Darurat Budaya: Gotong Royong Harus Diqanunkan

oleh

Oleh : Marah Halim*

Ketika Bupati/Wakil Bupati harus memberi contoh memungut sampah, membersihkan saluran yang mapet, membersihkan ilalang yang mengerubuti bangunan publik yang belum dipakai karena belum diserahterimakan, dan aksi-aksi lainnya yang seharusnya tidak perlu melibatkan pemimpin selevel itu, kesimpulan kita adalah masyarakat kita mengalami kemunduran peradaban.

Ibarat seorang anak yang sudah dewasa, tetapi bangun tidurnya harus dibangunkan, makannya harus diingatkan, sekolahnya harus diingatkan, mandinya harus ditegur, jajanannya harus diingatkan; maka ini artinya si anak sudah kehilangan kesadaran dan kemandiriannya.

Masyarakat juga demikian, jika untuk kepentingan bersamanya mereka harus diarahkan oleh pemimpin daerah mereka.

Baca Juga : Gotong Royong : Kenangan Manis yang Kini Miris

Darurat Budaya

Ini bukan sekadar lagi krisis sosial, tapi sudah level darurat budaya yang mengancam sendi kehidupan masyarakat Aceh Tengah khususnya. Gotong royong—warisan luhur yang merupakan kekuatan komunitas kita—sedang menuju kepunahan.

Dan ironisnya, minim intervensi yang berarti. Karena itulah, menghidupkan budaya ini bukan lagi hal mendesak, tapi darurat yang tidak bisa ditawar-tawar.

Banyak kepala desa mengeluhkan rendahnya partisipasi warga dalam kegiatan kolektif, bahkan untuk kegiatan sederhana seperti membersihkan parit atau memperbaiki balai gampong.

Warga semakin sibuk dengan urusan pribadi, dan tak sedikit yang bertanya, “Dibayar berapa?” “Ada makan-makannya tidak?” setiap kali diminta turun tangan.

Laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2022 mencatat bahwa indeks partisipasi sosial menurun drastis di wilayah semi-perdesaan dan perdesaan, terutama di kalangan usia produktif.

Hal ini disebabkan ‘virus’ gaya hidup individualistik dan dominasi ruang digital, yang membuat interaksi antarwarga menjadi semakin renggang. Padahal, gotong royong bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan fisik, tetapi juga memperkuat kohesi sosial.

Menurut sosiolog Emile Durkheim, masyarakat tradisional bergantung pada solidaritas mekanik—ikatan sosial yang dibangun dari nilai bersama, kebiasaan, dan ritual kolektif.

Ketika gotong royong hilang, maka hilang pula sarana yang menyatukan masyarakat dalam ruang dan interaksi nyata.

Baca Juga : Kepala Daerah Bukan Superman: Pencitraan Saja Tak Akan Selesaikan Masalah

Kita tidak hanya kehilangan tenaga kerja sukarela, tapi juga kehilangan ruang untuk bertemu, bercerita, bercanda, dan membangun rasa memiliki terhadap lingkungan.

Secara keuangan, gotong royong juga sangat efisien. Banyak pekerjaan yang menguras anggaran kota atau desa seperti pengelolaan sampah, perawatan jalan lingkungan, atau kebersihan fasilitas umum, seharusnya bisa ditangani lewat gotong royong dan anggaran dapat dialihkan untuk hal lain yang perioritas.

Sudah Harus Di-Qanun-kan

Dari realitas di atas, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa mengharapkan kesadaran masyarakat untuk menghidupkan sendiri budaya gotong royong hampir tidak mungkin, karena generasi telah berganti; kini yang mendominasi adalah Gen Y dan Z.

Mereka dapat dikatakan rabun dengan budaya gotong royong yang mengisi jiwa generasi orang tuanya atau kakek neneknya.

Seharusnya dengan ajaran-ajaran agama untuk saling membantu, bahu membahu, tolong menolong sesama, bekerja tanpa pamrih, atau perintah tak langsung berupa perumpamaan pada semut dan lebih yang bergotong royong; sudah cukup untuk menggerakkan setiap penganut agama untuk mempertahankan budaya gotong royong.

Demikian juga dengan norma kesusilaan dan norma adat, tidak lagi mempan. Karena itulah jalan satu-satunya adalah dengan membuatnya menjadi qanun.

Aceh memiliki keistimewaan untuk membuat qanun sebagai bentuk hukum lokal yang mengikat. Maka, sudah saatnya Aceh Tengah menggunakan kewenangan ini untuk menyusun Qanun Gotong Royong sebagai bentuk regulasi pelestarian budaya sekaligus strategi pembangunan partisipatif.

Seperti yang ditegaskan oleh Prof. Sulistyowati Irianto, pakar hukum dan antropologi hukum, “Hukum adat atau lokal seperti qanun bisa menjadi instrumen kuat untuk memperkuat kohesi sosial jika dikelola partisipatif.”

Baca Juga : Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Perlukah?

Qanun ini harus mengatur jadwal gotong royong rutin, jenis kegiatan, insentif bagi yang aktif, serta konsekuensi bagi yang abai. Ini bukan paksaan, tapi pendidikan sosial. Ini bukan beban, tapi investasi budaya.

Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan jadi generasi yang menyaksikan nilai luhur hilang tanpa sempat mempertahankannya. Maka, mari berhenti menunda. Qanun gotong royong adalah tanggap darurat budaya. Dan darurat tidak butuh alasan untuk ditunda. []

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.