Kepala Daerah Bukan Superman: Pencitraan Saja Tak Akan Selesaikan Masalah

oleh

Oleh : Marah Halim*

Belakangan ini, kita sering melihat video para kepala daerah yang blusukan atau turun langsung ke lapangan. Ada yang memanggul cangkul, ada juga yang membersihkan selokan dengan tangan kosong.

Niatnya tentu baik. Namun, kalau yang terlihat hanya aksi heroik sendirian, tanpa melibatkan peran kantor-kantor dinas dan juga tanpa melibatkan masyarakat luas, kita perlu bertanya: apakah ini benar-benar solusi, atau hanya sekadar tontonan yang disebut pencitraan?

Fenomena ini semakin jelas terlihat pada beberapa pemimpin yang aksinya sering menjadi pembicaraan banyak orang, seperti yang kita lihat di Jawa Barat. Jujur, melihat semangat mereka untuk turun langsung itu patut diacungi jempol.

Akan tetapi, ketika aksi itu lebih sering terlihat sendiri, kurang terkoordinasi dengan kantor-kantor dinas pemerintah daerah (OPD) atau bahkan kurang melibatkan banyak masyarakat, kritik pun muncul.

Kesan yang timbul adalah seorang “Superman” yang merasa bisa menyelesaikan semua masalah sendiri, tanpa perlu melibatkan “pasukan” atau jajaran birokrasi di belakangnya. Padahal, kita semua tahu, Superman itu hanya ada di komik dan film cerita.

Pemimpin Bukan Pahlawan Super dan Bahaya Solusi Instan

Pikiran bahwa “kepala daerah adalah Superman” ini sangat berbahaya. Pertama, ini bisa membuat kita salah paham tentang arti kepemimpinan. Seolah-olah, pemimpin yang hebat itu adalah mereka yang mau kotor-kotoran dan beraksi di depan kamera.

Padahal, pemimpin hebat itu adalah mereka yang mampu membuat kebijakan yang baik, menggerakkan roda pemerintahan, atau membangun sistem yang melibatkan semua pihak dan bisa berjalan terus-menerus.

Sebenarnya, peran utama kepala daerah itu seperti nahkoda kapal, bukan tukang gali kubur atau satu-satunya orang yang membersihkan selokan.

Nahkoda itu memimpin, mengarahkan kapal besar (daerah), memastikan semua awak bekerja sesuai tugasnya, dan membawa kapal ke tujuan bersama.

Kedua, cara kerja ala Superman ini cenderung mencari solusi yang cepat dan hanya menambal masalah, bukan menyentuh akar masalah yang sebenarnya.

Contohnya masalah sampah. Itu tidak akan selesai hanya dengan satu kali aksi pungut sampah oleh seorang kepala daerah.

Masalah sampah membutuhkan sistem pengelolaan sampah yang terpadu dan menyeluruh, pendidikan kepada masyarakat secara terus-menerus, penegakan aturan yang tegas, dan yang paling penting, keterlibatan aktif dari Dinas Lingkungan Hidup, RT/RW, hingga setiap orang di rumah.

Jika “Superman” sibuk dengan aksi pribadi yang mudah terkenal, bagaimana dengan pengawasan kebijakan, penggunaan anggaran yang efektif, atau pembangunan kemampuan jajaran pemerintah yang sangat penting? Ini justru menimbulkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan dan efisiensi kerja pemerintahan daerah secara keseluruhan.

Mengapa Kita Harus Kritis Terhadap Pencitraan?

Kita perlu membuat bangsa ini lebih cerdas agar tidak mudah terpesona dengan “pencitraan” seperti itu. Mengapa? Karena pencitraan, seberapa pun tulus niat di baliknya, jika tidak disertai dengan pemerintahan yang baik, keterbukaan, dan partisipasi luas dari masyarakat, hanya akan menjadi ilusi pembangunan.

Masyarakat memang butuh pemimpin yang dekat, tetapi lebih dari itu, masyarakat butuh pemimpin yang efektif dan mampu membawa perubahan. Pemimpin yang bisa memberdayakan rakyatnya, bukan sekadar menunjukkan dirinya berkuasa.

Seorang bupati atau gubernur memiliki banyak perangkat daerah yang luar biasa. Ada dinas pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, sosial, dan lain-lain. Mereka adalah “pasukan” yang terlatih dan punya keahlian di bidang masing-masing.

Bayangkan kalau kepala daerah bisa menggunakan semua perangkat ini secara optimal, melibatkan para ahli, komunitas, pengusaha, dan masyarakat secara terstruktur dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan program. Dampaknya pasti jauh lebih besar, lebih terukur, dan lebih berkelanjutan dibandingkan aksi blusukan sesekali yang lebih cocok menjadi konten viral di media sosial.

Jadi, mari kita mulai melihat kepala daerah kita bukan sebagai pahlawan super dengan kekuatan luar biasa yang bisa menyelesaikan segalanya sendiri.

Tetapi, sebagai arsitek pembangunan yang cerdas, pemimpin orkestra yang mampu menyatukan berbagai alat musik, dan fasilitator perubahan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Hanya dengan begitu, masalah-masalah rumit di daerah kita bisa benar-benar terpecahkan, bukan hanya sekadar menghibur di layar televisi. []

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.