Kopi Gayo di Persimpangan: Antara Regulasi Global, Krisis Lahan, dan Harapan Petani

oleh
Kebun milik Armiyadi dengan pola tanam sistem pagar dilihat dari udara. (Ist)

Oleh: Dr. Budiyono, S.Hut, M.Si (Dosen Agroforestri Universitas Gajah Putih)

Kopi Arabika Gayo bukan sekadar komoditas ekspor unggulan dari Aceh Tengah. Ia adalah nyawa kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo—mengalir dalam tradisi, ekonomi, dan harapan keluarga petani.

Dari pagi yang dingin hingga senja yang tenang, kopi menjadi pengikat antara alam dan manusia. Ia bukan hanya ditanam, tetapi dirawat sepenuh hati seperti anak sendiri.

Namun hari ini, kopi Gayo berdiri di persimpangan yang genting. Regulasi baru dari Uni Eropa, yaitu European Union Deforestation Regulation (EUDR), mulai berlaku pada 30 Desember 2025 untuk pelaku usaha besar, dan 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil.

Aturan ini mewajibkan bahwa kopi yang masuk ke pasar Eropa harus berasal dari lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020. Ini berarti, hanya kopi yang ditanam di lahan yang telah bebas deforestasi sebelum 2021 yang dapat lolos ke pasar Uni Eropa.

Bagi petani kecil di Aceh Tengah, regulasi ini bukan sekadar tantangan teknis, tetapi ancaman terhadap keberlangsungan hidup. Kajian Tim FOLUR dan Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 42% lahan kopi di Aceh Tengah belum memiliki sistem ketelusuran spasial yang memadai.

Lebih dari 60% koperasi dan eksportir belum memiliki mekanisme verifikasi lahan berbasis geospasial, padahal ini menjadi syarat utama dalam pemenuhan EUDR.

Yang lebih mengkhawatirkan, muncul dugaan bahwa sebagian eksportir kopi—baik dari kalangan koperasi maupun pengusaha swasta—telah terlibat dalam praktik yang tidak sepenuhnya transparan.

Beberapa di antaranya diduga tetap mengekspor kopi dari lahan yang tidak memenuhi standar EUDR, atau belum memiliki sistem ketelusuran yang memadai.

Ketidakjelasan peran lembaga verifikasi di tingkat nasional memperbesar risiko manipulasi data, yang pada akhirnya bisa merugikan petani kecil dan mencoreng reputasi kopi Gayo di mata dunia.

Di sisi lain, tekanan terhadap kawasan hutan terus meningkat. Alih fungsi lahan, degradasi ekosistem, dan lemahnya pengawasan membuat ruang hidup kopi Gayo semakin sempit.

Laju deforestasi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) besar seperti Peusangan, Krueng Jambo Aye, dan Merbau telah menjadi bom waktu ekologis.

Ketiganya merupakan penyangga utama sistem air dan tanah di Aceh Tengah, namun kini menghadapi ancaman serius akibat perambahan hutan, galian C, dan ekspansi perkebunan yang tidak terkendali. Jika hulu DAS rusak, maka bukan hanya kopi yang terancam, tetapi seluruh sistem kehidupan masyarakat Gayo.

Ironisnya, di tengah potensi ekonomi yang besar, angka kemiskinan di Aceh Tengah masih tergolong tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, pada September 2024, persentase penduduk miskin di Aceh tercatat sebesar 12,64%, dan Aceh Tengah termasuk kabupaten dengan tingkat kemiskinan yang belum menunjukkan penurunan signifikan.

Ini bukan sekadar paradoks, tapi cermin bahwa sistem kopi saat ini belum cukup adil dan inklusif.

Pertanyaannya kini bukan hanya bagaimana mempertahankan kopi Gayo di pasar global, tetapi bagaimana menjadikannya alat transformasi sosial dan ekologis.

Kita perlu pendekatan lanskap yang menyatukan konservasi hutan, pemberdayaan petani, dan adaptasi terhadap regulasi internasional.

Kopi Gayo harus menjadi contoh bahwa keberlanjutan bukan sekadar label ekspor, tapi jalan hidup—yang mengangkat harkat masyarakat, menjaga warisan alam, dan memastikan bahwa aroma kopi Gayo tetap harum di masa depan. []

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.