Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Prosesi adat Mu Nik Ni Reje atau Pengukuhan Ulu Rintah, sebagai tanda dimulainya pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah secara adat, berlangsung meriah dan khidmat.
Namun terminologi Mu nik Ni Reje atau pengukuhan ulu rintah digunakan secara bergantian, padahal kedua terminologi ini secara budaya Gayo memiliki definisi yang berbeda (ikuti perkembangan penyusunan korpus bahasa Gayo di https://shorturl.at/MH9p2).
Ketidak konsistenan penyebutan prosesi ini memperlihatkan bahwa upacara ini tidak berlandaskan aturan formal yang jelas. Memang, Mu Nik Ni Reje tercatat dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, yang salah satunya mengatur tata cara pelaksanaan prosesi tersebut.
Jika berpegang pada qanun itu, seharusnya Ketua DPRK menyerahkan bawar, bukan tungket—sebuah detail kecil yang justru menjadi penanda bahwa prosesi Mu Nik Ni Reje atau pengukuhan ulu rintah ini telah berbeda dari adat Gayo.
Mungkin saja ada rujukan lain yang dijadikan acuan dalam prosesi ini. Mari kita telaah lebih dalam.
1. Penutup Kepala: Jejak yang Terhapus?
Salah satu elemen yang menarik perhatian adalah bentuk penutup kepala yang dikenakan oleh Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah. Mereka mengenakan penutup kepala segitiga yang menyerupai tombak layar, sebuah bentuk yang tidak dikenal dalam budaya Gayo.
Berdasarkan beberapa referensi:
• Dr. Rajab Bahry dalam Kamus Budaya Gayo (Kemendikbud, 2018) mencatat bahwa hingga tahun 2018, penutup kepala pemimpin dalam budaya Gayo, baik itu Bupati, Gubernur, maupun Presiden, adalah Bulang Pengkah.
• A. Sy. Coubat dalam Adat Perkawinan Gayo (1984) menyebutkan bahwa penutup kepala adat dalam prosesi resmi adalah Bulang Pengkah, Bulang Kul, atau Bulang Cengkarom.
• Hazeu (1907) mendokumentasikan bahwa masyarakat Gayo mengenal tiga jenis penutup kepala: Bulang (https://shorturl.at/hc9qi), Jembolang (https://shorturl.at/Sgxzz), dan kepiah (https://shorturl.at/Ach6b). Apa dan bagaimana diskripsi penutup kepala Gayo dapat dilihat dalam link yang dibagikan.
Dari sumber-sumber tertulis ini, tidak satu pun yang menyebutkan bentuk penutup kepala seperti yang digunakan dalam prosesi Mu Nik Ni Reje atau pengukuhan ulu rintah.
Lebih jauh, bentuk yang dikenakan justru lebih menyerupai mitra (mitre), penutup kepala yang lazim dipakai dalam budaya keuskupan Katolik Ortodoks Timur maupun Gereja Anglikan.

2. Warna Pakaian: Kuning atau Biru Dongker?
Dalam qanun yang sama, disebutkan bahwa warna pakaian Bupati adalah kuning. Namun, hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa dalam adat Gayo, warna pakaian tradisional justru lebih dekat dengan biru dongker.
Menurut J.E. Jesper (1912), yang merekam budaya Gayo disekitar tahun 1912, warna kain adat Gayo berasal dari pewarna alami, seperti jepal yang menghasilkan warna biru dongker, atau regen yang lebih gelap, keduanya adalah pewarna alami Gayo untuk tekstil.
Maka, penggunaan warna kuning dalam prosesi ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar adat Gayo, atau ada pengaruh dari luar yang mengubah esensi aslinya?
Mengapa Budaya Gayo Harus Dijaga?
Tugas menjaga keaslian prosesi adat sejatinya menjadi tanggung jawab Majelis Adat Gayo (MAG). Jika ada perubahan dalam simbol-simbol adat, tentunya harus didasarkan pada kajian yang kuat dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan adat.
Mantan Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tengah bersama Reje Paya Tumpi—yang juga Ketua APDESI—telah berupaya menghidupkan kembali Jembolang, penutup kepala khas Gayo.
Mereka bahkan mendorong UMKM untuk memproduksinya agar tidak punah. Namun, upaya ini seolah tak mendapat tempat dalam prosesi Mu Nik Ni Reje.

Sebuah prosesi adat bukan sekrdar seremoni. Ia adalah cermin sejarah, identitas, dan kebanggaan sebuah bangsa. Jika generasi muda menyaksikan prosesi yang melenceng dari akar budayanya, tanpa ada koreksi, mereka akan menerima hal itu sebagai kebenaran.
Dalam jangka panjang, penyimpangan ini justru berpotensi menghapus jejak budaya Gayo.
Kepada Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah, jika memang tak ingin mengenakan penutup kepala sesuai tradisi Gayo, setidaknya jangan gunakan mitra—simbol yang justru berasal dari budaya keuskupan Katolik. Minimal peci yang masih masuk dalam kategori kepiah penutup kepala Gayo.
Bahasa dan Makna: Sejauh Apa Kita Melangkah?
Saat ini, saya sedang mengumpulkan korpus bahasa Gayo agar dapat menjadi bahan pembelajaran bagi generasi mendatang. Salah satu kata yang menarik untuk dikaji adalah ate.
Dalam bahasa Gayo, ate memiliki dua makna, salah satunya Sebagai bagian organ tubuh, seperti dalam kalimat: “Pas pedeh òya, ate ni akang ne kin megang langkah ini.” (ate ni akang, merupakan bagian dari organ tubuh), tapi penggunaan kata ate dalam kalimat “Pis di ate mu MAG ku”, kata “ate” dalam kalimat ini bermakna apa?.
Seperti halnya makna ate yang memiliki kedalaman tersendiri, adat dan budaya pun demikian. Ia bukan sekadar simbol, tapi juga esensi yang mencerminkan identitas. Jika kita mengabaikan akar budaya kita, lalu apa yang tersisa dari jati diri kita sebagai masyarakat Gayo?
*Peneliti dan Pemerhati Sejarah dan Budaya Gayo