Oleh : Muhajirul Fadhli*
Di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan ibadah haji 2025, ada satu momen yang membekas begitu dalam di hati saya sebagai petugas haji asal Aceh.
Bukan tentang tawaf yang ramai, bukan pula tentang lempar jumrah yang menggugah semangat, tapi tentang perjumpaan terakhir seorang jamaah dengan dunia—yakni proses tajhiz janazah yang berlangsung penuh kehormatan dan kekhusyukan di tanah suci Mekkah.
Semua bermula ketika salah satu jamaah haji asal Aceh berpulang ke rahmatullah. Kami membawanya ke Rumah Sakit Al-Nour Mekkah, tempat para tenaga medis dengan sabar dan hormat menangani jenazah.
Tidak ada proses autopsi seperti yang sering dikhawatirkan, melainkan hanya pendataan ringan tentang riwayat sakit yang diderita sebelumnya. Para petugas rumah sakit memperlakukan jenazah dengan penuh kasih, seolah mereka sedang menjaga amanah dari Allah.
Dari rumah sakit pemerintah tersebut, jenazah diarahkan ke sebuah tempat pusat pemulasaran bernama Jam’iyyah Al-Muhajirin li Ikrami al-Mauta. Lembaga ini didirikan atas semangat luhur untuk mengurus jenazah warga Mekkah serta para tamu Allah yang wafat dalam menjalankan ibadah haji atau umrah.
Para tetamu dan keluarga jenazah disediakan aula tempat menunggu yang dilengkapi makan minum yang memadai. Suasana tempat itu tenang dan bersih. Di sana, jenazah dimandikan oleh para petugas yang terlatih, dengan air suci dan sentuhan penuh kelembutan.
Prosesnya dilakukan sesuai syariat Islam. Tak ada yang dilakukan tergesa, semuanya dijalankan dengan hati yang khidmat.
Usai dimandikan, kain kafan putih yang harum menyelimuti tubuh jamaah yang telah wafat. Para petugas dengan sabar dan teliti mengafani, seolah sedang membungkus seorang kekasih yang hendak pulang.
Lirih doa dan bisikan kasih dari kami sebagai pendamping dan handai taulan terus dilangitkan menemani kepulangan mereka ke alam baqa.
Ketika menjelang masuk waktu shalat fardhu Ashar, jenazah dibawa menuju Masjidil Haram. Di sana, sudah ada beberapa jenazah jamaah haji dari negara lain yang sudah duluan diantar.
Ribuan bahkan puluhan ribu kaum muslimin siap mengiringi perpisahan terakhirnya. Salat jenazah dilangsungkan usai salat fardhu, dengan kekhusyukan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang hadir langsung.
Dalam diam dan takbir, doa-doa terangkat, memohonkan ampun dan rahmat dari Allah bagi hamba-Nya yang wafat di tempat mulia ini.
Ada getaran tak bisa dijelaskan ketika melihat seorang hamba Allah dishalatkan oleh lautan manusia di Masjidil Haram. Bukan karena ketenarannya, bukan karena statusnya, tetapi semata-mata karena ia wafat sebagai d tamu Allah.
Sebuah kemuliaan yang tak semua orang dapatkan, bahkan yang paling mulia sekalipun di dunia.
Di Kloter BTJ 08 tempat saya bertugas, sampai saat ini ada dua jamaah yang meninggal, masing-masing dari Kecamatan Kembang Tanjong dan Glumpang Baroe, Allah memanggil mereka berdua dalam keadaan masih berihram, MasyaAllah.
Kesyahidan mereka terasa begitu mulia, wafat dalam kesucian niat dan pakaian ihram. Tidak ada penyesalan, hanya haru dan takzim yang menyelimuti setiap yang menyaksikan.
Semua jenazah yang akan dishalatkan dibawa dengan mobil golf dari parkiran ambulans menuju dalam Masjidil Haram. Pemandangan itu sungguh mengharukan. Setiap orang yang dilalui mobil golf tersebut sontak berdiri.
Tak ada instruksi, tak ada aba-aba—semua berdiri spontan dengan wajah sendu dan mata berkaca. Ada yang menggenggam tasbih, ada yang menunduk memanjatkan doa, seolah berkata dalam diam: “Selamat jalan, wahai tamu Allah.”
Setelah dishalatkan, jenazah diantar menuju pekuburan umum di Sharaya Mekkah. Di sanalah saya menyaksikan sendiri bagaimana adat pemakaman Mekkah dijalankan dengan metode al-syaq.
Sebuah metode khas yang membuat liang lahat berbentuk ruang khusus di bawah tanah, tempat jenazah dibaringkan dengan aman lalu ditutup rapat, bukan ditimbun langsung dengan tanah seperti yang biasa kita lakukan di Nusantara.
Pemakaman berlangsung tanpa hingar-bingar. Tidak ada isak tangis yang berlebihan, hanya bacaan doa dan kalimat tahlil dari para petugas yang sudah terbiasa menangani prosesi seperti ini.
Namun, justru dalam kesederhanaannya, ada kekuatan spiritual yang luar biasa terasa.
Saya berdiri mematung, menatap liang itu ditutup perlahan. Rasanya seperti melepas seorang kekasih yang kembali ke pelukan Tuhannya.
Tak ada rasa takut, yang ada hanyalah keharuan. Karena beginilah seharusnya kematian karena dipenuhi doa, dimuliakan prosesi, dan diiringi cinta sesama muslim.
Sebagai petugas haji, saya belajar satu hal penting hari itu, bahwa kematian bukanlah akhir yang menakutkan. Bagi mereka yang wafat di tanah suci, kematian adalah gerbang kemuliaan.
Terutama jika seluruh prosesnya dilakukan dengan cara yang terhormat, seperti yang saya saksikan di Mekkah.
Saya bersama jamaah pendamping pulang dari makam itu dengan hati yang campur aduk—sedih karena kehilangan, namun bahagia karena tahu sang jenazah telah diperlakukan dengan cara terbaik.
Tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain mendoakan semua yang telah berpulang di tempatkan di syurga yang paling tinggi.
Tajhiz janazah di Mekkah bukan sekadar ritual pemakaman. Ia adalah saksi cinta umat kepada saudaranya, wujud penghambaan kepada Allah, dan bukti bahwa Islam mengajarkan kemuliaan bukan hanya dalam hidup, tetapi juga dalam kematian.
Semoga setiap jiwa yang wafat di tanah suci mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Dan semoga kita yang masih hidup terus mengambil pelajaran, bahwa sejatinya hidup ini hanya persinggahan menuju pulang—dan Mekkah adalah salah satu tempat terindah untuk memulainya.
Sebagai penutup, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada Pemerintah Aceh, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, dan UIN Ar-Raniry Banda Aceh atas amanah dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menjalankan tugas mulia ini.
Semoga doa jamaah haji di Tanah Suci menjadi wasilah bagi negeri tercinta, agar Nanggroe Aceh menjadi baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr, dan seluruh rakyatnya dimampukan oleh Allah untuk berziarah dan beribadah ke Baitullah. Amin ya Rabbal ‘alamin.
*Petugas Haji Daerah (PHD) Aceh 2025, Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Banda Aceh