Oleh: Dr. Budiyono, S.Hut. M.Si (Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gajah Putih dan Mantan Anggota DPRK Aceh Tengah)
Setiap tahun, pembahasan RAPBK (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten) dan KUA-PPAS (Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara) menjadi agenda rutin yang menyita perhatian para pemangku kepentingan di Aceh Tengah.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah proses ini benar-benar menjadi instrumen perubahan sosial, atau sekadar ritual anggaran yang kehilangan ruh kesejahteraan?
Kini, di penghujung tahun 2025, Aceh Tengah memasuki fase awal pembahasan KUA-PPAS dan APBK 2026. Momentum ini seharusnya menjadi titik tolak untuk menata ulang arah pembangunan daerah secara lebih strategis dan berpihak pada rakyat.
Tahun 2026 harus menjadi tonggak perubahan: anggaran tidak lagi dipandang sebagai daftar belanja, tetapi sebagai alat transformasi sosial yang menjawab ketimpangan, memperkuat fondasi kesejahteraan, dan menumbuhkan harapan baru di tengah masyarakat.
Namun sayangnya, di tengah pentingnya momen ini, sangat sedikit publik yang mengetahui bahwa pembahasan sedang berlangsung.
Proses yang seharusnya terbuka dan partisipatif justru terasa seperti permainan petak umpet—tertutup, sunyi, dan jauh dari jangkauan warga yang seharusnya menjadi subjek utama pembangunan.
Ini menjadi ironi tersendiri dalam demokrasi lokal kita, di mana anggaran dibahas tanpa keterlibatan bermakna dari mereka yang paling terdampak oleh hasilnya.
Paradoks Pertumbuhan dan Ketimpangan
Aceh Tengah mencatatkan sejumlah capaian positif dalam indikator makro. Angka kemiskinan menurun dari 15,26% pada 2021 menjadi 14,27% pada 2024.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat dari 75,20 menjadi 78,09 pada 2025, menempatkan Aceh Tengah di posisi kelima tertinggi di Provinsi Aceh. Pendapatan per kapita juga naik dari Rp36,57 juta (2021) menjadi Rp43,97 juta (2023).
Namun, di balik angka-angka ini, terdapat ironi yang tak bisa diabaikan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) justru meningkat dari 2,61% (2021) menjadi 5,75% (2024), menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya menyerap tenaga kerja.
Ketimpangan antarwilayah juga masih mencolok: Gayo Lues memiliki IPM 72,61 dan kemiskinan 18,30%, sedangkan Aceh Tenggara mencatat kemiskinan 11,99% dengan IPM 74,36. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan belum inklusif dan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
RAPBK & KUA-PPAS 2026: Momentum Strategis
Tahun 2026 harus menjadi titik balik. RAPBK dan KUA-PPAS harus diarahkan untuk:
- Menurunkan kemiskinan di bawah 14%
- Menstabilkan TPT di bawah 5%
- Meningkatkan IPM menuju ≥78,5
- Memperluas akses layanan dasar dan memperkuat inklusi sosial
Untuk itu, KUA-PPAS sebagai fondasi APBK harus disusun dengan pendekatan yang lebih strategis dan berpihak. Ini bukan sekadar menyusun plafon anggaran, tetapi merumuskan arah pembangunan yang menjawab tantangan nyata masyarakat.
Dari Anggaran ke Aksi: Langkah Strategis
Agar RAPBK dan KUA-PPAS menjadi instrumen transformasi sosial, berikut langkah-langkah yang harus ditempuh:
1. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK):
Setiap program harus memiliki indikator output dan outcome yang terukur. Misalnya, bukan hanya membangun sekolah, tetapi juga meningkatkan partisipasi pendidikan anak dari keluarga miskin.
2. Pemanfaatan Data Mikro:
Gunakan data Susenas, Sakernas, dan pemetaan sosial ekonomi desa untuk menyusun prioritas yang kontekstual dan berbasis kebutuhan riil. Ini akan mencegah alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran.
3. Partisipasi Publik yang Otentik:
Musrenbang harus menjadi ruang deliberatif, bukan formalitas. Libatkan kelompok rentan, perempuan, pemuda, dan tokoh adat dalam proses perencanaan.
4. Transparansi dan Akuntabilitas:
Publikasikan RAPBK dan KUA-PPAS dalam format terbuka dan mudah dipahami publik. Dorong keterlibatan media, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mengawal prosesnya.
5. Sinkronisasi Prioritas Tematik: Menyatukan Visi, Menyatukan Anggaran
Agar RAPBK dan KUA-PPAS 2026 benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat, maka sinkronisasi prioritas tematik harus diarahkan pada program-program yang menyentuh langsung kebutuhan dasar dan potensi unggulan daerah.
Partisipasi Publik: Mandat Konstitusional, Bukan Pilihan Teknis
Salah satu kelemahan mendasar dalam proses penyusunan KUA-PPAS dan RAPBK adalah minimnya keterlibatan masyarakat secara substansial. Padahal, partisipasi publik bukan sekadar etika demokrasi—ia adalah amanat hukum.
• UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan bahwa perencanaan pembangunan harus dilakukan secara partisipatif.
• UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
• Permendagri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah yang mengatur bahwa penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah harus dilakukan melalui Musrenbang yang inklusif dan memperhatikan hasil konsultasi publik.
Tanpa partisipasi publik yang otentik, maka RAPBK dan KUA-PPAS akan kehilangan legitimasi sosial dan berisiko tidak menjawab kebutuhan nyata masyarakat.
Peran Strategis Akademisi, Tokoh Masyarakat, dan NGO
Untuk memperkuat proses ini, tiga pilar non-pemerintah harus mengambil peran aktif:
• Akademisi sebagai penyedia kajian dan analisis kebijakan berbasis data. Mereka dapat menyusun simulasi dampak anggaran terhadap IPM dan kemiskinan, serta menjadi narasumber Musrenbang.
• Tokoh Masyarakat sebagai penjaga aspirasi lokal dan penghubung antara warga dan pemerintah. Mereka dapat memfasilitasi forum warga dan menyuarakan kebutuhan komunitas yang sering terpinggirkan.
• NGO sebagai motor advokasi dan pengawasan anggaran. Mereka dapat melakukan audit sosial, mendorong transparansi, dan menyusun laporan kebijakan alternatif.
Kolaborasi ketiga aktor ini akan menciptakan ekosistem anggaran yang lebih demokratis, responsif, dan berdampak nyata.
Menanam Benih Kesejahteraan, Menuai Masa Depan
Aceh Tengah memiliki potensi besar: kekayaan alam, budaya Gayo yang khas, dan semangat gotong royong masyarakat yang kuat. Namun, potensi ini hanya akan bermakna jika diiringi dengan kebijakan anggaran yang berpihak, berbasis data, dan berorientasi pada hasil.
RAPBK dan KUA-PPAS bukan sekadar dokumen fiskal. Keduanya adalah cermin dari komitmen moral dan politik kita terhadap masa depan rakyat. Sudah saatnya kita menggeser pembahasan anggaran dari ruang seremonial ke ruang substansi—dari sekadar “berapa besar anggaran” menjadi “seberapa besar dampaknya bagi rakyat.”
Penutup: Menyalakan Kompas Kesejahteraan, Seperti Syair Tawar Sedenge
Anggaran bukan sekadar angka dalam tabel. Ia adalah cerminan dari keberpihakan, keberanian, dan komitmen politik terhadap masa depan rakyat.
Di tengah pembahasan KUA-PPAS dan RAPBK 2026, para pengambil kebijakan di Aceh Tengah dihadapkan pada pilihan mendasar: apakah anggaran akan terus menjadi ritual tahunan yang jauh dari denyut nadi masyarakat, atau menjadi instrumen nyata untuk mengangkat martabat dan kualitas hidup warga?
Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan potensi, dan tidak kekurangan semangat masyarakat. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menyusun anggaran yang berpihak—anggaran yang menyentuh dapur warga, membuka lapangan kerja, memperbaiki gizi anak-anak, dan memuliakan masyarakat miskin agar mereka dapat sejahtera.
Kita perlu anggaran yang tidak hanya mengalir ke pusat kota, tetapi juga menghidupkan kopi arabika yang menjadi warisan rasa dan identitas Gayo, serta mengangkat kembali hutan pinus yang selama ini terabaikan, padahal menyimpan potensi ekonomi dan ekologi yang luar biasa.
Sayangnya, proses ini masih berlangsung seperti permainan petak umpet—tertutup, sunyi, dan jauh dari jangkauan publik. Padahal, anggaran yang disusun tanpa suara rakyat adalah anggaran yang kehilangan arah.
Kita tidak butuh anggaran yang rapi di atas kertas, tetapi anggaran yang berani menyentuh akar persoalan dan menyalakan harapan.
Jika para pemimpin daerah mampu menjadikan anggaran sebagai alat keberpihakan, maka sejarah akan mencatat bahwa tahun 2026 bukan sekadar tahun fiskal, melainkan tahun kebangkitan kesejahteraan Aceh Tengah.
Dan jika tidak, maka kita hanya akan mengulang siklus pembangunan yang stagnan dan kehilangan makna.
Saatnya menyalakan kompas kesejahteraan, seperti syair dalam Tawar Sedenge, yang tidak hanya menyuarakan cinta pada tanah Gayo, tetapi juga menggugah nurani untuk menjaga, menghidupi, dan memuliakan tanah ini dengan keberanian, keadilan, dan ketulusan. []







