Oleh : Fauzan Azima*
Dahulu kala, seorang ahli nujum mengatakan kerajaan antara yang berada diatas awan bakal menghadapi berbagai kejadian aneh.
Benar, setelah raja baru terpilih yang disokong para tokeh, keanehan demi keanehan mulai dirasakan rakyat.
Sang raja memang sangat gagah dan perkasa. Seperti seorang pendekar Sakti dari gunung biru. Kemana pun pergi selalu dielu-elukan pendukungnya.
Hanya segelintir orang yang tahu, bahwa sang raja tidak lebih sebagai manekin. Patung hidup yang dipajang di istana emas.
Semua gerak gerik raja sesungguhnya dikendalikan oleh para tokeh. Misalnya, abdi dalem yang ingin dapat jabatan menteri, prosedurnya sangat mudah. Datangi para tokeh, bayar sekian, siap-siap dilantik sebagai menteri.
Semua tahu, para tokeh itulah pemodal sang raja. Berkat kekayaan para tokeh maka sang raja berhasil dipilih rakyat, dan duduk di singgasana.
Alhasil, apa yang diperintah tokeh pasti dikerjakan oleh sang raja. Mau benar atau salah, mau rakyat senang atau tertindas, sang raja tidak peduli.
Setelah rakyat kerajaan mengetahui pengaruh si tokeh, berduyun-duyun orang antri di depan rumah si tokeh.
Siapa saja yang ingin bertemu si tokeh, harus daftar lebih dahulu. Disana ada kerani yang siap mencatat nama para tamu.
Makin hari makin ramai dikunjungi tamu. Supaya tertip, upes di rumah itu membagi para tamu kedalam lima barisan.
Barisan pertama adalah para kontraktor kecil yang ingin minta pekerjaan dari kerajaan.
Barisan kedua para abdi dalem yang ingin dapat jabatan atau pindah tugas ke tempat yang lebih basah.
Barisan ketiga para orang tua dari para tenaga honorer dan tenaga bakti yang ingin putra putrinya diangkat sebagai abdi dalem resmi.
Barisan keempat, para cekgu yang ingin memperoleh tambahan jam mengajar, termasuk yang ingin mencairkan dana sertifikasi.
Barisan kelima, rakyat jelata yang ingin memperoleh bantuan bahan pangan dari kerajaan.
“Ada urusan apa?” tanya si kerani singkat.
“Mau minta pekerjaan konstruksi,” jawab si tamu.
“Paket berapa?” tanya si kerani lagi.
“Paket 200 juta ketip,” jawab si kontraktor.
“Bayar 20 juta ketip,” perintah si kerani. Si kontraktor menyodorkan sentong berisi uang 20 juta ketip.
Si kerani menyerahkan kertas berwarna merah, diatasnya tertulis angka 20. Si kontraktor dipersilahkan masuk menghadap si tokeh.
Kemudian, si tokeh menulis angka 20 di buku agendanya. Lalu menandatangani kertas merah itu.
“Bawa kertas ini kepada raja,” perintah si tokeh.
“Baik boss,” jawab si kontraktor, lalu bergegas meninggalkan rumah si tokeh.
Setelah itu giliran abdi dalem. Kerani bertanya, mau jabatan apa. Pemungut blasting, kata si abdi dalem. Kerani menulis angka 10 diatas kertas putih.
Si abdi dalem menyetor 10 juta ketip. Kertas itu dibawa ke meja tokeh, ditanda tangani, lalu dikembalikan kepada si abdi dalem.
Begitu pula dengan orang tua tenaga honorer, cekgu yang minta tambahan jam mengajar, semuanya harus bayar kepada si kerani. Setelah bayar dan memperoleh kertas warna warni itu, semua urusan jadi lancar.
Meskipun modal si tokeh menyokong si raja duduk di singgasana sudah impas, namun praktik minta memo dari si tokeh tak pernah berakhir.
Alhasil, para tokeh makin kaya raya, bergelimang harta. Gaya hidup mereka hedon, meski rakyat yang makin terindas.
Rakyat harus setor kepada tokeh apabila ingin memperoleh layanan istimewa dari kerajaan. Menyesalkah rakyat kerajaan itu? “Kek mana mau,” kata rakyat pasrah. []