Pemimpin dan Elite, Retorika, dan Realitas: Saatnya Berubah!

oleh

Oleh : Dr. Joni, M.PdB.I*

”Kalau mau bersih jangan mengotori; kalau baik jangan merusak; kalau Islam jauhi munafik; kalau mau jujur jangan menipu dan berbohong.”

Ekspektasi publik terhadap kelompok elite dalam menghadirkan gagasan inovatif yang mendorong kemajuan sering kali berhadapan dengan realitas yang jauh dari harapan.

Studi empiris menunjukkan bahwa elite cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat secara luas (Putnam, 2020).

Dalam dinamika kebijakan publik, sering kali objektivitas dalam menilai suatu kebijakan dikaburkan oleh kepentingan sempit, yang pada akhirnya menyebabkan distorsi dalam pengambilan keputusan (Haque, 2021).

Hal ini memperkuat fenomena kepemimpinan hipokratis, di mana pemimpin kerap berbicara tentang perubahan dan kesejahteraan rakyat, tetapi kebijakan serta tindakan nyata mereka justru lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu.

Akibatnya, kepercayaan publik terhadap elite semakin menurun, memperlebar kesenjangan antara masyarakat dan para pemimpinnya, sebagaimana dijelaskan dalam kajian kepemimpinan modern (Northouse, 2021).

Fenomena ini dapat dianalogikan dengan konsep borjuisme, di mana suatu program atau kebijakan hanya mendapatkan dukungan sejauh mengakomodasi kepentingan elite.

Sebaliknya, kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan mereka sering kali mendapat resistensi atau bahkan mengalami manipulasi argumentasi demi mendiskreditkannya.

Contoh konkret dari praktik ini dapat dilihat dalam pembiaran terhadap tambang ilegal yang tetap beroperasi tanpa pengawasan ketat, sementara isu lain yang tidak relevan justru dibesar-besarkan untuk mengalihkan perhatian publik (Schweitzer, 2022).

Dalam situasi ini, berbagai justifikasi rasional sering digunakan untuk membenarkan keputusan yang secara etika dan moral bermasalah, seolah-olah tindakan tersebut memiliki dasar yang sah.

Hal ini semakin memperkuat pendapat bahwa kekuasaan yang tidak transparan dan akuntabel cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat luas (Dahl, 2021).

Dampak dari pola perilaku semacam ini tidak hanya terbatas pada sektor kebijakan, tetapi juga menciptakan pola kepemimpinan yang tidak konsisten antara retorika dan tindakan nyata.

Ketidaksesuaian ini semakin terlihat jelas dalam berbagai sektor, termasuk di Aceh Tengah dan sekitarnya. Hal ini mencerminkan lemahnya pemahaman kepemimpinan (leadership knowledge) di kalangan elite, yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan tanggung jawab moral dan sosial (Bass & Bass, 2008).

Masyarakat, meskipun menyadari dinamika ini, cenderung memilih sikap diam sebagai bentuk pengumpulan data dan bukti sebelum bertindak (Putnam, 2020).

Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka dapat berkembang menjadi permasalahan yang lebih besar di masa depan. Kesadaran masyarakat yang terus meningkat dalam mengawasi kepemimpinan dapat menjadi faktor penting dalam menuntut perubahan yang lebih baik (Haque, 2021).

Ketidaksesuaian antara retorika publik dan tindakan nyata semakin terlihat jelas dalam berbagai sektor, termasuk di Aceh Tengah dan sekitarnya.

Fenomena ini mencerminkan lemahnya pemahaman kepemimpinan (leadership knowledge) di kalangan elite, yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan tanggung jawab moral dan sosial (Al-Ghazali, 2022).

Masyarakat, meskipun menyadari dinamika ini, cenderung memilih sikap diam sebagai bentuk pengumpulan data dan bukti sebelum bertindak.

Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” mengingatkan bahwa pemimpin yang munafik adalah mereka yang berbicara seolah-olah berbuat baik, tetapi bertindak sebaliknya, suatu sikap yang dapat menghancurkan kepercayaan publik (Al-Ghazali, 2022).

Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka dapat berkembang menjadi permasalahan yang lebih besar di masa depan. Kesadaran masyarakat yang terus meningkat dalam mengawasi kepemimpinan dapat menjadi faktor penting dalam menuntut perubahan yang lebih baik (Putnam, 2020).

Sebagai respons atas kondisi ini, diperlukan langkah konkret untuk mengedepankan kebijakan yang berbasis substansi dan berdampak nyata bagi masyarakat. Pengurangan praktik seremonial yang hanya bersifat pencitraan menjadi kebutuhan mendesak.

Sebaliknya, kepemimpinan yang berlandaskan integritas, akuntabilitas, dan konsistensi harus diutamakan untuk membangun kembali kepercayaan publik secara berkelanjutan, bukan sekadar demi kepentingan elektoral atau manuver politik sesaat.

Dalam perspektif filsafat adat dan budaya, kepemimpinan bukan sekadar simbol atau wacana, melainkan amanah yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata demi kemaslahatan rakyat (Sibarani, 2021).

Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali (2022) dalam “Ihya Ulumuddin”, pemimpin yang hanya mencari keuntungan pribadi melalui kepura-puraan akan kehilangan legitimasi dan akhirnya merugikan masyarakat secara luas.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Nawawi (2023) yang menekankan bahwa kepemimpinan sejati harus berorientasi pada kesejahteraan kolektif, berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan tanggung jawab moral dalam adat dan agama.

Refleksi etis bagi para pemangku kebijakan dan elite menjadi sangat relevan.

Kekuasaan dalam konteks Islam adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, dan bila orientasi hanya pada kepentingan pribadi dan kelompok semata, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kepercayaan masyarakat (Al-Ghazali, 2022).

Sejarah telah memberikan banyak pelajaran berharga, salah satunya melalui studi tentang strategi kolonial yang digunakan oleh Snouck Hurgronje dalam upayanya menaklukkan Gayo, Aceh, dan Jawa.

Ia berpura-pura memahami dan mendukung nilai-nilai Islam, bahkan menguasai Al-Qur’an serta konsep Islam secara mendalam, untuk menampilkan dirinya sebagai sosok alim di mata rakyat Nusantara (Reid, 2019).

Namun, di balik itu, tindakannya bertujuan untuk memecah belah masyarakat dan melemahkan perlawanan terhadap kolonialisme.

Pendekatan ini menjadi contoh nyata bagaimana manipulasi dapat dilakukan dengan menyamarkan kepentingan terselubung di balik retorika yang tampak mendukung rakyat, sebagaimana yang sering terjadi dalam praktik kepemimpinan yang tidak berlandaskan kejujuran dan nilai-nilai etis (Sibarani, 2021).

Dalam konteks pendidikan kepemimpinan yang berbasis moral dan nilai-nilai etis, diperlukan model pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek kognitif, tetapi juga membangun karakter serta kesadaran moral.

Pendidikan berbasis kearifan lokal dan religiusitas dapat menjadi solusi dalam membentuk pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan ketulusan dalam mengabdi kepada masyarakat (Nasution, 2023).

Model pendidikan ini sejalan dengan konsep kepemimpinan dalam Islam yang dikemukakan oleh Al-Farabi (2022), yang menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan tanggung jawab terhadap rakyatnya dan tidak munafik.

Oleh karena itu, para pemimpin dan elite tidak cukup hanya memahami retorika kepemimpinan, tetapi juga harus mampu menginternalisasi nilai-nilai etis dalam setiap kebijakan yang diambil agar kepemimpinan mereka benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat (Sibarani, 2021).

Sebagai kontras, dapat diamati gaya kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dengan ketulusan nyata. Salah satu contoh yang relevan adalah Kang Deddy Mulyadi (KDM), yang dikenal dengan pendekatan kepemimpinannya yang humanis dan berpihak pada kelompok marginal.

Ia aktif turun langsung ke masyarakat, memberikan solusi konkret atas permasalahan sosial, dan menghindari praktik politik transaksional.

Kepemimpinannya mencerminkan transparansi dan akuntabilitas tinggi, tanpa terpengaruh oleh kepentingan oligarki atau kontraktor tertentu.

Model kepemimpinan semacam ini selaras dengan konsep kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam kebijakan (Sibarani, 2021).

Selain itu, menurut Nawawi (2023), kepemimpinan yang efektif adalah yang mampu menginternalisasi nilai-nilai sosial dan budaya dalam setiap kebijakannya, bukan sekadar memprioritaskan keuntungan politik jangka pendek.

Dengan demikian, KDM menjadi simbol pemimpin yang benar-benar mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi maupun politik.

Namun, kondisi ini berbanding terbalik dengan sebagian elite dan pemimpin di Aceh Tengah dan sekitarnya yang masih menunjukkan kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat luas.

Salah satu indikasi nyata dari fenomena ini adalah lemahnya pengawasan terhadap aktivitas tambang ilegal yang terus beroperasi, meskipun dampak lingkungan dan sosialnya semakin memprihatinkan.

Alih-alih menegakkan kebijakan yang mendukung kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, beberapa keputusan justru terkesan mengesampingkan isu-isu mendasar ini demi kepentingan tertentu.

Lebih jauh, munculnya kasus-kasus lain yang kurang relevan di ruang publik sering kali menjadi strategi untuk mengalihkan fokus masyarakat dari permasalahan utama yang lebih krusial.

Selain itu, ketidaksesuaian antara retorika dan tindakan nyata dalam kebijakan publik semakin memperkuat skeptisisme masyarakat terhadap kepemimpinan yang ada.

Berbagai kebijakan yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan, seperti penutupan area resapan air, penyempitan saluran drainase, serta pengelolaan sampah yang tidak optimal, telah berdampak pada meningkatnya risiko bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor.

Situasi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang tidak memiliki visi jangka panjang dan hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek dapat berkontribusi terhadap permasalahan sosial dan ekologis yang semakin kompleks.

Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya dalam momentum politik tertentu, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap rakyat dan lingkungan.

Perbandingan ini semakin menegaskan bahwa inovasi dan perubahan yang konstruktif tidak hanya bergantung pada kelompok elite, tetapi juga membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi dan memastikan implementasi kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik.

Sebagaimana ditegaskan oleh Sibarani (2021), kearifan lokal dapat menjadi instrumen kontrol sosial yang efektif dalam mengawasi perilaku elite agar tetap selaras dengan norma budaya dan moral masyarakat.

Masyarakat harus semakin sadar akan peran penting mereka dalam mengawasi tugas dan fungsi elite serta pemimpin guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan kepentingan bersama (Nawawi, 2023).

Di sisi lain, para elite dan pemimpin diharapkan bekerja dengan ketulusan dan tanggung jawab moral yang tinggi, menjadikan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama, bukan sekadar alat untuk kepentingan pribadi atau politik sesaat.

Dalam perspektif Al-Ghazali (2022), pemimpin yang hanya berorientasi pada pencitraan dan kepentingan kelompok tertentu akan kehilangan legitimasi dan menghadapi konsekuensi besar di masa depan.

Berdasarkan pengamatan fakta lapangan dan hasil analisis di atas, ditemukan bahwa ketimpangan antara retorika dan tindakan nyata dalam kepemimpinan elite telah berkontribusi terhadap menurunnya kepercayaan publik.

Pemimpin yang hanya berorientasi pada pencitraan dan kepentingan kelompok tertentu cenderung mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial serta kesejahteraan masyarakat luas (Sibarani, 2021).

Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan yang mengedepankan integritas, akuntabilitas, dan kearifan lokal dalam setiap pengambilan keputusan (Nawawi, 2023).

Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi kebijakan menjadi faktor krusial guna memastikan transparansi serta memastikan bahwa kepemimpinan tetap berpihak pada kepentingan kolektif dan bukan sekadar alat bagi kelompok elite tertentu (Al-Ghazali, 2022).

”Gayo ni kati renah gejahe, i remeh ni jema kena sesabe diri bersi-sikiten, sesabe diri bersi-singkulen, sesabe diri bersi-ileten, sesabe diri bersikoteken, i osah pemikiren mayo kemiring kuwen tangku kemiring kiri”

*Urang Gayo, Ketua Pusat Kajian Budaya dan Bahasa (PKBB) & Dosen Pasca INISNU Temanggung, Jawa Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.