Ketika Al-Qur’an Tertinggal dan Musik Menjadi Gema Zaman (Refleksi dari Ladang Kopi)

oleh

Oleh: Ahmad Dardiri*

Sore itu, selepas bekerja di ladang menanam kopi, kami beristirahat di bawah naungan pepohonan. Udara sejuk pegunungan menenangkan badan yang lelah, sementara percakapan ringan tumbuh di antara kami.

Obrolan kami beralih pada hal yang lebih bermakna tentang amal saleh dan ibadah yang sering kali terabaikan di tengah kesibukan hidup.

Saya katakan kepada pekerja, “Shalat jangan pernah ditinggalkan, meskipun kita belum sempurna dalam hal lain. Dengan terus menjaga shalat dan memperbaiki kualitasnya, Allah akan memperbaiki hati dan perilaku kita.

Shalat itu obat batin; kalau ia terjaga, keburukan akan perlahan terkikis.” Ia mendengarkan dengan tenang. Saya lanjutkan, bahwa sebagaimana kita menjaga shalat, kita juga perlu menjaga kebiasaan membaca Al-Qur’an. Setelah Maghrib, setelah Isya, atau setelah Subuh itu waktu terbaik untuk menenangkan hati dengan firman Allah.

Tiba-tiba ia bertanya, “Pak, apakah membaca Al-Qur’an setiap malam itu wajib, atau hanya sebuah keharusan saja?” Pertanyaan sederhana, tapi menohok.

Membaca Al-Qur’an: Kebutuhan, Bukan Sekadar Kewajiban

Membaca Al-Qur’an memang tidak wajib secara hukum syariat setiap malam. Tidak berdosa jika seseorang tidak membacanya sehari. Namun, dari sisi iman, ia adalah keharusan spiritual. Hati seorang mukmin tidak akan hidup tanpa cahaya wahyu.

Allah berfirman: “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

Perintah ini bukan beban, melainkan undangan lembut dari Allah agar hamba-Nya tidak jauh dari firman-Nya. Membaca Al-Qur’an bukan hanya ibadah, tapi juga kebutuhan jiwa. Hati yang jauh dari Al-Qur’an akan mudah keras, lalai, dan terseret arus dunia.

Teladan Para Salaf dalam Menjaga Tilawah

Para salafus shalih memberi teladan nyata dalam kecintaan kepada Al-Qur’an. Ada di antara mereka yang menamatkan dalam sebulan, ada pula yang seminggu sekali.

Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan Zaid bin Thabit dikenal membagi bacaan mereka dalam tujuh bagian, agar khatam setiap tujuh malam. Imam Asy-Syafi’i bahkan menamatkan puluhan kali dalam bulan Ramadhan.

Mereka memahami bahwa Al-Qur’an bukan sekadar bacaan ritual, melainkan sumber kekuatan ruhani. Semakin sering dibaca, semakin lembut hati mereka. Sebaliknya, ketika manusia jauh dari Al-Qur’an, hati mereka kosong dan mudah terisi oleh hal-hal yang tidak bermanfaat.

Bahaya Musik yang Melalaikan

Kini kita hidup di zaman di mana bacaan Al-Qur’an makin jarang terdengar, sementara musik menggema di mana-mana. Banyak yang lebih hafal lirik lagu daripada ayat suci. Sebagian orang bahkan lebih semangat mendengarkan musik atau berkaraoke daripada membuka mushaf.

Musik memang bisa menenangkan sesaat, tapi ketenangan itu semu. Ia tidak menyembuhkan hati, hanya menidurkannya. Sebagaimana diingatkan dalam Al-Qur’an: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa ilmu.”
(QS. Luqman: 6)

Ibnu Mas’ud menafsirkan “lahw al-hadits” dalam ayat ini sebagai nyanyian dan musik yang melalaikan. Jika hati telah dipenuhi musik, sulit baginya menikmati tilawah Al-Qur’an. Ia akan terasa berat untuk membaca mushaf, tetapi ringan untuk menekan tombol play lagu.

Musik yang melalaikan ibarat racun yang manis. Ia memberi rasa nikmat di awal, tapi menumpulkan rasa iman di dalam jiwa. Maka tidak heran jika generasi muda semakin jauh dari Al-Qur’an, karena hatinya telah disibukkan oleh irama dunia.

Menolak Konser Musik, Menjaga Martabat Syariat

Beberapa waktu terakhir, Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah kembali ramai dengan isu konser musik besar. Sebagian orang menyambutnya sebagai hiburan, sementara sebagian lainnya merasa sedih.

Bukan karena anti hiburan, tetapi karena sadar bahwa konser semacam itu sering mengundang kelalaian dan bercampur dengan kemaksiatan.

Aceh memiliki identitas yang agung: bumi bersyariat, bukan bumi pesta. Menolak konser musik yang berpotensi melalaikan bukan berarti menolak seni, tetapi menjaga kemurnian suasana ibadah dan ketenangan batin masyarakat.

Ulama salaf menasihati, “Jika engkau ingin tahu keadaan hatimu, lihatlah: apakah ia lebih tenang mendengar musik atau mendengar Al-Qur’an.”

Kembali ke Keheningan Al-Qur’an

Dari ladang kopi yang sunyi, saya belajar satu hal: kelelahan fisik tidak sebanding dengan kelelahan batin yang jauh dari Allah. Musik hanya menghibur telinga, tapi Al-Qur’an menghidupkan hati.

Marilah kita kembalikan waktu malam kita kepada Al-Qur’an. Biasakan membaca satu halaman, atau mendengarkan satu surah. Karena dari kebiasaan kecil itu, Allah akan menumbuhkan ketenangan besar.

Lebih baik lelah menanam iman dalam hati, daripada lelah berjingkrak di konser yang melalaikan. Lebih mulia satu ayat dibaca dengan tartil daripada seribu lagu yang tak membawa manfaat.

Di antara dentuman musik dunia, semoga kita masih bisa mendengar suara lembut wahyu: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah, mendirikan shalat, dan berinfak dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharap perdagangan yang tidak akan merugi.”
(QS. Fathir: 29)

Semoga Aceh tetap menjadi Serambi Mekkah yang bercahaya dengan lantunan Al-Qur’an, bukan dengan gemuruh konser dunia. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.