Catatan: Mahbub Fauzie*
Demonstrasi mahasiswa selama ini kerap dipandang negatif: bising, berujung bentrok, bahkan tak jarang menimbulkan korban jiwa. Namun apa yang dilakukan mahasiswa Aceh Tengah yang tergabung dalam Aliansi Gayo Merdeka (AGM) pada Senin, 1 September 2025, memberi wajah baru bagi gerakan mahasiswa Indonesia.
Aksi mereka tidak hanya menyampaikan kritik tajam kepada pemerintah, tetapi juga dilakukan secara damai, terukur, dan sarat nilai-nilai moral dan spiritual.
Aksi ini diawali dengan shalat sunnah hajat berjamaah dan doa bersama di jalan protokol Kota Takengon, sebuah pembukaan yang tidak lazim dalam unjuk rasa modern.
Namun justru dari situlah kekuatan moral gerakan ini muncul. Mereka tidak turun ke jalan sekadar untuk menggugat, melainkan dengan harapan dan doa agar negeri ini tetap dalam lindungan Allah SWT, dan agar suara rakyat kecil tidak terus-menerus diabaikan.
Kritik yang Mencerdaskan, Bukan Memecah Belah
AGM membawa 14 poin tuntutan yang disepakati bersama DPRK Aceh Tengah, baik isu lokal maupun isu nasional, mulai dari isu lokal seperti kejelasan pajak PT JMI, reklamasi Danau Lut Tawar, pengelolaan aset daerah, hingga isu nasional seperti RUU Perampasan Aset Koruptor, reformasi Polri, dan penolakan kenaikan tunjangan DPR. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya peka terhadap kondisi daerahnya, tetapi juga sadar akan persoalan bangsa secara luas.
Mereka tidak datang untuk merusak fasilitas umum, tidak melakukan aksi anarkis, dan tidak mengganggu ketertiban masyarakat. Bahkan dalam narasi dan visualisasi aksi, mahasiswa Gayo menunjukkan kecerdasan berbahasa. Salah satu spanduk mereka yang sempat kami tangkap layar berbunyi: “Cukup Rambut Kami yang Berantakan, Negara Jangan!”
Ini adalah bentuk kritik kreatif yang menyentil, namun tidak kasar.
Justru melalui satire seperti ini, publik diajak merenung dan tertawa kecil, namun tetap menangkap pesan serius di dalamnya.
Aksi Damai Sebagai Cermin Demokrasi Berkualitas
Dalam konteks demokrasi, aksi AGM memberi pelajaran penting: penyampaian aspirasi tidak harus berujung kekerasan. Mereka menjadi contoh bagaimana ruang publik bisa digunakan secara bermartabat untuk menyalurkan kritik. Ini berbeda dengan demonstrasi di beberapa kota besar yang sayangnya berujung kerusuhan, bahkan korban jiwa.
Keberhasilan mahasiswa Aceh Tengah menyampaikan aspirasi secara damai, dan diterimanya tuntutan mereka secara resmi oleh DPRK Aceh Tengah, adalah indikator bahwa dialog demokratis masih mungkin terjadi di level daerah, asal ada itikad baik dari kedua belah pihak.
Lebih dari itu, aksi ini juga menegaskan pentingnya spiritualitas dalam gerakan sosial. Doa bersama dan shalat hajat bukan hanya simbol, melainkan refleksi bahwa perjuangan ini tidak lepas dari nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Nilai-nilai seperti ini sering luput dari perhatian dalam gerakan mahasiswa di kota-kota besar.
Kini bola berada di tangan pemerintah. DPRK dan Pemkab Aceh Tengah telah menandatangani 14 poin kesepakatan. Artinya, mereka punya kewajiban moral dan politik untuk mewujudkan tuntutan tersebut. Jangan biarkan kepercayaan yang sudah mulai tumbuh dari masyarakat dan generasi muda kembali runtuh hanya karena janji yang tak ditepati.
Mahasiswa Gayo: Energi Moral Aceh Tengah
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh Tengah, saya merasa bangga melihat mahasiswa kita tampil sebagai penjaga nurani publik, bukan hanya di kampus, tetapi juga di ruang sosial dan politik. Mereka tidak hanya mampu menganalisis masalah, tetapi juga mampu menyampaikan solusi dan menuntut keadilan secara bertanggung jawab.
Semangat ini harus dijaga. Gerakan ini harus terus dikawal, namun dengan tetap menjaga etika dan integritas. Mahasiswa Aceh Tengah telah membuktikan bahwa menjadi kritis tak harus kasar, menjadi vokal tak harus destruktif, dan menjadi oposisi tak berarti memusuhi negara.
Kita boleh berbeda pendapat, kita boleh kecewa pada kebijakan pemerintah. Tapi bila semua pihak, rakyat, mahasiswa, dan wakil rakyat, mau saling dengar, maka konflik bisa dihindari, dan demokrasi bisa tumbuh sehat. Aksi damai di Takengon ini adalah buktinya.
Semoga gerakan seperti ini menjadi inspirasi di daerah lain: bahwa dari dataran tinggi Gayo, suara perubahan bisa bergema ke seluruh penjuru negeri. Kritis, elegan, dan tetap bermartabat.
Yakin usaha sampai, merdeka!
Atu Lintang, 2 September 2025
*Pemerhati sosial dan generasi muda. Aktif menulis isu-isu keluarga, pendidikan, demokrasi lokal, dan partisipasi pemuda.