Oleh : Marah Halim*
Curhatan singkat tentang “Mainstreaming Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab” adalah sekedar berbagi keresahan tentang sistem pendidikan dan kondisi kebangsaan (kemasyarakatan). Realitas yang terasa adalah setelah 80 merdeka bangsa ini masih MM “meunan-meunan”; begitu-begitu saja.
Sahabat saya pak Mahbub Fauzie, salah seorang insan pencinta sejati Kemenag mengulas curhatan dengan sangat apik disertai perspektif dan POV (point of view) yang bernas.
Seperti apa capaian sebuah bangsa setelah sekian lama merdeka? Lazimnya saat ini sengaja dipertunjukkan pada momen-momen peringatan hari-hari penting bagi bangsa itu.
Beberapa hari lalu Presiden kita dengan gagah menghadiri peringatan Victory Day China di Beijing. Yang dipamerkan China adalah senjata-senjata canggih seperti rudal balistik antar benua, pesawat siluman, pesawat tempur generasi ke-5, senjata laser, sistem pertahanan udara, radar, drone dan sebagainya.
Cara yang sama bisa kita lihat pada momen-momen kebangsaan oleh Rusia, India, Pakistan, Iran, Korea Utara, Eropa, Amerika; selainya kemana? Karena tidak ada yang bisa dan layak dipamerkan.
Pesan yang tersirat dan tertangkap, “inilah modal kami bertahan sebagai sebuah bangsa yang besar, luas, dan banyak populasinya. Seolah bangsa China berkata, lu punya apa?”
Bandingkan apa yang bisa ditunjukkan bangsa Indonesia pada HUT RI ke-80 kemarin, kita hanya membanggakan Paskibraka, artinya apa? Kita masih asyik membangun semangat kebangsaan dengan slogan, jargon, semboyan, yel-yel, dan semacamnya.
Seharusnya dengan populasi seperempat dari populasi China, kita bisa menunjukkan seperempat pula capaian alat-alat pertahanan China.
Hari gini mana cukup bertahan dengan modal semangat berbangsa dan bernegara; itu sama saja berumah tangga hanya bermodal cinta.
Negara-negara seperti ini sangat rapuh dan mudah didikte dan disetir oleh negara lain. Terbukti dengan sumber daya alam kita saja kita tidak berdaulat; dengan mudahnya ditipu oleh negara lain.
Kenapa? Karena kita tidak punya iptek untuk mengolah bahan baku jadi bahan jadi. Kita bangga hanya karena punya bahan baku, bahkan untuk sekedar menyisipkan “added value” pada bahan baku itu saja kita masih kagok.
Hilirisasi hanya sebatas narasi dan retorika kosong atau hanya mengandalkan iptek bangsa lain untuk mewujudkannya.
Ironis sekaligus aneh, bangsa yang iptek dan produknya kita pakai justru sering kita diskreditkan atau kita bully dengan pandang sinis dan sebutan rasis. Lalu kita masih pasang sikap apologis dan membuat justifikasi-justifikasi atas pencapaian kita.
Parahnya lagi prestasi-prestasi peradaban mereka kita nafikan dengan menyebut sebagai capaian dalam kehidupan dunia, lalu kita nihilkan dengan klaim-klaim eskatologik.
Kita bahkan enggan belajar dan mempelajari strategi mereka hanya karena merasa tidak sejiwa dalam agama dan budayanya. Inilah yang disebut mental block, penghalang psikologis yang jika tidak secepatnya dienyahkan maka nasih bangsa ini tidak akan berubah; bahkan bisa hilang dari peta sejarah.
Untuk terus menjadi sebuah bangsa tidak cukup dengan daya juang dan daya saing, justru yang paling utama adalah daya tahan. Sebagai bangsa kita sudah membuktikan punya daya juang yang tinggi menghadapi penjajahan; dalam beberapa aspek SDM kita juga terbukti bisa bersaing dengan negara lain; tapi untuk bertahan sebagai bangsa mutlak tidak cukup dengan semangat; perlu bukti nyata kesiapan berkonfrontasi bahkan berperang dengan siapapun yang mencoba menguasai dan menguras sumber daya alam kita.
Pendidikan yang mengorientasikan anak bangsanya untuk bisa mengolah sumber daya alam yang ada di depan matanya itulah sesungguhnya pendidikan yang dibangun atas nilai-nilai Islam. Inilah manifestasi dari surat al-fatihah yang dikemas secara apik oleh Menteri Nasaruddin Umar menjadi paradigma kurikulum di Kementerian Agama.
Cinta kepada Tuhan, diri sendiri dan orang lain, ilmu pengetahuan, lingkungan serta cinta kepada bangsa dan negara (generasi) merupakan fondasi paradigmatis yang diletakkan oleh Menag untuk mereformasi cara Kemenag mengelola pendidikan di negara ini.
Adapun tawaran penulis dalam tulisan sebelumnya “”Mainstreaming Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab” tidak bersifat kontradiktif dengan paradigma KBC. Mainstreaming adalah strategi berpikir dan bertindak untuk memberi perhatian lebih pada sesuatu sesuai konteksnya; bukan berarti meninggalkan atau tidak menganggap penting yang lain.
Tawaran tersebut juga semacam formula agar Kemenag terdepan dalam menyiapkan calon SDM dengan ilmu alat yang kuat, bukan sekedar kuat dalam ilmu agama (Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqh Ushul Fiqh, serta SKI). Dengan begitu, Kemenag tidak akan dianggap sebagai institusi yang tidak berkontribusi pada pengembangan iptek.
Tawaran tersebut berupaya menawarkan aksi nyata, relevan dan kontekstual untuk memfokuskan keholistikan paradigma KBC yang digaungkan oleh Menag. Matematika untuk merebut iptek, bahasa Inggris untuk merebut ilmu, dan bahasa Arab untuk memperdalam agama; ketiganya digunakan agar bangsa ini mandiri mengolah lingkungannya yang penuh sumber daya alam (cinta lingkungan) agar bangsa dan negara ini bisa ber-HUT RI yang ke-100, ke-150 dan seterusnya.
Mainstreaming ilmu alat bukanlah gagasan baru, justru gagasan lama dari generasi ke generasi tetapi tidak pernah mengkristal menjadi kebijakan dan aksi komunal. []