Menolak Pergeseran Budaya dan Etika Melalui Holong-Gemasih

oleh

Oleh: Zuliana Ibrahim*

Peradaban modern bukan hanya sekadar menerima perubahan untuk perkembangan, tetapi membuka peluang perubahan menjadi pergeseran. Kesimpulan ini saya peroleh saat mengikuti salah satu diskusi panel di kegiatan Balige Writers Festival 2025.

Balige Writers Festival adalah ajang pertemuan bagi para penulis Indonesia dari berbagai genre. Banyak agenda menghiasi kegiatan ini sejak tanggal 31 Juli sampai 3 Agustus 2025 lalu di Balige Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara.

Diundang menjadi salah satu peserta emerging dalam perhelatan ini, saya terus menyediakan “gelas kosong” tiap kali diskusi panel diselenggarakan. Harapan nantinya pengetahuan yang didapat bisa saya bawa pulang ke kampung halaman.

Diskusi panel di hari kedua, tepatnya 1 Agustus 2025 adalah salah satu diskusi yang membuat saya bermenung. Membahas tema kegiatan Balige Writers Festival tahun ini yaitu Holong.

Holong dalam bahasa Batak berarti cinta, kasih sayang, ungkapan perasaan cinta kasih yang tulus. Holong tidak hanya sebatas perasaan romantis yang terjalin antar manusia, tetapi juga pada alam sekitar termasuk di dalamnya terhadap hewan, tumbuhan, dan lingkungan.

Holong dalam masyarakat Batak, dapat menjadi kekuatan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih seimbang. Menciptakan keselarasan dan keserasian di tengah gencarnya modernisasi.

Hakikat cinta membuat hidup menjadi damai, menciptakan harmonisasi di tengah masyarakat yang berbudaya, dan membuat manusia menjadi lebih bertanggung jawab dalam menjalani hidup.

Namun disadari atau tidak, manusia terus membuat kerusakan. Holong dikesampingkan, demi isi perut dan membawa-bawa nama kemaslahatan.

Fenomena pergeseran budaya adalah salah satu akibat tergerusnya holong dalam masyarakat. Misalnya jelang pesta pernikahan, umumnya hanya undangan yang disebar oleh keluarga pengantin sebelum pesta berlangsung.

Namun pergeseran budaya terjadi di tengah masyarakat Batak, saat tuan rumah menyebarkan undangan mereka juga harus memberikan togu-togu ro sebagai penuntun kedatangan, biasanya berbentuk sejumlah uang.

Padahal togu-togu ro bukanlah sebuah kewajiban bagi tuan rumah, tapi ini seperti sudah menjadi hal umum untuk dilakukan.

Tidak ada kepedulian, krisis holong karena enggan menanamkan budaya yang mulai bergeser. Hal ini juga terjadi pada perubahan nilai-nilai dalam keluarga, akibat kurangnya komunikasi antar bagian keluarga termasuk anak kepada orang tua.

Anak-anak kurang perhatian dan bimbingan, sehingga timbul kenakalan-kenakalan remaja yang cenderung membahayakan baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Begitu pula dari perspektif lingkungan, saat ini hampir seluruh kawasan Danau Toba dihantui penghuni baru yaitu jenis ikan red devil (amphilophus labiatus).

Ikan yang berasal dari Amerika Tengah ini telah menjadi hama karena berkembang dengan sangat cepat dan agresif, memangsa ikan-ikan kecil termasuk ikan endemik Danau Toba.

Keberadaan red devil atau ikan setan merah ini menjadi ancaman terhadap ekosistem asli Danau Toba.

Tidak diketahui dengan pasti bagaimana bisa ikan ini mulai menguasai perairan Danau Toba, yang pasti ini perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, melepaskan holong dalam dirinya.

Tidak menjaga harmonisasi kehidupan di dalam Danau Toba sebagai salah satu sumber pencaharian masyarakat yang tinggal di wilayah Toba.

Salah satu jenis holong yang menarik perhatian saya adalah holong agape, holong jenis ini merujuk pada kasih sayang berbentuk pengorbanan, melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan, kasih yang tulus tanpa perhitungan dan tidak mementingkan diri sendiri.

Layaknya matahari yang membiarkan cahayanya untuk tumbuhan melakukan fotosintesis demi keberlangsungan hidup, begitulah kiranya kasih ibu saat merawat anaknya tiada terbatas hingga dewasa.

Holong jenis ini tentu tidak mudah dilakukan, bisa dikatakan hanya manusia yang berhati malaikat yang dapat melakukannya, apalagi saat ini banyak cara menggiurkan dapat dengan mudah meruntuhkan niat baik dan ketulusan seseorang.

Mengingat pentingnya holong dalam kehidupan, pembahasan holong ini pun memantik saya untuk menemukan istilah yang hampir sama dengan budaya Gayo sebagai tanah kelahiran saya. Saya mencoba memadankan holong dengan istilah gemasih dalam bahasa Gayo.

Istilah gemasih juga sering didampingkan dengan kata semayang. Semayang gemasih adalah sistem nilai budaya Gayo, sesuai dengan ajaran agama Islam untuk membangun karakter dan interaksi sosial yang harmonis. Istilah ini merujuk pada nilai kesantunan, kasih sayang, cinta, dan kelembutan.

Semayang Gemasih menjadi salah satu landasan utama dalam menerapkan nilai-nilai kehidupan di tengah masyarakat Gayo. Sama halnya dengan holong, penerapan semayang gemasih pada diri seseorang harus didasari dengan kesadaran penuh bahwa hidup bukan hanya menerima tetapi juga memberi, menjaga, dan menyelamatkan.

Semayang gemasih menekankan pada ketulusan memberikan kasih sayang dan cinta yang mendalam tanpa batasan, dan sesuai kemampuan. Kasih sayang dan cinta tersebut diberikan pada siapa saja yang membutuhkan, baik kepada sesama manusia maupun lingkungan sekitar.

Melalui semayang gemasih, pembentukan karakter dilakukan sedemikian rupa untuk menjauhkan diri dari sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Saban hari kita terus dicekoki dengan peristiwa-peristiwa yang membuat kita mengelus dada. Masyarakat kerap merasa terzolimi, tapi sebaliknya tidak sadar juga menzolimi diri sendiri.

Pergeseran budaya juga tidak luput terjadi di daerah penghasil kopi terbaik ini. Seperti halnya masyarakat Batak, masyarakat Gayo juga tidak lepas dari ancaman-ancaman modernisasi.

Beberapa waktu ini, kita mendengar tradisi tarin-tarin kope oleh Majelis Permusyawaratan Ulama minta segera dihapus melalui Majelis Adat Gayo karena dianggap telah keluar dari koridor penerapan syariat Islam dan melanggar sistem sumang dalam masyarakat Gayo.

Tentu tidak mudah membuat masyarakat meninggalkan segera tradisi tarin-tarin kope sebab telah dilakukan secara turun temurun, baik itu di acara pernikahan atau khitanan. Tradisi ini hadir di masyarakat Gayo sebagai bentuk euforia di tengah hajatan.

Namun perlu kita pahami bahwa tarin-tarin kope saat ini mengalami pergeseran budaya. Belakangan tampilan pada tradisi ini cenderung tidak elok untuk dipandang atau dipertontonkan karena berbaurnya antara perempuan dan lelaki yang bukan mahram saat menari.

Saya sepakat dengan opini yang pernah ditulis Dr. Salman Yoga mengenai hal ini bahwa alangkah baiknya tradisi ini ditata ulang dengan mengembalikannya pada awal seni Gayo yang berlandaskan ajaran Islam.

Sebuah tradisi merupakan hasil karya yang lahir dari kreatifitas sebuah masyarakat, menjaga eksistensi sebuah tradisi di tengah masyarakat urbanisasi juga menjadi sebuah tantangan. Oleh karena itu melalui semayang gemasih, mengingatkan dengan kelembutan dan kesantunan sangat diperlukan dalam hal ini.

Akhir-akhir ini masyarakat Gayo cukup berbahagia pula, kebijakan pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dengan tegas membongkar cangkul padang yang selama ini menjadi salah satu keluhan masyarakat, terutama para nelayan.

Seperti keberadaan ikan red devil di Danau Toba, cangkul padang di Danau Lut Tawar hadir akibat bergesernya semayang gemasih dalam diri, oknum-oknum itu memilih mengenyangkan perut sendiri dengan melukai alam sekitar yang seharusnya dijaga dan dilindungi.

Merampas kehidupan ikan-ikan yang sebelumnya bebas beranak pinak, merusak habitat yang hidup di dasar Danau Lut Tawar.

Holong dan semayang gemasih bukan hanya sekadar cinta dan kasih sayang semata, tetapi menjadi penjaga sikap, penunjuk arah kebaikan. Membawa kembali pada akar budaya yang melahirkan masyarakat berbudi luhur.

Manusia dan lingkungan adalah satu tubuh yang saling mengikat. Melalui holong dan semayang gemasih kita kembalikan marwah berupa nilai-nilai penting, baik dalam kehidupan sebagai individu, sosial maupun keagamaan.

Takengon, Agustus 2025

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.