Pacu Kude, Even Lokal yang Seharusnya Menasional

oleh

Oleh: Marah Halim*

Pacuan kuda di dataran tinggi Gayo, Aceh, bukanlah sekadar perlombaan, melainkan perwujudan dari sebuah tradisi yang telah mengakar kuat sejak zaman kolonial.

Selama puluhan tahun, tradisi ini hanya berputar di tiga kabupaten—Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Bener Meriah—tanpa gaung yang berarti di luar wilayah tersebut.

Berita mengenai perlombaan ini bahkan jarang sekali sampai ke Banda Aceh, apalagi ke tingkat nasional.

Ironisnya, di bundaran Simpang Lima Banda Aceh atau Bundaran Kota Bireuen, tidak ada satu pun videotron atau spanduk yang mengabarkan bahwa di Takengon akan digelar pacuan kuda, sebuah even tradisional yang hakikatnya telah diselenggarakan secara profesional selama puluhan tahun.

Situasi ini menunjukkan sebuah realitas yang miris: sebuah budaya yang unik dan kaya, namun tetap terkungkung dalam batas-batas administratif, jauh dari potensi sebenarnya sebagai olahraga dan daya tarik wisata yang mampu mendongkrak perekonomian daerah.

Seharusnya, berita tentang pacuan kuda ini tersiar di setiap ibukota kabupaten di Aceh, bahkan sampai Sumatera Utara, untuk membangkitkan minat wisatawan lokal (wislok) agar berkunjung ke Aceh Tengah.

Keberadaan pacuan kuda yang telah berlangsung begitu lama membuktikan bahwa masyarakat Gayo memiliki keahlian mendalam. Pengetahuan mereka bukan hanya terbatas pada teknis balapan, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kuda: dari memelihara, merawat, melatih, menjaga kesehatan, hingga memperdagangkannya.

Keterampilan ini adalah warisan budaya yang langka, tidak dimiliki oleh etnis lain di Aceh. Oleh karena itu, sudah saatnya pacuan kuda Gayo diangkat dari sekadar “even tarbup” (acara antar kabupaten) menjadi sebuah agenda provinsi atau bahkan nasional.

Momentum besar untuk mewujudkan hal ini sudah di depan mata. Ditunjuknya Aceh Tengah sebagai tuan rumah cabang olahraga berkuda pada Pekan Olahraga Nasional (PON) mendatang menjadi pengakuan bahwa arena pacuan kuda di Blang Bebangka sudah memenuhi standar nasional. Ini adalah kesempatan emas untuk mempromosikan pacuan kuda Gayo ke panggung yang lebih besar.

Namun, potensi ini tidak akan terwujud tanpa strategi yang matang, terutama dalam hal lobi politik. Presiden saat ini, Prabowo Subianto, dikenal luas sebagai seorang pecinta kuda. Ini adalah modal politik yang sangat berharga.

Para pemangku kepentingan di dataran tinggi Gayo, termasuk pemerintah daerah dan tokoh masyarakat, harus memanfaatkan hobi presiden ini sebagai pintu masuk untuk menggaungkan pacuan kuda Gayo di tingkat pusat.

Ditambah lagi, posisi strategis Sekjen Partai Gerindra yang merupakan putra Gayo akan semakin mempermudah langkah-langkah politik tersebut. Aliansi ini bisa menjadi kunci untuk menarik perhatian dan investasi dari Jakarta.

Agar pacuan kuda Gayo benar-benar menjadi agenda provinsi, peresmian acara harus dilakukan oleh figur penting seperti Gubernur Aceh. Kehadiran pemimpin provinsi akan memberikan legitimasi yang berbeda dan memperkuat citra pacuan kuda sebagai acara resmi yang didukung penuh oleh pemerintah.

Selama ini, absennya kehadiran tokoh-tokoh penting di level provinsi dan nasional membuat acara ini terkesan tidak penting di mata publik yang lebih luas.

Momen ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun citra pacuan kuda sebagai salah satu agenda kebudayaan dan pariwisata Aceh.

Pacuan kuda Gayo adalah aset tak ternilai. Bersama kopi Gayo dan keindahan Danau Laut Tawar, pacuan kuda berpotensi menjadi pilar utama pariwisata. Ini adalah keunikan yang tidak bisa ditiru oleh daerah lain.

Alih-alih membiarkannya terkubur sebagai tradisi lokal, para petinggi Gayo harus berani berpikir strategis dan melakukan langkah-langkah nyata. Bukan hanya sekadar menggelar acara, tetapi juga merancang sebuah narasi besar yang menghubungkan tradisi, olahraga, pariwisata, dan lobi politik.

Apakah kita akan membiarkan kekayaan budaya ini tetap menjadi rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang di tiga kabupaten, atau akankah kita bertindak dan menjadikan pacuan kuda Gayo sebagai kebanggaan nasional yang layak dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan tindakan nyata. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.