Nasib Petani Cabe, Apakah Benar Sudah Ditangani Pemda?

oleh

TAKENGON-LintasGAYO.co : Bencana alam longsor dan banjir bandang yang terjadi pada 26 November 2025 lalu, masih meninggalkan banyak kerusakan yang belum tertangani dan menambah banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat yang terdampak bencana alam ini.

Para relawan yang tergabung dalam satu aksi soladaritas kebencanaan Kabupaten Aceh Tengah, berkesempatan mengunjungi salah satu desa yang terdampak dan dalam kondisi memprihatinkan Kampung Burlah, Kekuyang, Bintang Pepara dan Bugeara di  Kec. Ketol. Sampai saat ini akses jalan menuju desa masih dipenuhi tumpukan tanah sisa longsoran dan akses antar desa harus menggunakan sling karena akses terputus.

Penggunaan sling pada awalnya dilakukan warga guna mengevakuasi para warga  Burlah yang rumah dan kebun mereka sudah tersapu banjir juga tertimbun tanah. Namun, sampai saat ini 21 Desember 2025 (25 hari pasca bencana) aktivitas warga desa berubah total, kini warga dari beberapa kampung ini harus menggunakan sling.

Hasil pertanian warga juga diangkut menggunakan sling untuk menuju kota, aktivitas berkebun, berbelanja guna memenuhi kebutuhan hidup juga  harus dilakukan dengan menggunakan cara yang sama, warga yang sakit dan butuh penanganan medis juga harus merasakan alat penyeberangan seadaanya ini.

Sampai saat ini, kondisi di posko pengungsian masih sangat memprihatinkan. Belum ada kepastian apakah mereka akan direlokasi atau diberikan hunian sementara, beraktivitas hanya mengandalkan  satu alat panel surya, dapur umum yang mengepul hasil dari bantuan pemda dan donasi yang diantarkan oleh para relawan.

Aktivitas sekolahan terhenti, anak-anak terlihat bermain di ruang-ruang kelas sekolah yang sekaligus mereka gunakan untuk tempat tidur di malam hari. Ibu-ibu hanya dapat beraktivitas di dapur umum secara bersama-sama dan semua warga terdampak kehilangan mata pencarian utama mereka, bertani.

Salah seorang petani di Kecamatan Ketol, Bengbeng mengaku kecewa kepada Bupati Aceh Tengah ketika berkunjung ke Desa mereka menjanjikan akan memberangkatkan 30 ton hasil pertanian perharinya. Dan akan dibeli dengan harga Rp.17.000/kilonya yang akan diberangkatkan melalui jalur udara.

“Tapi sampai saat ini, hasil panen cabai saya sendiri tidak pernah dipanen karena kami harus menjual cabai-cabai ini dengan harga paling tinggi Rp 10.000/kilogram  ke pengepul,” jelas Bembeng.

Lahan pertanian di daerah ini memang dominan diisi oleh lahan cabai. Terlihat banyak cabai yang sudah waktunya panen namun tidak ada petani yang sibuk memanen dan beberapa warga hanya menjemur hasil cabai di depan rumah-rumah mereka.

Memang beberapa waktu yang lalu, masyarakat sangat mengapresiasi upaya pemerintah yang telah membantu mendistribusikan logistik di titik-titik bencana serta memfasilitasi transaksi jual-beli hasil pertanian masyakat khususnya komoditi cabai keluar daerah, namun yang disayangkan adalah para warga didesa terdampak seperti Kampung Burlah, mengaku hasil cabai mereka belum pernah dibeli langsung oleh pemerintah dan diakomodir dengan baik.

“Mungkin ada  petani cabai yang hasil panennya dibeli oleh pemerintah, tapi saya sendiri dan teman-teman di desa ini belum pernah didatangi dan hasil cabai kami dibeli oleh pemerintah atau dari rumah tani,” tambah Bengbeng yang juga memilih bergabung dengan komunitas relawan panjat tebing-Aceh Tengah selama musibah bencana alam ini berlangsung.

Untuk saat ini warga yang memutuskan memanen cabainya harus menjual sendiri, ada yang memilih menjual ke pengepul dengan harga Rp.10.000, ada warga yang memilih menjual sendiri ke kota Takengon atau ke-Kem.

Tidak jauh berbeda dengan hasil durian dan hasil pertanian lain, warga harus turun tangan dan menjual sendiri dengan kondisi akses jalan yang seadaanya, bensin yang harganya melambung tinggi dan ini dilakukan warga kerena tidak ada pilihan lain untuk bertahan dan menyambung hidup.

Merujuk pada data bahwa Kecamatan Ketol dikenal sebagai sentral produksi cabai merah terbesar di wilayah Aceh Tengah. Pertanian cabai menjadi mata pencaharian utama mayoritas masyarakat  di sana.

Tercatat luas kebun cabai di Kecamatan Ketol mencapai 22.312 Ha pada Agustus 2025, dan menjadi penyumbang cabai terbesar di Sumatra. Perhari hasil panen cabai bisa mencapai 200 ton dengan masa panen cabai bisa mencapai 3 bulan.

Kembali merujuk pada data di atas, jika petani cabai di Kecamatan Ketol bisa menghasilkan cabai mencapai sekitar 1 ton per-hektar atau 200 ton perhari dan pemerintah daerah dapat mengakomodir penjualan komoditi cabai sampai 30 Ton/hari, artinya jika pemerintah konsisten dan melakukan program ini secara berkelanjutan hasil komoditi cabai di Kecamatan Ketol dapat terakomodir dan tidak meninggalkan pertanyaan atas pernyataan bapak Bupati yang menyanggupi pengiriman 30 ton/hari melalui jalur udara.

Tugas-tugas pemerintah dalam menghadapi dan menanggulangi bencana alam kali ini memang rumit dan tidak mudah. Setiap jajaran pemerintah telah berupaya untuk memulihkan kondisi perekonomian, penerangan, akses jalan serta aktivitas apapun yang dibutuhkan masyarakat agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari untuk kembali membaik dan normal.

Namun, dalam hal ini juga dibutuhkan langkah-langkah konkrit dari pemerintah daerah agar setiap kegiatan dan upaya yang dilakukan tidak terkesan “seremonial” dan terkesan meninggalkan masyarakat yang terdampak bencana yang sampai saat ini  masih dalam status terisolir. [Misna/Zuhra]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.