Problem Sampah, Budaya Marah Lingkungan

oleh

Oleh : Marah Halim*

Saat dunia dewasa ini gencar mengkampanyekan budaya ramah lingkungan, kita masih ‘marah’ dengan lingkungan kita; kita berkutat dengan persoalan klasik, sampah. Masalahnya akutnya adalah perilaku buruk kita pada sampah buruk.

Bagi kita sampah hanya pantas dibuang, mentang-mentang ada pepatah “habis manis sepah dibuang”.

Di negara orang, Swedia misalnya, sampah sudah kekurangan, malah perlu impor untuk memenuhi kebutuhan sebagai bahan baku untuk energi non fosil. Artinya sampah adalah uang. Nah, di kita sampai adalah musuh yang harus dienyahkan.

Ya, itulah peradaban kita. Di saat negara orang kekurangan sampah kita kekurangan kekurangan armada truk pengangkut sampah, saking banyaknya sampah yang harus dibuang hingga TPA-nya menjadi sumber penderitaan bagi masyarakat sekitarnya.

Masalahnya sepele sekali, warga yang berdomisili maupun yang ‘bertamu’ ke Aceh Tengah tidak mau dan tidak terbiasa membuang sampah dengan benar. Itu saja masalahnya.

Kalau masalah mampu anak kecil saja mampu buang sampah, jadi ini masalah mental; masalah sikap dan perilaku yang memperlakukan sampah dengan buruk.

Masalah kemauan adalah masalah jiwa. Jiwa adalah masalah pendidikan, artinya masalah terbesar masyarakat kita adalah belum terdidik untuk buang sampah dengan benar. Masyarakat masih terbiasa membuang sampah sesuka hatinya.

Apa yang terjadi dengan sampah di Aceh Tengah saat ini dapat diungkapkan dengan ungkapan ini “kepingin bersih tempatnya tetapi dengan menzalimi orang”.

Penduduk padat di pusat Kota Takengon adalah penyumbang sampah terbesar; mulai dari sampah rumah tangga, pertokoan, pasar, bengkel, warung, rumah sakit, kantor, dan sebagainya.

Tapi warga kota itu tidak mau jika sampah itu di tumpuk di lingkungan mereka, mereka ingin sampah itu dibuang jauh-jauh; tak peduli mau dibuang kemana, yang penting mereka bersih.

Untuk memenuhi nafsunya, mereka buat ulah dan membangun narasi bahwa pemerintah daerah lambat menangani sampah.

Sebaliknya hampir setiap detik tak terhitung berapa banyak warga yang sedang memproduksi sampah. Jika ada CCTV maka mungkin kita akan mengurut dada melihat cara warga kita buang sampah.

Masyarakat kita hanya bisa menyalahkan pemerintah daerah. Jika dimintai retribusi sedikit tinggi saja mereka sudah protes. Bayangkan besarnya PAD yang terkumpul jika retribusi sampah dihitung per-kilo Rp. 500 saja misalnya.

Rata-rata keluarga kecil saja membuang sampah organik setiap harinya tidak kurang dari 5 kilo beratnya; belum lagi sampah anorganiknya. Namun bisa dibayangkan jika itu dibebankan kepada warga yang membuang sampah, yang mereka lakukan pasti protes dan keberatan.

Jika beban retribusi dikenakan dengan paksa, dipastikan mereka akan enggan; melawan dan memilih membuang sampah sembarangan lagi, dengan cara mereka sendiri.

Intinya, parah sekali budaya masyarakat kita dalam membuang sampah, tidak ada adab sama sekali dan tidak memikirkan orang lain.

Mari kita berhitung kecil-kecilan dan remeh-remehan. Di Aceh Tengah ada berapa orang bayi yang masih pake popok? Berapa kaum hawa yang datang bulan dan pake pembalut? Berapa bapak-bapak yang merokok dan buang puting sembarangan?

Berapa hotel yang menjadi tempat perhelatan dan berapa sisa kemasan makanan yang siap sedia disingkirkan ke tempat sampah?

Dari pasar-pasar yang ada di kota Takengon, berapa kilo sampah dari setiap lapak yang ada, hitung saja dari setiap kepala yang berjualan. Yakin kita belum pernah dihitung detil berapa kilo sampah yang mereka hasil dan kontribusikan.

Setiap pembeli datang dipastikan apa yang dibeli dimasuk ke dalam plasik kresek yang telah tersedia gratis di setiap lapak. Sesampainya pembeli di rumahnya, dipastikan kantong-kantong plastik itu “wirrrrr” ke tempat sampah.

Jika emak-emak yang berbelanja, dipastikan kantong plastiknya bisa sampai 10 buah atau lebih, dan itu akan jadi sampah semuanya.

Dari cafe-cafe dan tempat jajanan banyak juga sampah yang dihasilkan. Juga sekolah-sekolah yang tidak kurang menghasilkan sampah.

Hitunglah semua sampah itu setiap detiknya, bukan setiap harinya; berapa ton per menit, per-jam, dan akhirnya per-hari yang ujung-ujungnya jadi urusan dinas kebersihan, pemda juga akhirnya.

Dari semua itu, masyarakat kita Aceh Tengah khususnya, kita tidak usah ungkap dan ungkit tempat lain, problem akutnya adalah masyarakat kita tidak biasa, bukan tidak bisa, memisahkan sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik).

Baik dari rumah tangga, kantor, sekolah, warung, pasar, semuanya bercampur menjadi satu sehingga sulit untuk diurus.

Membuang sampah sembarangan dan seenaknya sesungguhnya perbuatan yang zalim sekali. Kezaliman itu terletak dari kesusahan penderitaan orang yang berinteraksi dengan sampah yang kita buang.

Marah Halim. (Ist)

Jika sampah itu terbuang ke sungai misalnya, maka selama sampah itu belum membusuk maka semua orang yang memanfaatkan air sungai itu akan menderita.

Bisa dipastikan sampah plastik akan berumur panjang, maka selama itu pulalah yang membuang sampah itu menzalimi orang lain.

Bagi kita yang beragama Islam seharusnya mudah memahami kata menzalimi orang itu berdosa, tetapi nilai itu zalim itu seperti tidak hidup manakala membuang sampah, dalam pikirannya hanya bagaimana sampah enyah dari dekatnya.

Jika kita terus-menerus marah dan tidak ramah lingkungan, khususnya dalam urusan sampah ini, maka lingkunganlah yang akan marah dan tidak ramah lagi dengan kita. Masyarakat Aceh Tengah sudah merasakannya dengan penderitaan yang mulai terasa.

Danau Laut Tawar sudah penuh sampah dan limbah di pinggirannya, terutama yang bersempadan langsung dengan kota Takengon. Deritanya adalah populasi ikan yang mulai berkurang, air yang keruh dan berbau, air danau yang berkurang debitnya, dan sebagainya. []

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.