47 Tahun Perjalanan Ceh M Din di Pusat Kesenian Jakarta dari Timang Rasa Sampai Kemara dan Puisi Renny Djayoesman

oleh

JAKARTA-LintasGAYO.co : Empat puluh tujuh tahun setelah pertama kali menggetarkan panggung Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan lantunan didong Gayo, Maestro Ceh M Din kembali menapaki jejak sejarah itu.

Kamis, 16 Oktober 2025, ia hadir di Teater Jakarta, di lokasi yang dulu menjadi Teater Arena — ruang yang pernah menjadi saksi kebangkitan didong di ibukota.

“Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Dari sinilah kami memperkenalkan didong Gayo ke panggung nasional,” ujar Ceh M Din, dengan mata berkaca-kaca mengenang masa lalu.

Perjumpaan pertamanya dengan TIM terjadi pada 1978, ketika ia bersama grup Timang Rasa tampil berdidong tanding melawan grup Pesisir Laut dari Nosar. Ia tampil bersama dua rekannya, Ceh Abd Rauf dan Ecek Umang, sementara pihak lawan diperkuat oleh Ceh Sulaiman Kanosri, Ceh Syafi’i, dan Ceh Utin.

Pertandingan itu, kata M Din, menjadi momen penting bagi dirinya, karena untuk pertama kali ia menggemakan didong di jantung kesenian Jakarta.

Empat tahun kemudian, pada 1982, M Din kembali tampil di panggung yang sama. Kali ini, ia bertanding melawan grup Teruna Jaya dari Toweren, yang dipimpin Ceh Sahak (Ishak Ali) dan diperkuat Ceh Aris serta Ceh Mahlil Lewa.

“Saya masih ingat suasananya, penuh semangat dan rasa bangga membawa nama Gayo,” kenangnya.

Setahun berselang, 1983, M Din tampil lagi — kali ini bersama grup Kemara Bujang bersama Ceh Pependi Gobal dan Hamidah. Mereka menampilkan karya Awan Sali Gobal berjudul “Roda’ dan “Tanoh Takengen.”

Pertunjukan itu menjadi tonggak baru karena untuk pertama kalinya didong dikolaborasikan dengan pembacaan puisi oleh Renny Djayoesman, penyanyi rock dan aktor teater ternama Jakarta kala itu.

Puisi yang dibacakan Renny merupakan terjemahan karya didong oleh LK Ara dan M. Junus Melalatoa, yang membuka akses bagi penonton non-Gayo untuk memahami makna di balik syair didong.

“Kolaborasi itu memperluas ruang bagi didong agar bisa diterima berbagai kalangan tanpa kehilangan jati dirinya,” tutur M Din.

Didong Kemara dan baca puisi Renny Djayoesman itu juga diterbitkan dalam bentuk album kaset yang beredar secara luas di masyarakat.

Kini, di usia 74 tahun, Ceh M Din masih aktif membina generasi muda melalui grup Kabinet Bebesen, Timang Rasa, dan sejumlah kelompok seni di Aceh Tengah. Ia juga kerap masuk ke sekolah-sekolah untuk mengajarkan didong dan menjadi juri lomba didong, serta narasumber di bayak forum seni.

“Saya ingin anak-anak Gayo mencintai dan meneruskan warisan ini. Didong bukan masa lalu, tapi napas hidup budaya kita,” ujarnya penuh keyakinan.

Dalam refleksi kunjungannya ke TIM, ia berharap agar pemerintah dan masyarakat Aceh bersama-sama menjaga eksistensi didong. “Didong harus tetap hidup, tidak hanya di panggung, tapi juga di hati masyarakat Gayo,” pungkas sang maestro.

[ril-SY]

Foto: Dok. Istimewa
Keterangan: Maestro Didong Ceh M Din saat berada di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis (16/10/2025) — lokasi bersejarah tempat ia berdidong pada tahun 1978, 1982, dan 1983.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.