Oleh : Fauzan Azima*
Bencana hidrometeorologi Aceh 2025 membuka kembali satu kebiasaan lama dalam tata kelola negara: mencari kambing hitam setelah musibah terjadi.
Narasi tentang “tsunami gunung” yang disematkan pada wilayah hulu seolah menjadi jalan pintas untuk menutup kegagalan kebijakan lingkungan yang lebih luas dan kompleks.
Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues perlahan diarahkan menjadi terdakwa utama. Daerah hulu dianggap biang kerok banjir bandang, longsor, dan kerusakan di wilayah hilir.
Padahal, menyederhanakan persoalan lingkungan menjadi sekadar kesalahan satu wilayah adalah bentuk kemalasan berpikir dalam kebijakan publik.
Lingkungan tidak bekerja secara administratif. Air tidak mengenal batas kabupaten, hutan tidak tunduk pada garis peta, dan bencana tidak lahir dari satu keputusan tunggal.
Kerusakan ekologis adalah akumulasi kebijakan lintas wilayah, lintas sektor, bahkan lintas generasi. Ketika hulu ditekan atas nama produksi, sementara hilir menikmati hasil tanpa tanggung jawab ekologis, maka bencana hanya soal waktu.
Sudah saatnya paradigma pengelolaan lingkungan di Aceh, bahkan di Indonesia diubah secara mendasar. Wilayah pesisir dan daerah yang menikmati manfaat ekonomi dari sumber daya air harus ikut menanggung biaya konservasi daerah hulu.
Skema subsidi ekologis bukan wacana utopis, melainkan kebutuhan nyata. Jika hutan di hulu adalah sumber kehidupan di hilir, maka menjaga hutan harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan beban sepihak masyarakat adat dan petani.
Lebih jauh, isu lingkungan tidak bisa lagi diposisikan sebagai urusan teknis dinas kehutanan atau sekadar proyek rehabilitasi pascabencana.
Lingkungan adalah isu universal, setara dengan hak asasi manusia, hak-hak buruh dan kesetaraan gender. Kerusakan lingkungan berarti pelanggaran terhadap hak hidup layak, hak atas air bersih, dan hak atas rasa aman dari bencana.
Karena itu, setiap kebijakan yang lahir dari ujung jari pejabat publik seharusnya diuji dengan perspektif universal tersebut. Apakah kebijakan ini adil secara ekologis? Apakah ia melindungi kelompok paling rentan? Ataukah justru memindahkan risiko dari pusat kekuasaan ke pinggiran?
Kritik ini bukan untuk menyudutkan daerah hulu, apalagi menghapus tanggung jawab lokal. Justru sebaliknya, kritik ini mengajak negara dan pemerintah daerah melihat persoalan lingkungan secara utuh, terintegrasi, dan berkeadilan.
Selama bencana terus dipahami secara parsial dan politis, selama itu pula rakyat akan terus membayar mahal dari kesalahan kebijakan yang sama. Dan lingkungan tidak butuh narasi kambing hitam. Ia butuh keberanian untuk berubah.
(Mendale, Desember 26, 2025)





