Oleh : Darmawansyah*
Fenomena awal tahun sebelum pelantikan Kepala Daerah baru-baru ini memberikan efek yang sangat menguras keringat dan otak para pengkaji sosial dan Pendidikan.
Dua moment ulang tahun menjadi moment yang sangat memberikan nilai-nilai tersendiri dari aktivitas Masyarakat dalam satu kabupaten yang tersebut dalam wilayah Tengah provinsi Aceh.
HUT kota Takengon dan HUT Transmigrasi Kecamatan Jagong Jeget hampir berbarengan dalam pelaksanaan memeriahkan dua event yang menarik simpati Masyarakat.
Meriahnya dua event ini memberikan nilai tersendiri dalam wilayah Dimana event itu dilaksanakan.
Takengon sebagai pusat kota kabupaten menjalankan event HUT ini untuk mengenang bahwa Aceh Tengah dengan sebutan lain Gayo telah ada sudah hampir empat setengah abad dan sebagai upaya unjuk diri dengan keberadaan suku Gayo sebagai suku lokal (asli) yang berada di wilayah Tengah Provinsi Aceh.
Begitu juga dengan event HUT Transmigrasi Kecamatan Jagong Jeget, di mana Masyarakat mengenang bagaimana susahnya masyarakat Kecamatan Jagong Jeget membuka dan membesarkan wilayah yang dulunya adalah hutan rimba berpenghuni hewan buas kini menjadi sebuah Kecamatan yang maju dan ikut memberikan sumbangan PAD dari hasil pertanian yang keluar dari wilayah kecamatan ini.
Kesenangan ini diwujudkan dengan mengadakan berbagai kegiatan seni budaya yang ada di Masyarakat dan sedikit memunculkan seni budaya modern yang pada akhirnya menimbulkan pro kontra di Masyarakat.
Dikalangan masyarakat Gayo menyebutnya sumang Dimana aktivitas tersebut sebagai perbuatan yang melanggar hukum adat terutama adat Gayo.
Sebagian menyebutnya biasa saja, karena perbuatan tersebut berada di kalangan masyarakat yang mayoritas bukan suku Gayo. Dua statement ini memerikan nilai tersendiri dari sudut mana mereka melihat fonomena yang terjadi tersebut.
Ketika fenomena tersebut dilihat dari sudut pandang yang berbeda dengan latar belakang budaya maka akan memberikan deskripsi yang berbeda pula. Gayo menyebutnya sumang sedangkan suku lain menyebutnya tidak sumang.
Namun ketika fenomena tersebut di lihat dari sudut pandang Agama maka akan mendapatkan jawaban yang sama bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan maksiat, apalagi mempertontonkan aurat yang bukan muhrim di depan umum, dan ini merupakan pendapat yang sama dikalangan umat islam.
Dapat dilihat bahwa penduduk Aceh Tengah mayoritas muslim baik yang bersuku Gayo maupun suku lainnya, hanya sedikit yang beragama diluar islam.
Tidak juga dipungkiri bukan hanya suku di luar Gayo yang menyukai “Dugem” bahkan banyak dari Masyarakat suku Gayo sendiri suka dengan perbuatan tersebut.
Tidak seluruhnya Masyarakat Gayo melaksanakan islam dengan taat sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau, tidak juga suku lainnya.
Bahkan ini dibuktikan oleh Snouck Hurgronje sendiri dan di tulis dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Hatta Hasan Aman Asnah dengan judul Gayo: Masyarakat dan Kebudayaannya.
Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin yang dilantik tanggal 18 Februari 2025 yang lalu.
Dari rutinitas yang dilakukan beberapa bulan ini dengan mengunjungi masjid-masjid di wilayah kecamatan dan bahkan sampai ke desa dan berkemungkinan sampai ke pedalaman dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk lebih meningkatkan aktivitas dan pemahaman keagamaan yang baik, dan setidaknya bukan sebagai ancaman bagi Masyarakat bahkan pejabat kampung setempat.
Pemimpin diharapkan mencari dan menggali masalah yang terjadi dikalangan masyarakat. Sehingga memunculkan fenomena yang memberi warna tidak sedap dan memberikan nilai negative di kalangan luas serta berdampak pada tercorengnya nilai budaya leluhur yang dijunjung tinggi dikalangan masyarakat lokal.
Fenomena yang muncul layaknya sebagai gunung es yang berada ditengah lautan, yang terlihat hanya sedikit namun yang tidak tampak cukup besar.
Kapal titanic tidak akan tenggelam jika hanya membentur apa yang terlihat dipermukaan laut, namun yang ia tabrak adalah apa yang tidak terlihat di bawah permukaan laut yang hanya dapat dilihat Ketika mata masuk dan menyelam kedalam air laut.
Suatu kejadian tidak akan muncul jika tidak ada yang membangun, maka dengan apa yang telah terjadi mungkin menjadi pengalaman dan dapat dijadikan Pelajaran bagi pemimpin dan para stakeholder pemerintahan untuk lebih meningkatkan pemahaman keagamaan demi menyujudkan masyarakat madani yang di idamkan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menggali masalah dan menemukannya serta menabur benih Solusi yang dapat tumbuh dikalangan masyarakat dan menjadi jati diri masyarakat Aceh Tengah yang taat agama dan menjunjung nilai budaya.
Adat sebagai pagar, agama sebagai tanaman, sehingga menghasilkan nasyarakat yang membawa pada baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Kehidupan masyarakat di kabupaten Aceh Tengah merupakan Masyarakat dengan kultur budaya yang berbeda.
Perbedaan ini setidaknya bukan menjadi acuan untuk lebih mengunggulkan budaya masing-masing dikalangan masyarakat.
Namun perbedaan ini setidaknya menunjukkan bahwa kebhinekaan yang membawa persatuan dikalangan Masyarakat dengan ikatan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun persatuan nilai dari kalangan Masyarakat dapat dimunculkan dari agama yang dipeluk dan diyakini masyarakatnya, terutama islam yang merupakan agama yang dianut oleh Masyarakat Kabupaten Aceh Tengah (Gayo, Aceh, Jawa, Batak, Padang, dll).
Istilah lain ‘dimana bumi di pijak di situ bumi dijunjung’ merupakan penghormatan pada pemilik wilayah di mana kita berada.
Perbuatan yang boleh dilakukan pada satu suku bangsa belum tentu baik dikalangan suku bangsa lainnya, oleh karenanya perlu adanya sikap toleransi antar suku bangsa, hormat menghormati dan saling asih dan asuh akan memberikan nilai persatuan dan kesatuan dan memperkuat tali silaturahmi antar suku bangsa yang berada pada wilayah tertentu.
Pada akhirnya pemimpin harus bijak dalam memberikan solusi kepada masyarakat yang berada di bawahnya (dipimpinnya) degan tidak memilah dan memilih salah satu budaya dengan mengunggulkannya sebagai budaya terbaik dan merendahkan budaya lainnya.
Apalagi sampai memberikan ancaman bagi kalangan tertentu dan pihak-pihak tertentu.
Solusi terbaik dari semua ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman keagamaan masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Tidak seperti apa yang di tulis oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya, setidaknya membantah thesis beliau dengan menunjukkan bukti bahwa Gayo tidak seperti apa yang ditulisnya, Gayo saat ini berbeda dengan masa lalu!. Allahu ‘A’lam.
*Penulis adalah Kaur TU MTsN 7 Aceh Tengah.