Oleh: Ahmad Dardiri*
Di tengah kehidupan sosial yang beragam, kita sering mendengar penilaian seperti, “Dia orang baik, sudah seperti kita.” Kalimat sederhana ini tampak wajar, tetapi menyimpan persoalan mendalam: apakah ukuran kebaikan memang harus sama dengan kelompok kita?
Dalam masyarakat, setiap suku dan budaya memiliki ukuran tersendiri tentang sopan, hormat, atau baik. Di satu tempat, berbicara tegas dianggap jujur; di tempat lain bisa dianggap kasar.
Artinya, ukuran “baik” bisa berubah-ubah tergantung tempat dan kebiasaan. Namun jika kebaikan hanya ditentukan oleh budaya, maka tidak ada lagi nilai moral yang tetap — semua bisa dibenarkan atas nama adat.
Islam hadir untuk menuntun manusia agar memiliki tolok ukur kebaikan yang universal, yang tidak tergantung pada suku, adat, atau zaman.
Kebaikan sejati, kata Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, adalah segala sesuatu yang mendekatkan manusia kepada Allah dan memberi manfaat bagi sesama.
Ia menegaskan, akhlak baik bukan sekadar kesesuaian dengan kebiasaan masyarakat, melainkan hasil dari hati yang bersih dan niat yang lurus.
Senada dengan itu, Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij al-Salikin menulis, “Agama seluruhnya adalah akhlak. Siapa yang bertambah akhlaknya, bertambah pula agamanya.” Artinya, kebaikan bukan diukur dari keseragaman kelompok, tapi dari seberapa jauh seseorang berbuat adil, jujur, dan penuh kasih.
Al-Qur’an menegaskan prinsip moral universal ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.”
(QS. An-Nahl: 90)
Ayat ini menjadi pedoman yang tak lekang oleh waktu — menegakkan keadilan, menebar kebaikan, dan menjauhi keburukan.
Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh asal suku atau budaya, melainkan oleh ketakwaannya (QS. Al-Hujurat: 13).
Dengan begitu, ukuran kebaikan yang sejati tidak diukur dari seberapa mirip kita dengan kelompok tertentu, melainkan sejauh mana kita berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama: kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.
Islam tidak menolak budaya. Justru Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sebaik-baik kalian di masa jahiliyah adalah sebaik-baik kalian di masa Islam, apabila mereka memahami agama.”
(HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa unsur baik dalam budaya bisa diterima, selama sejalan dengan nilai kebenaran. Budaya boleh berbeda, tapi moral tetap satu: menegakkan keadilan dan kebaikan.
Kita hidup di tengah masyarakat yang kian mudah menilai, tetapi sering salah menimbang. Kebaikan tidak bisa diukur dari gaya, suku, atau kesamaan pandangan. Baik bukan karena sama, tetapi karena benar. []





