Negeri Showroom: Saat Agen Mobil Bekas Mengemudi Negeri

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Di negeri ini, kita sudah kenyang mencicipi berbagai model pemimpin. Pernah dipimpin darah biru turunan raja, figur militer dengan sepatu mengilap, intelektual penuh teori, birokrat murni beraroma map cokelat, hingga semi preman yang lebih fasih berbicara dengan alis.

Kini, sejarah mencatat satu varian baru: kita harus puas dipimpin mantan agen mobil bekas. Lengkap sudah etalase demokrasi kita, tinggal pasang label “unit langka”. “Varietas” ini meski dibungkus dengan jubah, namun watak aslinya tampak transparan, berusaha dapat laba dalam situasi apapun.

Ada satu kisah yang belakangan sering terlintas setiap melihat tingkah pejabat kita. Kisah sederhana, tapi penuh ironi. Tentang seorang mantan agen mobil yang meloncat kariernya lebih cepat dari harga mobil bekas menjelang Lebaran. Dari showroom langsung ke ruang rapat, dari kalkulator harga ke mikrofon konferensi pers.

Dulu, pekerjaannya lihai membalik fakta. Ban botak diyakinkan sebagai “nyaris baru”. Mobil dengan riwayat panjang disebut “mulus tanpa cacat”. Bekas tabrakan cukup dibilang “penyok manja”. Angka di kertas harga bisa melambung seolah hukum gravitasi sedang cuti massal. Semua itu sah, legal, dan bahkan dipuji sebagai keahlian.

Sebagai agen mobil, keterampilan itu mungkin mengundang tepuk tangan. Tapi saat keahlian tersebut dibawa ke dunia birokrasi, ceritanya berubah jadi komedi gelap. Kantor pemerintahan terasa seperti showroom, rakyat diposisikan sebagai calon pembeli yang disuruh percaya saja.

Kini, setiap urusan yang tak mendatangkan “nilai jual pribadi” langsung diabaikan. Masalah masyarakat diperlakukan seperti mobil rusak yang parkir terlalu lama di bengkel: dibiarkan, toh tidak ada komisi. Namun ketika menyangkut pencitraan, anggaran, atau panggung publik, ia tampil bak unit unggulan. Mengilap di luar, bocor di dalam.

Yang paling jenaka, pola pikir jual-beli itu masih melekat kuat. Data setengah matang disebut valid. Rencana tambal sulam diklaim sebagai program unggulan. Masalah darurat dipoles agar tampak sepele. Persis seperti meyakinkan pembeli bahwa suara mesin kasar bukan kerusakan, melainkan “fitur sporty edisi terbatas”.

Di tengah semua kelucuan ini, masyarakat hanya bisa tersenyum kecut. Mereka paham, jabatan publik bukan showroom. Rakyat bukan pelanggan yang bisa dikelabui. Dan negara jelas bukan mobil bekas yang cukup dipoles murah agar tampak layak jalan.

Anekdot ini mungkin terdengar remeh, tapi pesannya berat. Jabatan publik menuntut integritas, bukan kelihaian memoles fakta.

Ketika agen mobil duduk di kursi pejabat, yang diperdagangkan bukan lagi kendaraan, melainkan kepercayaan rakyat. Dan bila kepercayaan itu ikut “dibotaki”, harga yang harus dibayar negara jauh lebih mahal.

(Mendale, Desember 27, 2025)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.