Oleh : Marah Halim*
Hari ini, bagi warga kota Takengon dan sekitarnya, hujan seperti bukan lagi jadi berkah; tetapi musibah. Semasa kanak-kanak 40 tahun lalu, hujan selalu disambut dengan gembira, tapi sekarang bila langit mulai bergemuruh, warga mungkin menyambutnya dengan gundah sambil berpikir; properti mana dan dokumen apa yang harus diamankan.
Banjir di tengah kota Takengon dan di pinggir-pinggir jalan protokol dulunya bukan cerita, tetapi saat ini terus jadi berita.
Asbab-nya sudah TST (tau sama tau), pertama, karena banyaknya alih fungsi hutan menjadi perkebunan kopi; kedua, alih fungsi lahan resapan air jadi permukiman yang tertutup seng, beton, dan aspal.
Masyarakat Gayo adalah penakluk gunung dan lembah. Tak ada gunung, jurang, lereng dan lembah yang luput dari galang (kapak), parang dan chainsaw-nya, munebok (buka lahan) perkebunan di hampir semua gunung yang mengitari kota Takengon.
Tidak ada bimbingan seperti apa dan tingkat kemiringan bagaimana yang bisa dijadikan lahan perkebunan kopi. Asalkan ada tanah kosong semua ditanami kopi, sampai hutan hujan “Ulung Gajah”-pun berubah jadi kebun kopi.
Perambahan hutan di gunung-gunung seputaran kota Takengon dan Danau Lut Tawar sejak tahun 1970-an itu kini mulai menuai hasilnya. Gunung-gunung itu kini banyak botak-nya, meski bukan botak licin.
Akar-akar sisa penebangan hutan saat itu kini benar-benar telah menjadi tanah dan tak sanggup menahan air lagi, maka terjadilah banjir bandang yang menerjang Paya Tumpi Baru 13 Mei 2020 lalu. Kini, saat hujan, sungai, anak sungai, parit sampai got dipenuhi air yang warnanya bak kopi ‘Sanger’, kopi favorit warga Banda Aceh.
Penyintas Banjir
Sekilas info masa kecil, kampung Kelupak Mata diterjang banjir bandang (letot) dari Burni Redines dan Burni Pepanyi.
Letot yang terjadi di siang hari itu menerjang desa yang berada di lembah alur sungai, desa Kelupak Mata; menghanyutkan gelondongan kayu, babatuan dan lumpur dengan kecepatan yang tinggi.
Beberapa anak yang sedang mandi di kolam masjid yang berada di lembah terseret hingga beberapa kilometer. Salah seorang yang terseret bernama Haili Yoga, penyintas banjir yang kini menjadi Bupati Aceh Tengah.
Kini, di masa kepemimpinannya ini, beliau disambut oleh problem akut banjir kota, banjir yang disebabkan lebih karena kurangnya tanah kosong sebagai resapan air sehingga air hujan yang datang lebih banyak ‘ngambek’ di permukaan tanah.
Di tambah lagi drainase yang buruk dan sempit, di tambah lagi dengan sedimen sampah dan tanah setiap banjir melintas.
Tentu Bupati juga bukan Superman yang bisa menyelesaikan masalah banjir sendirian, dia tetaplah “Suparman”; manusia biasa dengan segala keterbatasan. Namun karena kekuasaan kini ada di tangannya, maka semua harapan dan kritikan ditumpukan ke pundaknya.
Sebagi civil society, masyarakat beradab, tidaklah adil tanggung jawab dan tanggung gugat ditimpakan pada satu pihak. Semua pihak harus menerima kenyataan sekarang akibat ‘perubahan’, perubahan akibat perbuatan tanpa perencanaan dan minim ilmu di masa lalu; 40 tahun ke belakang.
Sayang sekali, di saat kesebelasan dituntut untuk menciptakan lebih banyak gol, para pemain harus ‘pasrkir bus’ di daerah pertahanan karena kebobolan di menit-menit awal pertandingan, tidak mungkin ‘gaspol’ maju menyerang jika sektor pertahanan yakni masalah-masalah fundamental belum selesai.
Yang perlu direnungkan, problem yang kini dihadapi Bupati baru boleh jadi “karya” yang diklaim sebagai pencapaian kepemimpinan sebelumnya, dimana pendekatan pembangunan yang ditempuh bersifat sektoral, mengedepankan satu aspek dan membiarkan aspek lain tanpa benahan. Pencapaian yang mewariskan kecapaian. Ini penting agar sesama warga tidak saling tuding.
Sumur Resapan
Tanpa perlu menyalahkan siapapun, yang berlalu biarlah berlalu, let bygones be bygones. Yang perlu dilakukan adalah melakukan aksi perubahan.
Gerakan pertama adalah gerakan moral yang perlu dimotori oleh insitusi-institusi atau ormas-ormas keagamaan serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Misalnya MPU perlu membuat fatwa larangan penebangan hutan secara sembarangan, fatwa tentang larangan buang sampah sembarangan, larangan mendirikan bangunan sembarangan, dan larangan penangkapan ikan yang merusak lingkungan.
Dari fatwa-fatwa ini nantinya dapat ditingkatkan menjadi aturan yang lebih formal yang mengikat seperti qanun atau peraturan bupati.
Kemudian, secara teknis penanganan banjir, Takengon perlu meniru apa yang dilakukan daerah lain dalam mengatasi masalah yang lebih kurang sama; salah satunya adalah sumur resapan yang diterapkan oleh Anies Baswedan di Jakarta.
Bagaimana keberhasilan aplikasi sumur resapan di Jakarta bukanlah cerita dongeng. Meski hingga kini dianggap kontroversi, cara ini terbukti mampu mengendalikan banjir langganan di Jakarta secara signifikan.
Beberapa periode Gubernur sebelumnya seperti frustrasi menghadapi banjir Jakarta; kota padat dengan hutan tembok dan lautan aspal.
Mungkin untuk konteks Takengon yang masih jauh kalah padat dibanding Jakarta, bukan sumur resapan, tetapi yang lebih lebar dan dalam, yakni kolam resapan dan waduk, mengingat lahan yang tersedia masih lumayan, kecuali daerah pada di kota Takengon dan sekitarnya. Apapun bentuk, tidak ada salahnya terbang ke Jakarta, ngopi dengan Anies Baswedan, segeralah!