Baitul Asyi dan Blang Padang : Napak Tilas Filantropi Indatu Aceh

oleh
Prof. Dr. Azharsyah Ibrahim, SE.Ak., M.S.O.M

Oleh : Prof. Dr. Azharsyah Ibrahim, SE.Ak., M.S.O.M.*

Kepulangan jamaah haji asal Aceh dari haramain setidaknya ikut membawa kisah tentang kegembiraan mereka yang telah menerima pembagian hasil wakaf Baitul Asyi.

Sebuah gambaran tentang pengelolaan wakaf yang baik sehingga keinginan awal pewakaf yang memesankan bahwa hasil wakafnya harus dibagikan kepada jamaah haji asal Aceh dapat tertunaikan.

Di sisi lain di Aceh, dalam waktu yang hampir bersamaan pembicaraan tentang kasus wakaf tanah Blang Padang juga kembali mengemuka terkait status dan pengelolaannya.

Pemerintah Aceh sedang berupaya untuk mengembalikan status tanah Blang Padang sebagai wakaf, yang oleh pewakafnya diperuntukkan untuk kemakmuran Masjid Raya Baiturrahman.

Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf, sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia tanggal 4 Juli 2025 menyatakan akan berupaya maksimal untuk mengembalikan status tanah wakaf Blang Padang yang saat ini dikelola TNI AD kembali menjadi hak Masjid Raya Baiturrahman.

Tulisan ini tidak ingin masuk lebih dalam terkait perdebatan status harta wakaf tersebut, tetapi akan mengkhususkan diri pada sisi kedermawanan masyarakat Aceh dahulu yang begitu kuat.

Wakaf Baitul Asyi dan Blang Padang hanya representasi dari berbagai wakaf lainya yang telah diwariskan masyarakat Aceh untuk bangsa dan agamanya. Sebuah semangat kedermawanan yang tentunya perlu diduplikasi oleh generasi Aceh saat ini.

Baitul Asyi dan Blang Padang Simbol Kedermawanan

Dalam lintasan sejarah, Aceh pernah menjadi simpul perdagangan rempah dunia. Kemakmuran dari lada, kapur barus, emas, dan hasil bumi lain tidak hanya mencetak saudagar kaya, tetapi juga menumbuhkan tradisi kedermawanan dan tanggung jawab sosial.

Para indatu Aceh meninggalkan warisan nilai dan harta sebagai penopang kesinambungan hidup generasi penerus. Seperti petuah dalam syair Rafli Kande, “Meunyo tan tinggai meu bainah, pane cit leumah tanyo awaina,” yang bermakna warisan itu bukan hanya harta, tetapi juga nilai luhur.

Baitul Asyi dan Tanah Wakaf Blang Padang merupakan dua warisan monumental yang menjadi bukti nyata dari semangat berwakaf indatu Aceh. Keduanya bukan hanya simbol amal, tapi juga mercusuar yang menyinari perjalanan panjang kedermawanan dan visi masa depan rakyat Aceh. Dua warisan ini juga menjadi pelambang dua sisi pengelolaan wakaf yang berbeda yang tentunya perlu diluruskan.

Baitul Asyi merupakan salah satu testimoni terbaik tentang bagaimana semangat wakaf dapat bertahan hingga berabad-abad. Menurut beberapa sumber, wakaf ini merupakan inisiatif Habib Bugak Asyi yang bahkan sudah diniatkan sebelum beliau berangkat ke Tanah Suci di tahun 1800-an. Selain dari dana yang dimilikinya sendiri, Habib Bugak menjadi inisiator pengumpulan dana dari masyarakat Aceh.

Wakaf ini dimulai dari pembelian sebidang tanah kecil di dekat Masjidil Haram yang kini telah berkembang menjadi aset senilai lebih dari 200 juta rial atau setara Rp 5,2 triliun, yang sebagian hasilnya diwakafkan ke jemaah haji asal Aceh.

Yang menarik dari Baitul Asyi adalah konsep pengelolaannya yang produktif dan berkelanjutan. Tanah wakaf tersebut tidak dibiarkan statis, melainkan dikembangkan menjadi hotel-hotel modern seperti Hotel Elaf Masyair dan Hotel Ramada yang strategis dekat Masjidil Haram.

Setiap tahun, jamaah haji asal Aceh menerima manfaat langsung dari wakaf ini dalam bentuk bantuan dana sekitar 1.200-1.500 rial per orang. Model pengelolaan Baitul Asyi menunjukkan visi jangka panjang yang dimiliki indatu Aceh dalam berwakaf.

Mereka memahami bahwa wakaf bukan sekadar menyerahkan aset, tetapi memastikan aset tersebut terus produktif dan memberikan manfaat berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Bergeser ke jantung Kota Banda Aceh ada hamparan Tanah Blang Padang yang merepresentasikan aspek lain dari tradisi wakaf Aceh yang memiliki dimensi historis mendalam.

Berdasarkan dokumentasi sejarah, termasuk buku Van Langen dari era kolonial Belanda, tanah seluas delapan hektare ini merupakan wakaf Sultan Iskandar Muda untuk kepentingan Masjid Raya Baiturrahman.

Keberadaan Blang Padang sebagai ruang terbuka publik di jantung Banda Aceh menunjukkan visi wakaf yang tidak hanya berorientasi pada aspek ibadah, tetapi juga kepentingan sosial kemasyarakatan.

Blang Padang telah menyaksikan berbagai episode penting sejarah Aceh. Di masa penjajahan Belanda, tanah ini digunakan sebagai lapangan militer. Pasca kemerdekaan di tahun 1948, di sinilah semangat filantropi kolektif rakyat Aceh ditunjukkan.

Saat itu, masyarakat dengan sukarela mengumpulkan 120.000 dolar Singapura dan 20 kilogram emas untuk membeli pesawat Seulawah RI-001 sebagai hadiah dari rakyat Aceh kepada Republik Indonesia yang baru merdeka.

Pesawat ini menjadi cikal bakal maskapai Garuda Indonesia dan menunjukkan bahwa tradisi berinfak dan berwakaf bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi bentuk nyata semangat patriotisme rakyat Aceh. Ini hanya satu dari sekian banyak warisan kedermawanan masyarakat Aceh masa lalu yang sejarahnya mulai tergerus pelan-pelan.

Menduplikasi Semangat Kedermawanan

Warisan wakaf ini bukan sekadar kebetulan sejarah. Ia merupakan sistem nilai yang terbangun kokoh dalam budaya Aceh sejak dahulu.

Orang Aceh memahami bahwa kekayaan sejati adalah kebermanfaatan. Itulah mengapa banyak tokoh-tokoh Aceh zaman dulu mewakafkan tanah, bangunan, dan bahkan alat transportasi demi maslahat umat.

Dalam Al-Qur’an, wakaf tak disebut secara eksplisit dengan istilah tertentu, tapi semangatnya meresap dalam perintah untuk infak, sedekah jariyah, dan amal saleh yang terus mengalir.

Dalam hadis disebutkan: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).

Wakaf adalah bentuk sedekah jariyah yang paling kokoh dan paling berdampak panjang; dan indatu Aceh telah lebih dahulu mempraktikkannya bahkan sebelum istilah “ekonomi Islam” menjadi tren akademik atau kebijakan publik.

Tradisi wakaf yang diwariskan indatu Aceh memiliki relevansi tinggi untuk pengembangan ekonomi masa kini. Wakaf tidak harus selalu dalam bentuk tanah.

Hari ini kita bisa mewakafkan aset produktif, saham, buku, teknologi, atau bahkan platform digital untuk kemaslahatan umat.

Di tengah krisis ekonomi dan sosial yang melanda berbagai belahan dunia, wakaf bisa menjadi solusi Islam yang berkelanjutan, adil, dan inklusif. Sudah saatnya Aceh mengembangkan Wakaf Produktif berbasis pemberdayaan UMKM, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi hijau.

Model corporate waqf, crowdfunding wakaf digital, hingga socialpreneur wakaf bisa dirancang sebagai bentuk keberlanjutan dari semangat Habib Bugak dan para indatu lainnya.

Filosofi “meunyo tan tinggai meu bainah” mengajarkan bahwa kemuliaan suatu bangsa tidak diukur dari kekayaan yang dikumpulkan, tetapi dari warisan kebaikan yang ditinggalkan.

Indatu Aceh telah membuktikan hal ini melalui jejak-jejak filantropi yang masih dapat dirasakan hingga kini, baik melalui Baitul Asyi yang terus memberikan manfaat bagi jamaah haji, maupun Blang Padang yang menjadi ruang publik bersejarah.

Generasi muda Aceh memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan estafet ini. Bukan hanya melestarikan warisan fisik, tetapi menghidupkan kembali semangat kedermawanan yang pernah membuat Aceh dikenal sebagai bangsa besar dalam percaturan internasional.

Dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi pengelolaan wakaf modern, tradisi filantropi indatu dapat ditransformasi menjadi kekuatan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Wakaf bukan sekadar ibadah individual, tetapi gerakan kolektif untuk membangun peradaban. Ketika generasi muda memahami dan mengamalkan filosofi bainah indatu, maka warisan kemuliaan Aceh sebagai bangsa dermawan akan terus mengalir seperti sungai yang tak pernah kering, memberikan kehidupan bagi generasi-generasi mendatang. Wallahu Alam bis Sawaf.

*Guru Besar Manajemen Syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.