Oleh : Fauzan Azima*
Siang itu, di sebuah kebun binatang imajiner bernama negeri demokrasi, seorang penjaga iseng melakukan eksperimen sederhana. Ia meletakkan segepok uang seratus ribu di satu sisi, dan setandan pisang matang di sisi lain.
Seekor monyet datang tanpa ragu, melompat, lalu memeluk pisang. Penonton tertawa. “Dasar monyet,” kata mereka, sambil mengangguk sok paham tentang rasionalitas.
Padahal monyet itu tidak bodoh. Ia hanya jujur pada perutnya. Pisang bisa dimakan sekarang. Uang? Terlalu abstrak untuk makhluk yang hidup dari hari ke hari. Ia tidak belajar ekonomi, tidak mengenal inflasi, apalagi visi jangka panjang. Ia hanya tahu lapar harus diselesaikan.
Masalahnya, eksperimen itu rupanya bocor keluar kebun binatang. Ia menjalar ke bilik-bilik suara, ke baliho raksasa, ke pidato penuh retorika. Yang memilih pisang ternyata bukan monyet, melainkan manusia dewasa, ber-KTP, berijazah, dan gemar menyebut diri “pemilik masa depan”.
Dalam pemilihan kemarin, rakyat disuguhi pilihan klasik: uang cepat, janji pendek, atau gagasan panjang yang butuh kesabaran. Seperti monyet yang lapar, banyak tangan terulur ke pisang.
Bukan karena bodoh, tapi karena hidup memang sedang lapar. Bedanya, monyet jujur mengaku lapar, manusia sering menyebutnya “realistis”.
Yang lebih jenaka, para calon pemimpin sudah lebih dulu menggigit pisang, bahkan sebelum tandannya dibagikan. Ada yang memeluk batang, ada yang menyembunyikan sisir di balik jas. Ini bukan lagi soal monyet versus manusia, melainkan lomba siapa paling cepat mengunyah.
Kini pisang habis. Kulitnya berserakan, kebun gundul, dan batang-batang patah jadi saksi. Barulah kita sadar, uang seratus ribu kemarin sebetulnya cukup membeli pisang bertandan-tandan, asal tidak dihabiskan sekaligus. Tapi nasi sudah jadi bubur, pisang sudah jadi kolak, dan kolak tinggal cerita nostalgia kampanye.
Lucunya, kita sibuk saling menyalahkan. Rakyat menunjuk pemimpin yang rakus pisang. Pemimpin menunjuk rakyat yang doyan pisang. Tak ada yang mau bercermin lama-lama. Padahal cermin itu jujur. Kalau yang berdiri di depannya monyet, bayangan yang muncul ya monyet, bukan negarawan berjas rapi.
Negeri ini kini seperti kebun pisang pascapanen: daun sobek, batang rebah, buah tersisa mentah. Kita marah, kecewa, lalu berharap lima tahun lagi keajaiban turun dari langit. Seolah pisang berikutnya akan berubah jadi apel hanya karena kita menutup mata.
Tulisan ini bukan untuk menghina rakyat, melainkan menertawakan kebiasaan kita sendiri. Karena satir paling pedih adalah yang terasa benar.
Selama kita masih memilih pisang, jangan heran jika pemimpin terus mengunyah. Tapi jika suatu hari kita belajar membaca nilai, mungkin monyet pun akan tercengang melihat manusia akhirnya memilih akal sehat.
(Mendale, Desember 28, 2025)





