Oleh : Marah Halim*
Bayangkan anda diundang ke pesta perkawinan, lagi lapar-laparnya karena menjelang siang, ketika sampai tentu harus taat aturan, antri di meja prasmanan. S
edang sabar-sabarnya menunggu giliran, tetiba ada tamu lain yang tadinya sudah makan lalu masuk lagi ke dalam antrian, itupun bukan ambil posisi di paling belakang, justru memotong di tengah.
Tentu kita yang melihatnya sangat geram, “ingin kutunjang rasanya” kata orang Medan.
Begitulah analogi untuk orang yang telah naik haji tapi merebut kesempatan lagi di musim haji selanjutnya.
Padahal haji dibatasi oleh waktu dan tempat; hanya sekali dalam setahun; itu pun harus ke Mekkah, tidak bisa haji ke Gunung Kidul.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah yang lebih dari sekali itu bukannya dua kali, tetapi sudah tiga kali; di tahun 2025 ini ada yang seperti itu.
Kalau ditanya mereka berdalih karena mendapat panggilan atau undangan lagi sebagai tamu Allah. Bayangkan mereka ‘jual’ nama Allah untuk melegitimasi nafsu mereka.
Padahal di saat yang sama ada orang yang telah lansia, karena rezekinya lambat barangkali, terlambat juga mendaftar haji.
Mereka harus rela mengantre ikut ‘kupon’ antrian yang diberikan panitia. Tidak ada pengecualian bagi lansia, yang diperhitungkan siapa cepat dia dapat, maka siapa yang berduitlah yang terus menerus mendapat kesempatan.
Telah lama manajemen haji seperti ini, bukan hanya sejak penyelenggaraannya telah diatur oleh undang-undang sejak tahun 1999, tetapi juga sebelumnya ketika haji diatur dengan keputusan presiden atau peraturan presiden.
Baik kepres, perpres bahkan undang-undang haji menyatakan haji sebagai hak warga negara, khususnya yang beragama Islam, namun tidak ada batasan berapa kalinya dan tidak ada proritas menurut usia.
Akhirnya yang terjadi adalah seperti gambaran orang yang diundang ke pesta di atas, ada yang sudah bolak-balik ke meja prasmanan karena kenal dengan petugasnya, sementara tamu lain nanar matanya menahan geram dan lapar.
Kaum ulama pun seperti tidak menyadari hal ini sebagai kezaliman. Bukankah yang disebut perbuatan zalim itu adalah perbuatan yang merugikan dan menimpakan penderitaan kepada orang lain?
Tapi tidak ada fatwa untuk perilaku yang tidak berakhlak ini; belum barangkali. Kita berharap MPU Aceh melakukan terobosan.
Saat ini masa tunggu haji untuk provinsi Aceh adalah 34 tahun, jika hari ini tanggal 05-05-2025 dia mendaftar, maka secara matematis dia harus berangkat pada musim haji tahun 2059. Bayangkan jika yang bersangkutan sudah berumur 60 tahun, bahkan ada yang 70 tahun; karena mendaftar haji sangat tergantung rezeki.
Tak terhitung orang yang masuk daftar tunggu haji wafat dalam penantian panjang untuk berhaji. Menjadi tamu Allah harus dia bawa hingga alam kubur, sementara ada orang lain yang telah haji kini berhaji lagi untuk kesekian kalinya, tanpa ada perasaan bahwa dia telah menzalimi saudara seimannya sendiri.
Pengalaman ini nyata kita hadapi bahkan menimpa orang-orang terdekat kita. Sebagai contoh, ‘Ine Kul” penulis, kakak perempuan dari almarhum Ibu, kini telah berusia lebih kurang 85 tahun, telah mendaftar beberapa tahun lalu, berharap tahun ini dipanggil karena khawatir kesehatannya akan terus menurun di masa-masa yang akan datang. Tapi harapannya sirna, beliau harus antri lagi.
Tahun ini, penurunan kesehatannya agak drastis, terutama daya ingat. Dua tahun lalu ingatannya tergolong masih kuat. Kini, saat ngobrol dengan penulis, pertanyaannya sering berulang-ulang, menanyakan hal yang sama yang sudah beliau tanyakan sebelumnya. Misalnya menanyakan kabar istri dan anak-anak penulis.
Beliau tentu satu dari sekian calon jamaah daftar tunggu yang terus-menerus berdo’a agar Allah berikan kesempatan, karena bagi mereka tidak ada nikmat lain lagi yang ingin mereka rasakan selain nikmat ruhani hadir langsung menjadi tamu kehormatan Allah. Bahkan tidak sedikit yang ingin menghembuskan nafas terakhirnya di tanah haram itu.
Tapi apalah daya, tamu yang congok yang merasa terus mendapat undangan tadi telah merampas kesempatan demi kesempatan yang setahun hanya sekali. Kuota Indonesia tak seberapa dibanding populasi yang masuk daftar tunggu. Kuota tahun ini hanya 221.600, entah sampai kapan ‘Ine Kul’ kami menunggu, dan masihkah beliau masih ada pada musim-musim haji yang akan datang.
Jika di musim haji 2026, “Ine Kul’ kami belum juga diprioritaskan, maka jika ajal menjemputnya, dipastikan beliau akan bersaksi di hadapan Shahibul hajat; Sang Pengundang seraya berkata, “Kami telah berkali-kali dizalimi, berpuluh tahun kami antri untuk sampai di meja hidangan-Mu, tapi giliran kami selalu dipotong oleh tamu-Mu yang tidak tau diri, yang merasa bahwa dialah yang lebih berhak”.
Jadi, kepada siapapun yang telah berhaji, berilah kesempatan kepada orang lain untuk berhaji. Kalian harus malu kepada Nabi kita Muhammad SAW, yang juga hanya sekali berhaji sejak haji diwajibkan.
Jika anda ingin kembali melihat Baitullah, bukankah kalian bisa melakukan umrah kapan saja di luar waktu haji. Jika perlu, setiap bulan pun kalian umrah tidak akan ada yang marah dan memendam geram. []