Oleh: Win Wan Nur
Dr. Ryu Hasan yang dikenal luas sebagai Dokdes alias dokter bedes, membuat kehebohan publik dengan klaim IQ Indonesia: katanya, IQ rata-rata kita turun dari 109,6 pada tahun 1986 menjadi 78,4 hari ini, sementara IQ gorila 70 “turun” menjadi gorila lagi.
Angka-angka itu dilempar ke publik dengan ekspresi percaya diri seorang profesor—tanpa survei nasional, tanpa data longitudinal yang sahih, seolah ia sedang membacakan fakta ilmiah, padahal ini lebih mirip ramalan zodiak untuk bangsa.
Padahal, data empiris menentang klaim ini. Richard Lynn & Becker melalui kompilasi studi lokal menempatkan IQ Indonesia sekitar 78–87, jauh dari 109,6.
Dan bahkan data Lynn sendiri tidak bebas dari kontroversi: ia dikenal sebagai “scientific racist”, pernah menjabat presiden Pioneer Fund—organisasi yang mensponsori agenda supremasi rasial—dan universitasnya mencabut status profesor emeritus karena karya Lynn dianggap mengandung bias rasis dan seksis.
Jadi klaim IQ Indonesia yang dihubungkan dengan data Lynn harus dipertanyakan serius, bukan diterima bulat-bulat.
Di sinilah prinsip Gusti Aju Dewi tentang DFK—Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian—menjadi relevan. Klaim dramatis Dr. Ryu Hasan termasuk disinformasi publik:
Generalisasi dari sampel kecil tanpa survei nasional. Penyampaian hiperbolik, istilah “IQ gorila”, menyesatkan publik. Tidak ada transparansi metodologi
Analogi medisnya tajam: seorang dokter saraf tidak akan mengambil lima MRI acak dan menyimpulkan seluruh populasi kehilangan 30% kapasitas kognitif, karena kesalahan bisa mengancam nyawa pasien.
Tapi di ranah publik, Dokdes Ryu Hasan melakukan hal yang serupa—mengambil sampel terbatas dan menyebarkan klaim dramatis seolah fakta.
Pertanyaannya muncul dengan sendirinya:
> “Jangan-jangan, dalam kapasitas profesionalnya sebagai dokter saraf, Dr. Ryu Hasan juga terbiasa membuat diagnosa gegabah seperti ini? Kalau iya, bayangkan betapa mengerikannya risiko bagi nyawa pasien yang mempercayainya.”
Paradoksnya tajam: seorang dokter yang disiplin dan teliti dalam profesinya, justru gegabah dalam menyebarkan klaim ke publik, yang bisa membahayakan opini publik dan persepsi kolektif.
Bahkan tokoh intelektual seperti Gita Wirjawan, tanpa analisis kritis, ikut mengamini klaim ini, memperlihatkan bagaimana disinformasi dari figur berotoritas menyebar lebih cepat daripada virus paling ganas.
Dampaknya jelas: inferiority complex kolektif palsu, narasi negatif terhadap bangsa, dan distorsi intelektual. Sesuai prinsip Gusti Aju Dewi, figur publik harus menegakkan verifikasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Klaim IQ 109 → 78 bukan sekadar tidak ilmiah; ia adalah disinformasi publik yang nyata, diperparah jika data Lynn yang bermasalah pun dijadikan rujukan tanpa klarifikasi.
Akhirnya, pertanyaan moral dan intelektual tetap menunggu jawaban: apakah kita membiarkan klaim dramatis tanpa bukti diterima begitu saja, atau menuntut verifikasi dan kejujuran intelektual? Pilihan itu menentukan apakah masyarakat menjadi korban Disinformasi atau pembangun kritik cerdas yang rasional.
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co




