Resiator: Husaini Muzakir Algayoni*
Setelah menelaah masalah yang sedang dihadapi umat manusia diseluruh belahan dunia, khususnya umat Islam dari karya Haidar Bagir “Islam Tuhan, Islam Manusia” pada pembahasan sebelumnya (bagian I).
Tulisan Terkait : Menyelami Khazanah Pemikiran Islam Dari Buku “Islam Tuhan, Islam Manusia” (Bagian I)
Kini, saya mencoba menyelami khazanah pemikiran Islam dari buku ini, gagasan-gagasan untuk mengatasi masalah besar tersebut dan solusi yang ditawarkan oleh ajaran-ajaran Islam yang selama ini terlupakan karena tidak memahami Islam sejara mendalam.
Sebagaimana kita ketahui bersama-sama bahwa ilmu pengetahuan mempunyai rahasia-rahasia yang amat luas untuk keperluan dan keberlangsungan kehidupan umat manusia di alam semesta, rahasia-rahasia tersebut didapatkan manakala manusia tidak malas berpikir, bernalar, dan berimajinasi. Karena itu, memahami ilmu pengetahuan diperlukan kedalaman dan ketajaman berpikir, bernalar, dan berimajinasi sehingga bisa membawa manfatat bagi kehidupan manusia sesuai dengan zamannya.
Seperti yang diulas oleh Haidar Bagir, ia menyebutkan bahwa dalam khazanah Islam, diterima tiga tingkat pemikiran manusia. Tingkat pertama, rasional, logis. Kedua, bersifat spiritual, rohaniah dan di antara keduanya ada imajinasi atau daya imajinal. Dari ketiga tingkat ini, lahir berbagai macam corak pengetahuan dan ini menunjukkan sekali lagi bahwa khazanah pengetahuan itu luas, tinggal dari sudut pandang mana kita memahaminya.
Dalam pemikiran Islam, tidak bisa lepas dari akal; karena akal mempunyai posisi yang sangat penting dalam Islam. Sedemikian pentingnya akal sehingga hadis dengan tegas menyatakan “Tidak ada agama bagi orang-orang yang tak punya (menggunakan akal).” Istilah akal bisa diterjemahkan ke dalam beberapa konsep, yaitu: ra’yu (opini, penalaran independen), nalar (rasio, akal budi (intelek) yang mengandung makna intuisi atau hati. Karena itu, beragama dengan akal.
Selanjutnya pembahasan menarik perhatian saya dalam buku ini adalah tentang relativitas mazhab-mazhab dalam Islam, sudah menjadi rahasia umum di antara sebagian umat Islam yang fanatik dan taklid buta ketika berbeda mazhab atau pandangan maka tidak lagi saling tutur sapa; padahal berada dalam satu kampung dan satu masjid yang sama-sama beragama Islam.
Ketika mengikuti satu mazhab dan cenderung menyalahkan mazhab lain, Haidar Bagir menyebutnya “Keliru jika orang memutlakkan taklid kepada suatu mazhab tertentu, baik memutlakkan kebenaran mazhab yang kita ikuti maupun memutlakkan taklid kepada suatu mazhab tertentu. Padahal para pendiri mazhab saling menghargai dan menaruh hormat bahkan hubungan mereka adalah guru dan murid yang sama-sama saling belajar.
Dalam mazhab Sunni ada Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Setiap mazhab tersebar di berbagai penjuru dunia, Indonesia sendiri secara umum menganut mazhab Imam Syafi’i. Perbedaan dalam mazhab sering terjadi konflik antar pengikutnya padahal pendiri mazhab tersebut mempunyai hubungan yang erat yaitu murid dan guru. Misalnya Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik dan Imam Hanbali belajar dari Imam Syafi’i.
Belum lagi di luar mazhab Sunni, dalam Syiah ada dua mazhab yaitu Ja’fari dan Zaidi, dan dua mazhab yang berada di luar kedua rumpun ini yaitu Zahiri dan Ibadhi. Di antara mazhab yang aliran Sunni saja sulit untuk berdialog dan saling menghargai, apalagi di luar aliran Sunni. Faktor konflik antar mazhab ini terjadi karena ketidaktahuan, sebagaimana penjelasan KH. Husein Muhammad dalam epilog buku ini bahwa akar dari permusuhan itu adalah ketidaktahuan. Pepatah mengatakan “Orang bisa memusuhi yang lain karena tidak tahu.”
Oleh sebab itu, kata Haidar Bagir kalau ada saat ini ada orang yang fanatik pada satu mazhab bahkan satu orang imam saja, sesungguhnya ia tidak sedang setia kepada mazhab tersebut. Malah, sesungguhnya ia sedang berkhianat pada prinsip yang diikutinya. Membenarkan mazhab kelompoknya dan menyalahkan mazhab lain, bukan hanya fiqh, tasawuf dan teologi juga mudah menyalahkan dengan tuduhan sesat, kafir, dan lain sebagainya.
Walaupun berbeda pandangan dalam mazhab/aliran dalam tubuh umat Islam atau mempersoalkan keyakinan seseorang (pemeluk agama) hendaknya dilakukan secara bijaksana atau melakukan dialog ilmiah dengan cara yang baik sehingga tidak terjadi gejolak konflik yang bisa membawa permusuhan antarsesama.
Dalam pemikiran Islam perlunya hermeneutik karena hermeneutika menurut Haidar Bagir adalah metode untuk memahami teks agama secara lebih terbuka dan relevan dengan tantangan-tantangan masa, selain itu juga peran filsafat keagamaan dalam rekonstruksi ilmu dan kehidupan tidak bisa dikesampingkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam pernah mencapai masa keemasan dan penuh dengan kejayaan, peradaban Islam dikembangkan oleh orang-orang yang lebih dikenal sebagai filsuf dan berdirilah ketika itu perpustakaan termasyhur yaitu Baitul Hikmah (House of Wisdom) yang gencar menerjemahkan buku-buku pada masa Dinasti Abbasiyah.
Para filsuf tidak hanya menguasai satu bidang, namun menguasai banyak bidang mulai dari pemikiran agama, politik, kedokteran hingga ilmu-ilmu alam lainya. Haidar Bagir dalam buku ini menyebutkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari induknya yaitu filsafat, pemisahan secara paksa telah terbukti menimbulkan krisis kemanusiaan, krisis ekologi, krisis keyakinan yang melahirkan alienasi (keterasingan) dan sebagainya.
Solusi
Nah, demikian ulasan buku ini secara singkat menjelaskan khazanah-khazanah pemikiran Islam. Maka dari itu, saya menutup pembahasan ini pada bagian akhir yang membahas tentang asas-asas ajaran Islam yang terlupakan, yaitu asas cinta dan spiritualitas. Hilangnya asas cinta dan spiritualitas membuat umat Islam menganut paham keras (berlebih-lebihan dalam agama) sehingga memandang orang yang tidak sepaham dengan kelompoknya dianggap salah.
Solusi dari semua permasalahan tersebut adalah mempromosikan spiritalisme dan Islam cinta, dalam tradisi spiritual atau mistisme memiliki kelebihan dalam hal sifatnya yang mempromosikan cinta, kedamaian, bukan benci. Lihat saja sufi seperti Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lainnya yang mempunyai jiwa damai dan sejuk dengan ungkapan-ungkapan yang disuguhi kata-kata cinta.
Mempromosikan spiritualisme adalah merindukan kedamaian dan tak suka menyukai konflik dan dengan cara ini dapat mengembalikan fungsi agama sebagai sebuah lembaga yang mendukung perkembangan peradaban manusia yang maju, adil, damai, dan sejahtera.
Saudara-saudara kita yang keras dalam beragama (berlebih-lebihan) dan suka mengkafirkan sesama umat Islam, membawa keresahan kepada umat manusia, saudara kita itu sedang keliru dalam beragama. Paradigma pemahaman Islam sebagai agama kasih sayang tenggelam di bawah hiruk-pikuk kekerasan yang seolah-oleh terjadi di mana-mana di dunia Islam.
Maka dari itu, kita perlu mempromosikan Islam cinta dalam kehidupan sehari-hari dan pada intinya Islam adalah agama cinta/kasih sayang, dalam salah satu potongan sabda Nabi, dikatakan bahwa “Cinta adalah asas (ajaran agama) ku.” Nabi Muhammad Saw disinari cahaya-cahaya ihsan, harum wangi akhlak, cinta dan kasih sayang antarsesama, sejarah telah mencatat itu semua; tapi kenapa sebagaian umat Islam tidak memahami ajaran Islam?
KH. Husein Muhammad dalam epilog buku ini memberi catatan dan menjadi renungan bagi kita semua bahwa “Manakala makin luas pikiran orang, maka makin sulit menyalahkan orang lain.” Oleh karena itu, orang yang berpikiran luas sulit menyalahkan orang lain, hanya orang-orang yang tidak tahu yang suka menyalahkan orang lain dan akar dari permusuhan itu sendiri adalah dari ketidaktahuan.
Mari sama-sama kita belajar, mengkaji ajaran Islam secara menyeluruh dan mendalam, dan membaca dari berbagai referensi sehingga bisa memahami Islam dengan baik dan benar, tidak keliru. Selamat menyelami khazanah pemikiran Islam. Nah!
Info Buku:
Judul Buku :
Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan
Tempat Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman: 294
*Resiator, Kolumnis LintasGAYO.co