Oleh : Fadhli Djailani*
Dari Gayo Lues, Sebuah Cermin
Beberapa waktu lalu, masyarakat Kecamatan Putri Betung, Gayo Lues, dikejutkan oleh tindakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang memasang plang kawasan konservasi di tengah pemukiman dan lahan garapan warga.
Tindakan itu dilakukan tanpa musyawarah, padahal lahan tersebut telah diolah secara turun-temurun.
Akibatnya, keresahan pun merebak. Bagi petani, tanah bukan sekadar aset, tetapi sumber penghidupan dan warisan leluhur.
Potensi Konflik yang Lebih Luas
Kejadian di Gayo Lues tidak boleh dianggap kasus yang berdiri sendiri. Jika pola ini berulang di kabupaten-kabupaten lain di Aceh, bukan tidak mungkin akan memicu konflik horizontal antarwarga maupun vertikal antara rakyat dan pemerintah.
Melarang masyarakat membuka kebun dan mencari rezeki halal sama saja memutus jalur penghidupan yang halal dan bermartabat. Akibatnya, potensi munculnya penyakit sosial akan meningkat — mulai dari kriminalitas, perjudian online (judol), hingga pinjaman online (pinjol) yang menjerat ekonomi keluarga hingga degradasi moral.
Dari tangan yang dulu memegang cangkul, menanam harapan di tanah sendiri, kini terpaksa menggenggam gadget, mencari ilusi keberuntungan di judi online. Sebuah perjalanan pahit dari keringat yang jujur ke jebakan yang menipu—dan semua bermula dari hilangnya hak rakyat atas tanahnya.—sebuah kemunduran yang lahir dari kebijakan yang abai pada hak hidup rakyat.
Pencegahan terhadap hal ini jauh lebih bijak daripada menunggu masalah membesar.
Landasan Hukum Kekhususan Aceh
Kekhususan Aceh dalam mengelola sumber daya alam memiliki pijakan hukum yang kuat, yakni
MoU Helsinki 2005 dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006.
MoU Helsinki 2005:
• Bagian 1.1.7: Aceh berhak mengelola sumber daya alam di darat dan laut, termasuk penetapan kawasan konservasi.
• Bagian 1.3.3: Pemerintah Aceh mengatur sektor publik yang bukan kewenangan pusat, selama tidak terkait pertahanan, moneter, atau hubungan luar negeri.
UUPA No. 11 Tahun 2006:
• Pasal 150 ayat (1): Aceh berwenang mengurus urusan kehutanan di wilayahnya.
• Pasal 150 ayat (2): Aceh berhak menetapkan kebijakan hutan, termasuk lindung dan konservasi.
• Pasal 156 ayat (3): Pengelolaan hutan konservasi dapat berdasarkan kearifan lokal dan hukum adat mukim.
Dengan dasar sekuat ini, seharusnya tidak ada alasan bagi siapapun untuk menyingkirkan rakyat dari tanahnya. Aceh tidak pernah kekurangan sumber hukum untuk melindungi dan memakmurkan rakyatnya; yang kita kekurangan adalah politisi yang berani mengeksekusi kebijakan demi kepentingan rakyat, tanpa gentar menghadapi risiko dan tekanan.
Konservasi Jangan Berubah Menjadi Alat Pengusiran
Konservasi sejatinya adalah upaya luhur untuk menjaga keseimbangan alam. Namun, ia akan kehilangan maknanya ketika dijadikan kedok untuk menyingkirkan rakyat dari tanah kelahiran mereka.
Tidak ada keadilan ketika konservasi dimaknai sebagai pemutusan akses masyarakat terhadap sumber hidup yang telah mereka rawat secara turun-temurun. Terlebih lagi, jika tanah itu telah dijaga dengan hukum adat yang teruji menjaga kelestarian, jauh sebelum istilah konservasi tercatat dalam kamus kebijakan modern.
Konservasi yang mengabaikan hak hidup rakyat bukanlah pelestarian, melainkan penghapusan jejak sejarah dan kedaulatan di tanah sendiri.
Petani dan Rakyat Adat: Terpinggirkan di Tanah Leluhur
Konflik agraria dan kehutanan di Aceh bukan sekadar persoalan batas wilayah atau status hukum lahan; ia adalah potret ketimpangan yang mengakar. Petani kecil, eks kombatan, dan masyarakat korban konflik—yang dalam butir MoU dijanjikan akses atas tanah—hingga kini masih terombang-ambing tanpa kepastian.
Mereka hidup di pinggir hutan, memandang pepohonan yang telah mereka jaga selama puluhan tahun, namun statusnya dicap “ilegal” oleh negara. Ironisnya, cap itu datang dari otoritas yang tidak pernah menanam satu pun pohon di sana.
Secara moral, merekalah pemilik sah—penjaga alam yang setia. Secara historis, tanah itu adalah warisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tetapi ketika kebijakan abai dan hukum membisu, mereka dipaksa menjadi orang asing di tanah kelahiran sendiri.
Dan jika negara tidak hadir untuk melindungi rakyatnya, dengan hak apa ia mengklaim kawasan itu sebagai “milik negara”?
Peran Akademisi, Pengamat, Media, LSM, dan Pemerintah Aceh
Persoalan ini tidak dapat direduksi hanya sebagai sengketa administrasi kehutanan. Ia adalah simpul dari persoalan yang lebih besar—yakni resolusi konflik, ketimpangan akses terhadap sumber daya, dan arah pembangunan sosial-ekonomi Aceh ke depan.
Dalam konteks ini, peran akademisi menjadi krusial. Para cendekiawan, terutama yang memiliki kompetensi di bidang resolusi konflik, kebijakan publik, dan pengelolaan sumber daya alam, perlu terlibat aktif memberikan analisis mendalam, rekomendasi kebijakan, dan kerangka solusi yang realistis. Masukan dari kalangan ini harus mampu menjembatani kepentingan pelestarian lingkungan dengan kebutuhan ekonomi rakyat yang hidup di sekitar hutan.
Pengamat independen dan lembaga riset memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal proses ini, memastikan setiap kebijakan berbasis pada data lapangan yang akurat, bukan sekadar asumsi birokrasi.
LSM, baik lokal maupun nasional, diharapkan menjadi mitra strategis yang menghubungkan aspirasi masyarakat dengan forum kebijakan, serta melakukan advokasi ketika hak-hak rakyat terancam.
Sementara itu, media massa berperan sebagai corong informasi dan pengawas publik (watchdog), mengungkap fakta di lapangan sekaligus memberi ruang bagi suara rakyat yang kerap terpinggirkan dari meja perundingan.
Pemerintah Aceh, sebagai pemegang mandat politik dan hukum, harus menjadi penggerak utama sinergi ini. Dengan memanfaatkan landasan kekhususan Aceh yang diatur dalam MoU Helsinki dan UUPA, pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan kehutanan yang berpihak pada rakyat, berlandaskan kearifan lokal, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Hanya melalui kolaborasi erat antara akademisi, pengamat, media, LSM, dan pemerintah—dengan rakyat sebagai pusat kebijakan—Aceh dapat menghindari jebakan kebijakan yang mengorbankan hak hidup demi retorika pelestarian yang semu.
Seruan kepada Politisi Aceh
Wahai para wakil rakyat Aceh di DPD, DPR RI, dan DPRA—ingatlah, suara yang kalian bawa adalah suara rakyat yang menitipkan harapan. Saatnya berdiri tegak, bersuara lantang, dan bertindak nyata demi menjaga tanah dan martabat Aceh, untuk bersatu dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan politik.
Langkah strategis yang perlu dilakukan:
• Menegakkan hak Aceh sesuai UUPA dan MoU Helsinki,
• Mengakui dan mengesahkan hutan adat, areal kerja Hutan Gampong dan areal kerja hutan kemasyarakatan sesuai dengan Pasal 102-104 Qanun Aceh No.7 tahun 2016.
• Menolak kebijakan pusat yang menutup akses rakyat tanpa solusi penghidupan,
• Memastikan pengelolaan hutan memakmurkan rakyat Aceh secara berkelanjutan.
Renungan Bersama
Kasus Gayo Lues menjadi cermin yang harus diwaspadai. Pengelolaan hutan Aceh harus dilandasi prinsip keadilan, kekhususan, dan keberlanjutan. Mengabaikan hak rakyat bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman bagi perdamaian dan kestabilan sosial di Aceh.
Perdamaian Aceh lahir dari janji—janji untuk mengakhiri senjata dan menghapus ketidakadilan ekonomi. MoU Helsinki dan UUPA bukan sekadar teks, tetapi kesepakatan yang menjamin hak rakyat Aceh atas tanah dan hutannya.
Hari ini, janji itu diuji. Saat rakyat terusir dari lahannya, yang terancam bukan hanya tanah, tetapi kepercayaan terhadap negara. Hutan Aceh bukan sekadar pepohonan, ia adalah nadi kehidupan dan identitas bangsa Aceh.
Mari kita tegakkan kekhususan Aceh, bukan hanya di atas kertas, tetapi di lapangan. Jangan biarkan sejarah mencatat bahwa kita gagal menjaga apa yang telah diperjuangkan dengan darah, air mata, dan doa.
Aceh yang sejahtera dan berdaulat hanya lahir jika tanah, hutan, dan rakyatnya dilindungi sepenuhnya—hari ini, esok, dan selamanya. []
*Penulis merupakan petani pedalaman Peudada Kabupaten Bireuen