Sebutlah Aceh Tengah Honeymoon Destination

oleh

Oleh : Dr. Marah Halim, M.Ag., MH*

Teringat film ‘Naga Bonar’, sang Jenderal sebelum memutuskan apapun selalu “cek ombak” dulu dengan bertanya pada anak buahnya, “apa kata dunia?”.

Ya, apa kata dunia tentang kita perlu dipikirkan, buat dunia berpikir tentang kita, buat mereka penasaran. Sudahkah Aceh Tengah juga Bener Meriah membuat dunia penasaran?

Ada pepatah sarkastis yang dulu dikutip da’i sejuta umat Zainuddin MZ, “bul ‘ala Zamzam fa tu’raf”, kalau mau terkenal kencingi sumur Zamzam. Problemnya saat ini adalah kita belum mengetahui seberapa terkenal Aceh Tengah dan Bener Meriah, orang mungkin lebih mengenal kopi Gayo, namun ketika dicari di peta yang langsung ketemu adalah Gayo Lues, karena di sana ada juga kopi Gayo.

Lucu memang, brand kopi Gayo tetapi mati-matian kita harus kasih penjelasan tambahan bahwa kopi Gayo tumbuhnya di Dataran Tinggi Gayo yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dalam peta tidak ada juga yang namanya Dataran Tinggi Gayo (Datinggo).

Datinggo itu hanya branding lisan tanpa dukungan legal yang jelas. Artinya, dari 3 kabupaten penghasil kopi Gayo, secara branding Gayo Lues memborong semua imej dunia tentang kopi Gayo tanpa harus diberi penjelasan panjang lebar.

Bagi mereka yang baru mengenal kopi Gayo dan lihat peta, maka yang segera muncul adalah Gayo Lues; jadilah Aceh Tengah dan Bener Meriah “termarginalkan” dengan sendirinya.

Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur, Aceh Tengah dan Bener Meriah cukup timang-timang sertifikat Indikasi Geografis (IG) kopi Gayo saja, begitulah.

Dalam hal branding pun Gayo Lues lebih lincah. Sebagai “kabupaten milenial” mereka lebih melek dunia digital. Setidaknya ada dua predikat yang mati-matian mereka bangun di jagat maya dan di jagat nyata, yaitu brand ‘Negeri Seribu Bukit” dan “Negeri Seribu Hafiz”.

Lalu bagaimana dengan Aceh Tengah sebagai “kabupaten generasi Baby Boomers”? Mungkin sesuai generasinya yang gagap teknologi, hingga saat ini Aceh Tengah dan Bener Meriah seperti masih belum merasa perlu pakai sebutan atau julukan apa untuk dirinya; apa kata dunia?

Tulisan ini bertujuan menohok kesadaran itu. Sadarilah bahwa personal branding itu kini adalah bagian dari capaian kebudayaan global sebagai dampak positif dari kemajuan teknologi informasi dan digital.

Tidak ada salahnya Aceh Tengah dan Bener Meriah belajar dari “cucu” Gayo Lues. Dengan segenap potensi alam dan budayanya Aceh Tengah dan Bener Meriah sebetulnya dengan mudah dapat menahbiskan satu julukan untuk tertancap dalam memori publik dunia;. bukan hanya dari Sabang hingga Besitang, tetapi dari KM 0 hingga KM 0 kembali sepanjang garis equatorial.

Inilah yang perlu segera dilakukan Aceh Tengah dan Bener Meriah. Segeralah duduk bersama segenap komponen masyarakat, duek pakat mencari julukan yang tepat dan jitu menggelitik syaraf publik dunia hingga mereka tergerak untuk hadir secara fisik.

Jangan sampai perkara ini membuat Aceh Tengah dan Bener Meriah disergap sindrom yang sama, yaitu sindrom keliru pilih nama. Keliru pertama adalah nama Aceh Tengah sendiri yang tidak mencerminkan identitas suku bangsa awal dan dominan, artinya ini kerugian pertama sebelum rugi berkali-kali.

Demikian juga dengan Bener Meriah, membuat nama sebuah kabupaten dengan mengambil nama seorang tokoh yang nota bene “tokoh kalah politik”; tentu tidak mencerminkan identitas suku bangsa yang selama ini menghidupkan tanah yang sebelumnya adalah hutan rimba belantara itu.

Alangkah naifnya, hanya seorang Bener Merie yang bertengger menjadi nama kabupaten, itupun keliru lagi karena secara legal formal telah diplesetkan menjadi Bener Meriah, sehingga dalam pergaulan administrasi kerap dibolak-balik dan terkesan mengejek dengan sebutan “bener-bener meriah” atau “meriah bener”.

Lagi-lagi, “kabupaten kakek” dan “kabupaten anak bungsu” kalah bulu dengan “kabupaten cucu” yakni Gayo Lues. Dengan gagah berani dan percaya diri mereka menahbiskan nama kabupaten mereka dengan nama Gayo Lues dengan julukan “Negeri Seribu Bukit”; padahal bukitnya belum tentu sampai seribu, begitulah!

Apa julukan yang tepat?

Sebuah julukan disematkan pasti dengan mengambil aspek yang paling dominan menggambarkan karakteristik benda atau daerah yang diberi julukan itu. Gayo Lues memilih “Negeri Seribu Bukit” karena letak georafisnya di tengah-tengah perbukitan dan pegunungan sejauh mata memandang.

Untuk Aceh Tengah, landmark dan lanscape utamanya adalah Danau Laut Tawar (DLT) dapat dijadikan basis inspirasi untuk melahirkan julukan yang menggelitik syaraf publik dunia. Dinginnya cuaca dataran tinggi bisa juga dijadikan sumber inspirasi.

Sedangkan untuk Bener Meriah, landmark alami dan lanscape yang diakui peta adalah gunung berapi Burni Telong yang merupakan sumber kesuburan tanah Bener Meriah.

Penulis tidak berwenang memberi julukan yang legal formal untuk kedua kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, biarlah segenap stakeholders masyarakatnya yang menguras pikiran untuk itu.

Untuk menghindari tudingan pengkritik tanpa solusi, penulis hanya mengusulkan julukan untuk tujuan komersil wisata.

Karena Aceh Tengah dan Bener Meriah berkongsi cuaca dingin, maka untuk tujuan marketing yang mendunia, agaknya kita kemas saja kedua kabupaten itu dengan julukan “Honeymoon Destination”, destinasi wisata untuk berbulan madu, mengapa tidak? Wallahu a’lam. []

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.