanah polan mayo ku lokasimu (kami amanah Si Polan masuk dalam kawasanmu)”
Sebagai mana tingkat kesopanan kita di kampung, begitulah sepatutnya kita berlaku di tengah hutan. Bahkan sedawa dan buang angin pun tidak boleh sembarangan. Adat di dalam rimba bukan saja sebagai pengetahuan peraturan, tetapi sesuatu yang harus dilaksanakan ketika berada selama dalam hutan rimba.
Setelah mengucapkan salam, orang yang pertama masuk hutan mencari daun kayu yang tertelungkup dan membukanya. Tujuannya agar tidak sesat di dalam hutan, mudah mendapatkan air, tidak diganggu binatang buas dan melata, bebas dari sengatan lebah dan semut api, kecuali gangguan pacat yang termasuk binatang yang tidak mendengar amanah.
Prosesi membuka daun kayu juga penting agar tidak bertengkar sesama teman dan sampai ke tujuan tepat waktu, serta yang paling penting adalah jaminan keselamatan kita selama satu malam pada satu tempat dalam kawasan hutan rimba.
Selama berada di dalam hutan tidak boleh “pacah” atau berbuat sesuka hati. Sehingga menimbulkan ria dan takabbur.
Disarankan memakai tongkat untuk menunjukkan rendah hati dan tidak sombong sesuai amanah; “Remalam betungket dan peri beperabun (berjalan memakai tongkat dan berbicara disamarkan atau tidak langsung).”
Memotong kayu pun tidak boleh sembarangan. Mintalah izin kepada nabinya; “Ya Nabiyullah Nuh, izinkan aku mengambil kayu ini sebagai tongkat” kita ucapkan baik jihar maupun sir di dalam hati.
Dalam memakai tongkat pun adapnya ujungnya ke bawah agar terasa ringan membawanya. Guna tongkat selain mengurangi lelah ketika berjalan, juga untuk menghalau kalau ada binatang melata dan menyingkirkan duri yang melintang di jalan.
Bagaimanapun capeknya ketika sedang berjalan, usahakan telapak tangan jangan sampai menyentuh paha dan selama berjalan tidak mengobrol karena akan cepat lelah. Sebaiknya perbanyak dzikir di dalam hati agar kita semakin peka terhadap alam.
Kalau merasa lelah berjalan berhentilah, tetapi jangan langsung duduk di tanah sebab kita semakin capek karena tanah di hutan menyedot energi kita. Duduklah bertatakan kayu atau pada akar-akar pohon yang besar agar lelah kita cepat hilang. Istirahat di pinggir koridor satwa karena manti juga menggunakannya, walau kita tidak melihatnya ketika mereka melintasi jalan itu.
Ketika masuk hutan harus membawa peralatan; parang, korek api, rokok, kalau ada besi sembrani dan “gelang kelah siwah” yang berguna agar tidak diperdaya oleh “makhluk kemang.”
Rokok diperlukan untuk menjauhkan binatang buas dan melata dari kita serta agar kita tidak kehilangan orientasi selama berada di dalam hutan, di samping diperlukan untuk menentukan arah angin berhembus. Apalagi kita akan menangkap rusa atau menjangan, posisi kita harus di ujung arah angin dengan hewan tangkapan itu.
Ketika keluar dari hutan maka orang yang terakhir melakukan proses menutup daun kayu yang terbuka. Sambil mengucapkan salam; “Assalamualaikum Polan, kami nge ulak, enti neh kenali kami (Assalamualaikum Polan, kami telah kembali, jangan cari kami lagi).”
Kalau kita tidak menutup kembali daun kayu itu, maka setiap binatang yang ada dalam kawasan hutan tersebut akan kelaparan, tetapi efek jauhnya akan berbahaya bagi kita dan anak cucu kita.
(Mendale, 2 Mei 2020)