Kajian dalam Falsafah Gayo
Oleh : Dr. Ramsah Ali, M.A*
Pendahuluan
Setiap pada tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai bentuk penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara.
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk meninjau kembali arah dan kualitas pendidikan di setiap pelosok negeri.
Di tengah keberagaman budaya Nusantara, Kabupaten Aceh Tengah menonjol dengan identitas yang khas suku Gayo yang kaya serat engan nilai dan perimestike (falsafah hidup).
Dalam konteks pendidikan remaja, budaya Gayo sesungguhnya menyimpan nilai-nilai luhur yang dapat menjadi fondasi kuat dalam membangun generasi yang berkarakter.
Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa tantangan zaman terus menggerus sebagian dari nilai-nilai tersebut.
Pendidikan Remaja dan Realita Sosial di Aceh Tengah
Remaja Aceh Tengah hidup di persimpangan antara warisan budaya dan tantangan modernisasi.
Perkembangan teknologi digital, urbanisasi, dan pengaruh luar yang masuk tanpa filter membuat sebagian generasi muda kehilangan pijakan nilai, yang sejatinya telah tertanam dalam adat Gayo sejak dahulu.
Saat ini, pendidikan di Aceh Tengah menghadapi sejumlah tantangan serius. Salah satu masalah utama adalah rendahnya motivasi belajar di kalangan remaja.
Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak siswa yang lebih tertarik pada dunia digital daripada pelajaran yang mereka terima di sekolah.
Pengaruh media sosial dan hiburan digital yang mudah diakses mempengaruhi perhatian mereka dari hal-hal yang lebih bermanfaat bagi perkembangan intelektual dan emosional mereka.
Hal ini berujung pada rendahnya tingkat partisipasi dalam kegiatan belajar di luar jam sekolah, serta hasil akademik yang tidak memadai.
Selain itu, kenakalan remaja menjadi masalah yang cukup menjadi perhatian dari seluruh stakeholders di Aceh Tengah. Perilaku seperti perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan obat terlarang, serta pergaulan bebas semakin meningkat.
Fenomena ini tidak hanya merusak moral generasi muda, tetapi juga mencoreng citra pendidikan di wilayah ini.
Pendidikan karakter yang seharusnya menjadi pondasi dalam pembentukan pribadi remaja sering kali terabaikan, baik di sekolah maupun dalam kehidupan keluarga.
Salah satu faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja adalah kurangnya peran aktif keluarga dalam mendampingi proses pendidikan anak.
Banyak orang tua yang lebih fokus pada ekonomi keluarga dan kurang memberikan perhatian pada pendidikan moral dan karakter anak-anak mereka.
Hal ini menciptakan celah dalam perkembangan remaja, di mana mereka merasa kurang mendapatkan arahan dan teladan yang benar dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, banyak sekolah di Aceh Tengah masih menghadapi keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai.
Beberapa sekolah tidak memiliki peralatan yang memadai untuk mendukung proses pembelajaran yang efektif, seperti ruang komputer, akses internet, atau alat pembelajaran lainnya.
Selain itu, distribusi tenaga pendidik yang berkualitas juga belum merata. Banyak daerah terpencil yang masih kekurangan guru yang memiliki kompetensi yang sesuai, terutama di mata pelajaran yang lebih teknis atau berbasis teknologi.
Tantangan ini semakin kompleks dengan minimnya pelatihan untuk guru dalam mengadopsi metode pembelajaran modern yang bisa menarik minat siswa.
Sebagian besar guru masih terjebak dalam metode pembelajaran tradisional yang kurang relevan dengan kebutuhan zaman. Ini berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa dan pada perkembangan keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja.
Adat Gayo sebagai Landasan Pendidikan Karakter
Budaya Gayo di Aceh Tengah bukan sekadar warisan turun-temurun, melainkan sistem nilai yang terstruktur dan mengandung prinsip moral yang kuat.
Dalam konteks pendidikan karakter, falsafah adat Gayo memiliki relevansi yang sangat tinggi.
Nilai-nilai luhur ini, bila diinternalisasikan dalam proses pendidikan, maka akan mampu mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan spiritual.
1. Turun ku menara, angok ku isen-Pemahaman dan Empati
Makna dari falsafah ini adalah “melihat dari atas, menyentuh dari dalam”. Ini menggambarkan pentingnya pendekatan yang bijaksana dalam memahami seseorang, tidak hanya secara lahiriah (dari tampak luar), tetapi juga menyelami perasaan dan latar belakangnya secara mendalam.
Dalam pendidikan karakter, prinsip ini sangat relevan bagi pendidik dan orang tua. Guru, misalnya, tidak cukup hanya menilai siswa dari prestasi akademik atau perilaku luar, tetapi harus memahami latar belakang psikologis, kondisi keluarga, dan beban sosial yang dihadapi siswa.
Pendekatan empatik ini memungkinkan proses pendidikan yang lebih manusiawi, menyentuh sisi emosional dan membangun rasa percaya antara guru dan murid.
Di samping itu juga mengajarakan sikap tafahhum (pemahaman), rahmah (kasih sayang), dan hikmah (kebijaksanaan) dalam mendidik dan membina sesama.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Rasulullah SAW juga menunjukkan contoh empati luar biasa terhadap anak-anak dan pemuda, seperti saat beliau memperlakukan para sahabat muda dengan penuh penghargaan dan kasih sayang.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah mencium cucunya, al-Hasan bin Ali, sementara al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi sedang duduk bersamanya.
Al-Aqra’ berkata, “Aku punya sepuluh anak, dan belum pernah aku mencium salah satu pun dari mereka.” Maka Rasulullah SAW memandangnya, lalu bersabda: “Barang siapa tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi”.(HR. Bukhari)
2. Urung Rempak-Musyawarah dan Demokrasi Sosial
“Urung rempak” berarti musyawarah mufakat sebuah proses pengambilan keputusan bersama melalui diskusi terbuka. Dalam konteks pendidikan, nilai ini mendorong partisipasi aktif siswa dalam kegiatan sekolah, pengambilan keputusan, dan penyelesaian konflik.
Mengajarkan “urung rempak” sejak dini mendidik siswa untuk berpikir kritis, menghargai pendapat orang lain, dan mencari solusi bersama tanpa kekerasan.
Ini selaras dengan tujuan pendidikan modern yang menekankan pada pengembangan keterampilan sosial, kepemimpinan, dan demokrasi.
Kaitan dengan Islam, Al-Qur’an menekankan pentingnya musyawarah:
“…Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka…”(QS. Asy-Syura: 38)
Nabi Muhammad ﷺ dalam berbagai peristiwa penting (misalnya Perang Uhud dan Hijrah) selalu bermusyawarah dengan para sahabat, termasuk yang masih muda.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah ﷺ bermusyawarah dengan para sahabatnya ketika sampai kabar bahwa Abu Sufyan datang (untuk menyerang). Sebagian dari mereka menyarankan agar beliau keluar (menghadapi musuh), sementara yang lain tidak setuju. Lalu beliau masuk ke rumahnya, mengenakan baju perang, kemudian keluar setelah mantap dengan keputusan untuk keluar (bertempur).”(HR. Bukhari)
3. “Musara” dan “Tulisen”-Persatuan dan Kejujuran
“Musara” berarti bersatu, hidup rukun, saling menghargai antar individu dalam masyarakat. Nilai ini membentuk remaja menjadi pribadi yang tidak egois, mampu bekerja dalam tim, dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial. Sementara “Tulisen” (jujur) adalah fondasi integritas pribadi.
Dalam budaya Gayo, kejujuran adalah nilai yang dijunjung tinggi dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam urusan adat, ekonomi, maupun hubungan sosial.
Di dunia pendidikan, kejujuran menjadi dasar dalam membentuk siswa yang tidak hanya sukses secara akademik tetapi juga bermoral, seperti tidak mencontek, tidak memanipulasi nilai, dan berkata benar meskipun sulit.
Kaitan dengan Islam, Kejujuran adalah sifat dasar Rasulullah SAW (al-Amin). Nabi bersabda: Artinya: “Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga.
Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka.Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong.” (HR. Muslim)
Sedangkan persatuan ditegaskan dalam firman Allah SWT.,:
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…”
(QS. Ali Imran: 103)
4. “Patang Lima”-Lima Pilar Etika Gayo
Falsafah “Patang Lima” merujuk pada lima dasar hidup bermasyarakat menurut adat Gayo, yaitu:
a. Imelet (keimanan), menumbuhkan keyakinan dan spiritualitas sebagai fondasi moral. Pendidikan tidak lepas dari pembentukan akhlak melalui pendekatan keagamaan. Pendidikan yang kuat secara spiritual membentuk remaja yang bertaqwa dan takut berbuat salah. Allah SWT., berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa…” (QS. Ali Imran: 102)
b. Akuk (kesopanan), mengajarkan etika dalam berbicara, bertindak, dan berinteraksi. Sopan santun menjadi indikator kesadaran sosial dan kontrol diri remaja. Ini senada dengan akhlak Rasulullah SAW yang menjadi teladan utama.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
c. Berani (keberanian), bukan dalam arti kata agresif, akan tetapi keberanian mengambil sikap benar, menghadapi tantangan hidup, dan menolak kejahata serta keberanian moral untuk mengatakan yang benar dan menolak keburukan.
“Katakanlah yang benar walaupun pahit.” (HR. Ibnu Hibban)
d. Perlak (kepedulian), menumbuhkan empati sosial terhadap sesama, menolong tanpa pamrih, serta aktif dalam kegiatan sosial. Ini sejalan dengan ajaran ukhuwah (persaudaraan) dan ta’awun (tolong-menolong).
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…”
(QS. Al-Ma’idah: 2)
e. Sara (tanggung jawab), membiasakan anak untuk bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya, baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat. Kemudia menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik secara sosial maupun di hadapan Allah.
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima pilar ini membentuk kerangka utuh pendidikan karakter, spiritual, sosial, emosional, dan intelektual. Jika diinternalisasikan dalam kurikulum dan kehidupan sekolah, maka falsafah Patang Lima mampu menjawab kebutuhan pendidikan yang seimbang antara nilai dan pengetahuan.
Nilai-nilai ini dapat dihidupkan kembali dalam dunia pendidikan, baik melalui pelajaran formal maupun kegiatan ekstrakurikuler.
Guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga penjaga nilai, sedangkan sekolah menjadi ruang pelestarian budaya dan pembentukan moral generasi muda.
Hardiknas: Momentum Menyatu dengan Nilai Budaya
Peringatan Hardiknas di Aceh Tengah semestinya menjadi panggilan untuk merekonstruksi pendekatan pendidikan berbasis budaya.
Kurikulum Merdeka membuka ruang besar untuk integrasi nilai lokal seperti budaya Gayo dalam materi pembelajaran.
Pendidikan berbasis kearifan lokal terbukti mampu menciptakan suasana belajar yang lebih kontekstual dan bermakna.
Salah satu fitur unggulan dari Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitasnya dalam menyesuaikan pembelajaran dengan konteks lokal. Ini membuka ruang yang luas bagi integrasi kearifan lokal dalam pendidikan.
Di Aceh Tengah, budaya Gayo memiliki nilai-nilai luhur yang bisa menjadi dasar dalam mendidik karakter remaja, termasuk prinsip musyawarah (urung rempak), kejujuran (tulisen), dan persatuan (musara).
Nilai-nilai ini tidak hanya relevan untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga bisa diintegrasikan dalam mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan, sejarah, dan seni budaya.
Pendidikan berbasis kearifan lokal terbukti efektif dalam menciptakan suasana belajar yang lebih kontekstual dan bermakna.
Ketika siswa diajarkan tentang budaya mereka sendiri, mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan akademik, tetapi juga penguatan identitas diri yang penting untuk perkembangan pribadi mereka.
Dengan memahami dan mengapresiasi warisan budaya, remaja Aceh Tengah dapat membangun rasa bangga terhadap asal-usul mereka, yang pada gilirannya membentuk karakter yang lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.
Pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Untuk itu, Hardiknas 2025 seharusnya menjadi momentum untuk menekankan pentingnya pendidikan karakter berbasis budaya.
Remaja Aceh Tengah perlu diajarkan lebih dari sekadar pelajaran matematika atau bahasa. Mereka perlu diajarkan tentang akar identitas mereka sebagai bagian dari suku Gayo tentang bagaimana nilai-nilai Gayo seperti “Patang Lima” (keimanan, kesopanan, keberanian, kepedulian, dan tanggung jawab) dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai ini memberikan bekal moral yang kuat bagi remaja untuk menghadapi tantangan di luar dunia akademik.
Dalam masyarakat yang semakin terbuka terhadap pengaruh global, memiliki identitas yang kuat menjadi penting agar remaja tidak mudah terombang-ambing oleh arus perubahan yang tidak selalu sejalan dengan etika dan moral yang baik.
Pendidikan berbasis budaya bukan hanya soal melestarikan tradisi, tetapi juga soal memberikan daya tahan kepada generasi muda dalam menghadapi pengaruh zaman yang terus berubah.
Budaya Gayo, dengan segala kekayaan dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya, menjadi senjata yang sangat penting dalam menghadapi arus modernitas yang seringkali mengikis nilai-nilai luhur dan etika yang telah lama diterima dalam masyarakat.
Generasi muda yang dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang budaya mereka akan lebih mampu berdiri teguh di tengah perubahan zaman.
Mereka akan lebih kritis dalam menyaring informasi yang datang, serta lebih bijak dalam mengambil keputusan yang tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Penutup
Peringatan Hardiknas di Aceh Tengah pada tahun 2025 harus menjadi titik balik untuk memperkuat pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal, khususnya budaya Gayo.
Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya ini ke dalam setiap aspek pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Pendidikan berbasis budaya Gayo akan membekali remaja Aceh Tengah dengan pengetahuan akademik yang kuat, tetapi juga dengan karakter yang tangguh, siap menghadapi tantangan, dan memiliki rasa cinta terhadap budaya dan identitas mereka.
Momentum Hardiknas 2025 harus menjadi awal kebangkitan pendidikan yang tidak tercerabut dari akar budaya, tetapi justru tumbuh kuat bersamanya. Karena hanya dengan mengenal dan mencintai jati diri, generasi muda bisa meraih masa depan yang kokoh dan bermartabat.
Dengan memadukan pengetahuan akademik dan pembelajaran karakter berbasis budaya, kita dapat menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kokoh secara moral dan berdaya saing di era global.
*Dosen IAIN Takengon dan MPD Kabupaten Aceh Tengah