Berkurban: Mengakhiri Pola Mendadak Pemurah dan Perlakuan “Raja Sehari”

oleh

Oleh : Marah Halim*

Setiap tahun, umat Islam merayakan Idul Adha dengan semangat berkurban. Mendadak jadi pemurah, perhatian, serta akrab dengan orang yang kekurangan. Tapi itu hanya empat hari saja, setelah itu tidak ada yang berubah. Mereka cuma jadi “raja sehari”, selanjutnya terserah masing-masing.

Fenomena “raja sehari” bagi para penerima daging kurban adalah cerminan paling nyata dari pola temporer ini. Daging melimpah ruah hanya di momen Idul Adha, seolah menjadi penawar segala lapar.

Namun, apa yang terjadi setelahnya? Setelah euforia sesaat, mereka kembali pada realitas hidup yang sama, bahkan mungkin lebih terpapar ketidakpastian.

Ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah ajakan untuk menelisik lebih dalam. Apakah kita benar-benar telah mendekatkan diri pada Allah dengan cara yang demikian? Apakah Islam, yang bermakna “menyelamatkan,” bisa direduksi hanya pada ritual tahunan yang minim dampak transformatif?

Kita seringkali terjebak pada definisi kemiskinan yang sempit: sekadar penampilan lusuh dan kondisi fisik yang memprihatinkan. Akibatnya, mereka terus-menerus menjadi target penerima bantuan yang sama, dari tahun ke tahun.

Padahal, kemiskinan itu multidimensional. Ada lansia yang membutuhkan jaminan kesehatan, ada yang sakit kronis dan memerlukan obat-obatan rutin, ada penyandang disabilitas yang kesulitan akses, dan banyak lagi.

Miskin bukan status atau penampilan, tetapi keadaan. Orang bisa miskin karena sakit keras, sakit akut, sakit menahun. Orang juga bisa miskin karena telah lanjut usia, terlantar, bangkrut usaha, dan sebagainya. Kondisi-kondisi ini tidak hilang hanya dengan daging setumpuk. Kondisi-kondisi ini harus terpetakan dan terdata secara update.

Untuk mengentaskannya, tentu harus mengumpulkan berbagai sumber daya fisik, finansial, sosial, dan sebagainya. Kurban dan zakat fitrah adalah dua momentum pengumpulan kekuatan modal finansial yang sangat tepat, karena orang yang berzakat dan berkurban sedang dalam suasana hati yang ikhlas dan taqwa.

Karena itulah, momentum terkumpulnya kekuatan itu harus tertampung dengan baik sehingga tidak mubazir dan sia-sia.

Memberikan mereka daging kurban setahun sekali, sementara kebutuhan dasar mereka yang lain tak terpenuhi, adalah tindakan yang justru memanjakan kemiskinan, bukan mengentaskannya. Ini bukan sekadar membantu; ini justru membuat mereka nyaman dengan status “penerima bantuan abadi.”

Bukankah ini sebuah ironi? Kita berbondong-bondong berkurban, berharap pahala melimpah, tetapi luput menyadari bahwa “pendekatan diri pada Allah” seharusnya termanifestasi dalam perubahan nyata di masyarakat.

Jika kondisi kemasyarakatan kita tak berubah, jika kemiskinan tetap lestari dengan pola-pola yang sama, lantas apa esensi kurban yang sesungguhnya? Bukankah kita telah berislam dengan cara yang picik, membatasi makna ibadah hanya pada ritual yang sesaat?

Pergeseran Paradigma: Kurban sebagai Investasi Sosial

Momen Idul Fitri, Idul Adha dan Haji sesungguhnya adalah momentum bagi umat Islam di negeri ini untuk investasi sosial dengan dana yang sangat besar.

Tapi, momentum itu dari tahun ke tahun berlalu begitu saja. Dana agama yang terkumpul jadi zakat fitrah, hewan qurban yang seharusnya bisa diuangkan, serta dana wakaf Baitul Asyi bagi jamaah haji, setiap tahunnya hilang begitu saja akibat pola pikir dan paradigma konsumtif dan kebaikan temporer.

Bayangkan jika dana kurban kita, atau sebagian besar darinya, dialokasikan untuk program-program yang lebih produktif dan berkelanjutan melalui Baitul Mal.

Misalnya, program pemberdayaan ekonomi mikro bagi kepala keluarga miskin, penyediaan akses kesehatan yang terjangkau bagi lansia dan orang sakit, atau bahkan beasiswa bagi anak-anak kurang mampu agar mereka tidak mewarisi kemiskinan orang tuanya.

Ini bukan berarti kita menyalahkan tradisi kurban dengan daging. Tidak. Ini adalah ajakan untuk menilai ulang, bertanya secara kolektif keumatan: apakah cara kita berislam saat ini sudah optimal seperti saat ini? Apakah kita masih akan mempertahankan pola “raja sehari” yang sesungguhnya hanya menjadi “pemadam kelaparan” sesaat?

Sudah saatnya kita keluar dari zona nyaman praktik keagamaan yang temporer. Kurban seharusnya menjadi momentum untuk membuka mata, memprovokasi kesadaran, dan mendorong kita pada tindakan nyata yang menciptakan perubahan struktural.

Jika tidak, maka apa yang kita sebut sebagai “mendekatkan diri pada Allah” itu hanyalah ilusi semata, sebab Islam yang sejati adalah penyelamat, bukan pelanggeng kemiskinan.

Mari kita berani merasa “bersalah” dengan pola berkurban kita selama ini, agar kurban di tahun-tahun mendatang benar-benar menjadi titik tolak perubahan, bukan sekadar perayaan sesaat. []

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.