Orang Tua “Tebel”

oleh

Oleh : Marah Halim*

Pagi tadi, saya berkendara untuk sebuah urusan di jalan Banda Aceh – Medan. Saat kembali sekitar pukul 11.30, jalanan sudah sangat padat. Dalam kecepatan sedang, pandangan saya tertuju pada seorang anak kecil, mungkin seumuran kelas satu SD, yang berjalan sendirian.

Ia mengenakan seragam lengkap dengan topi, berjalan tepat di pinggir jalan yang ramai dengan lalu lintas mobil besar, truk pasir, dan berbagai kendaraan lainnya.

Di jarak sekitar 500 meter, terlihat sebuah SD yang juga terletak di pinggir jalan. Rasanya, anak itu memang bersekolah di sana. Mata saya terus mengawasi, berharap menemukan orang dewasa yang menemaninya.

Sayangnya, sampai saya melewati area sekolah, tidak ada seorang pun yang terlihat menjemputnya. Jelas sekali, ia pulang sendirian.

Mungkin ini sudah jadi rutinitasnya, tapi perasaan saya tidak bisa menerima. Saya rasa, membiarkan anak sekecil itu di jalan raya yang sibuk adalah hal yang sangat berbahaya. Saya tidak bisa tidak menyalahkan orang tua yang tidak menjemput, dan pihak sekolah yang membiarkan siswanya pulang tanpa pengawasan.

Meskipun saya tidak berhenti, kekhawatiran saya membuat saya putar balik. Saya hanya ingin memastikan anak itu aman saat menyusuri pinggir jalan, terutama jika ia harus menyeberang.

Dari kejauhan, saya kembali melihat anak itu berjalan santai. Kebetulan, ada pengendara lain dari arah berlawanan yang juga berhenti dan memandang ke arah anak itu, sepertinya ia juga cemas. Saat saya bertanya, ia mengaku tidak tahu anak siapa.

Tak lama, seorang ibu datang dari belakang saya. Ia memberitahu bahwa rumah anak itu, sebuah kios kecil, ada di seberang jalan. Yang membuat saya heran, saat saya menyeberangkan anak itu, ada seorang bapak muda—yang saya duga ayahnya—di dalam kios.

Dengan bingung, saya bertanya kepada ibunya, “Mengapa anak sekecil itu dibiarkan pulang sekolah sendirian?” Ibunya menjawab, “Sudah terbiasa, Pak.” Jawaban itu membuat saya semakin kesal. Tanpa berkata-kata lagi, saya langsung kembali ke mobil dan pergi dari sana.

Sambil terus berkendara, pikiran saya terus berkecamuk. Saya teringat sebuah peristiwa tragis sekitar tujuh tahun lalu di ruas jalan Takengon-Bireuen, tepatnya di daerah Simpang Balik. Seorang anak kelas 3 SD tertabrak mini-truk L300.

Yang membuat kejadian itu semakin pilu, peristiwa nahas itu terjadi persis di depan mata ibu kandungnya yang sedang menunggu di seberang jalan. Entah mengapa, ibu itu tidak menemani anaknya menyeberang jalan yang padat.

Foto tanpa sensor yang memperlihatkan sang ibu meraung di tengah jalan sambil memeluk anaknya yang bersimbah darah masih terbayang jelas di mata saya hingga saat ini. Bahkan, setiap kali teringat gambar memilukan itu, mata saya sontak terasa panas.

Dalam hati, saya terus bertanya-tanya, apakah hanya ayah tiri yang tega mengabaikan keselamatan anak tirinya? Pikiran saya melayang, teringat cerita anak-anak yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua.

Saya teringat teman kecil saya, Imran namanya, yang benar-benar tumbuh tanpa kehadiran figur orang tua setelah perceraian mereka. Dia dan abangnya tinggal dan dirawat oleh neneknya yang sudah sangat tua.

Masih jelas dalam ingatan saya kondisi Imran yang tidak terurus: bajunya kotor dan penampilannya selalu kusut. Terkadang, ia menjadi korban bullying dari kami teman-temannya karena ingusnya sering meleleh di bibir.

Setelah ia masuk SMP, neneknya meninggal, barulah ia dan abangnya kembali dijemput ibunya dan berkumpul dengan dua adik perempuannya.

Dua tahun lalu, saya menyempatkan diri mengunjunginya. Ia hampir tidak mengenali saya, meskipun matanya berusaha keras untuk mengingat. Begitu saya menyebutkan nama, kami berpelukan erat dengan haru. Lebih dari 30 tahun kami tidak bertemu, dan kenangan masa lalu terasa begitu dekat.

Dalam bahasa Gayo, ungkapan untuk orang yang serampangan atau tidak terlalu peduli atas tugas dan tanggung jawabnya disebut dengan sifat “tebel” (seperti membaca “becek”). Artinya sama dengan tidak becus.

Banyak cerita tragis yang menimpa anak yang belum tahu apa-apa dari belahan dunia yang lain akibat dari sikap dan perilaku “tebel” orang tuanya.

Sadar atau tidak, orang tua “tebel” adalah produk dari pernikahan yang tidak siap; yang sebetulnya belum siap menikah tetapi hanya siap untuk “kawin”.

Tentu para insan Kemenag c.q. KUA sangat berperan dalam hal ini, setidaknya isu ini bisa tengku-tengku angkat sebagai materi khutbah pada Jum’at tanggal 08 Agustus 2025 ini. Demikian cukeh bacut dari Kutaradja. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.