Catatan Muhammad Syukri*
Joe Samalanga, itu nama panggung dari Jauhari Ilyas (58), lelaki kelahiran Blang Kolak Satu Takengon. Sedangkan Samalanga dibelakang nama panggung yang bersangkutan adalah tanah leluhurnya, di Kabupaten Bireuen, Aceh.
Jarang yang tahu, bahwa lelaki brewokan bertampang Hindustan ini, juga menyandang marga Ginting.
Koq bisa? Iya, sebelum ijab kabul (menikah) dengan boru Sembiring asal Tanah Karo, Joe sempat diupacaraadatkan. Disitu, dia diberi marga Ginting.
Baca Juga : Suka Dibohongi, Kenapa?
Kenapa kiprah Joe Samalanga layak ditulis dan diperkenalkan kepada publik. Karena dia pemberani. Di tengah konflik Aceh yang sedang berkecamuk, dia nekad merilis lagu-lagu heroik melalui album Nyawong.
Belum pernah terungkap, seperti apa tekanan yang dihadapi Joe Samalanga waktu itu. Faktanya, dia masih bugar sampai hari ini.
Baca Juga : Tawar Sedenge ; AR Moese Ingin Kita Bangkit
Alumni SMAN 1 Takengon ini adalah seorang penulis, jurnalis, dan aktivis budaya asal Aceh. Sosok lelaki ini dikenal karena keterlibatannya dalam isu-isu sosial dan politik di wilayah Aceh.
Dia pernah menerbitkan tabloid Asasi pada tahun 1997, namun karena situasi konflik di Aceh saat itu, media tersebut harus dihentikan.
Sebagai alternatif, Joe memilih musik sebagai media komunikasi dan menjadi penata musik untuk lagu-lagu yang menggambarkan realitas masyarakat Aceh.
Beberapa karya terkenal Joe Samalanga mencerminkan perpaduan antara seni, aktivisme, dan narasi sosial yang kuat dari Aceh. Berikut beberapa karyanya yang paling menonjol:
Lagu “Do Do Daidi.” Ini adalah salah satu karya paling ikonik yang ia tata musiknya. Lagu ini berasal dari tradisi nyanyian Aceh dan diolah kembali dengan sentuhan modern untuk menyuarakan penderitaan masyarakat Aceh selama masa konflik.
Lagu ini menjadi bagian dari Album Nyawoung yang dirilis sekitar tahun 2000 dan dipopulerkan oleh Cut Aja Riska dan kawan-kawan.
Tabloid Asasi. Sebelum beralih ke musik, Joe menerbitkan tabloid ini pada tahun 1997. Tabloid ini sebagai media alternatif untuk menyuarakan isu-isu hak asasi manusia di Aceh. Namun, karena tekanan dan situasi konflik, media ini akhirnya dihentikan.
Lalu, tulisan-tulisan Opini dan Budaya. Salah satunya adalah esai berjudul “Kapan Didong Keliling Dunia?” Dia mengangkat pentingnya pelestarian dan promosi seni tradisional Gayo seperti Didong dan Saman ke panggung internasional.
Lalu, apa dampak karya Joe Samalanga terhadap seni dan budaya Aceh? Yang jelas, dia menjadikan seni sebagai media perlawanan dan penyembuhan kolektif di tengah konflik.
Hebatnya, dia tidak hanya menciptakan karya, tetapi membentuk cara baru dalam memaknai seni Aceh.
Artinya, Joe Samalanga telah menghidupkan kembali tradisi Aceh dengan pendekatan modern. Dia menggunakan seni sebagai bentuk perlawanan dan penyembuhan.
Terakhir, dia mendorong pelestarian budaya lokal agar tidak hanya bertahan, tapi juga dikenal dunia. Bravo Joe Samalanga, terus berkarya dan sehat selalu!