Oleh : Fauzan Azima*
Para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka, saat berunding dengan delegasi Pemerintah Indonesia, meramalkan kejadian yang dialami Aceh saat ini. Tidak hanya pergeseran batas wilayah, juga pemekaran.
Sehingga Tengku Sofyan Ibrahim Tiba memberikan masukan kepada PYM Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar untuk memasukkan persoaalan batas Aceh dalam salah satu butir perjanjian damai.
Dan akhirnya, pada perundingan damai, disepakati batas Aceh merujuk pada peta 1 Juli 1956. Peta ini mencakup empat pulau yang dicaplok Pemerintah Indonesia untuk diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatra Utara.
Baca Juga : [Part.1] Kisah Pasukan GAM Wilayah Linge : Ular Kobra dan Suara Senjata Musuh Jadi Obat Malaria
Karena itulah, saat isu pencaplokan ini mencuat, masyarakat Aceh bereaksi keras. Pertama karena dianggap melanggar perjanjian damai. Kedua, sebagai wujud kecintaan terhadap Tanah Air yang merupakan wujud keimanan; hubbul wathan minal iman.
Dalam budaya Aceh yang islami, ada semacam keyakinan bahwa berperang untuk membela agama, tanah air, harga diri, dan nasab, adalah sebuah kewajiban.
Tidak peduli seberapa kuat musuh, saat empat hal ini dirampas, maka syahid itu adalah pilihan paling logis; udeep saree mate syahid. Karena tak ada arti hidup tanpa martabat.
Baca Juga : [Part. 2] Kisah Pasukan GAM Wilayah Linge : Lemah di Senjata, Kuat di Propaganda
Budayawan Sujiwo Tedjo mengatakan sebelum sudra, waisa, ksatria, dan brahmana, menjadi struktur sosial. Empat tingkatan itu adalah struktur kesadaran.
Sudra adalah orang yang hanya memikirkan diri sendiri, Waisa adalah orang yang hanya memikirkan keluarga dan kelompoknya, adapun ksatria adalah orang yang selalu memikirkan negara. Dan Brahmana adalah orang yang umat manusia.
Orang Aceh adalah ksatria dalam pengertian kesadaran. Terbukti dengan banyak keputusan penting yang diambil di masa lalu. Aceh pernah punya kesempatan berdiri sendiri sebagai sebuah negara berdaulat pada masa kolonial belanda.
Baca Juga : [Part III] Kisah Pasukan GAM Wilayah Linge : Sesulit Apapun, Tak Akan Lupa Becanda
Namun karena kesadaran itu, Aceh memilih untuk menjadi daerah modal untuk kemerdekaan Indonesia. Rakyat Aceh juga tidak ragu untuk menyumbangkan pesawat terbang pertama bagi Republik Indonesia dan berkilo-kilo emas untuk ditempelkan di pucuk Monumen Nasional.
Bagi Aceh, hal-hal harta dan kekayaan itu tidak penting selama digunakan untuk menghormati dan menguatkan orang lain. Dan saat itu, Indonesia memang butuh dua hal itu dari Aceh untuk lepas dari penjajahan Belanda.
Perilaku yang ditunjukkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dan jajarannya saat mencaplok empat pulau milik Aceh itu adalah kesadaran Waisha.
Baca Juga : Mari Bekerja Sama Berbuat Baik
Mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompok yang saat ini dikenal dengan istilah oligarki. Dengan mencaplok empat pulau itu, Tito cs berharap mendapatkan keuntungan dari pengelolaan empat pulau itu secara langsung.
Dalam setiap peristiwa buruk yang menimpa Aceh, tetap ada orang Aceh yang ambil bagian dari keburukan itu. Orang itu adalah Safrizal ZA, Dirjen Bina Administrasi Wilayah di Kemendagri.
Dia adalah orang yang melepaskan pulau itu ke wilayah Sumatera Utara. Dan Safrizal itu orang Aceh.
Dia memilih untuk menuruti kemauan Luhut Binsar Panjaitan, bekas Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, yang berkeras mengakuisisi empat pulau itu untuk kepentingan bisnisnya.
Baca Juga : Raja Manekin, Tokeh Berkuasa
Sebagai anak Aceh, seharusnya Safrizal tidak membiarkan hal ini terjadi. Namun dia memilih untuk mempertahankan jabatan dan mengorbankan empat pulau itu demi kepentingan pribadi. Bagi saya, Safrizal adalah seorang Sudra.
Jadi, mari kita mulai lagi pembicaraan tentang empat pulau itu dengan dasar bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, berada dalam teritorial Aceh.
Tak usah berpanjang-panjang. Apalagi sampai membawa urusan ini ke ranah tata usaha negara. Itu adalah langkah konyol dan semakin menumbuhkan antipati terhadap pemerintah pusat yang terus menunjukkan arogansi. Aceh itu tidak lebih rendah dari Jakarta, dan Jakarta tidak lebih tinggi dari Aceh.
Baca Juga : Pandai-Pandailah Kau Merayu Emak
Aceh hanya minta dihargai, syukur-syukur dapat sedikit penghormatan atas segala upaya yang pernah diberikan kepada republik ini dengan permintaan maaf dari Menteri Tito atas rekayasa yang membuat keributan di Aceh dalam beberapa pekan terakhir ini.
Indonesia harus belajar untuk menjadi bangsa ksatria. Tanpa sikap ksatria, negara ini tidak akan langgeng. Percayalah bahwa rakyat Aceh masih berpegang pada falsafah ‘is karima, au mut syahida; hidup mulia atau mati syahid.
*Mantan Panglima GAM Wilayah Linge