Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Sebelum jam tangan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, masyarakat Gayo menggunakan penanda waktu yang didasarkan pada perubahan posisi matahari dan fenomena alam.
Mereka membagi waktu sehari-hari dengan istilah seperti:
• Tuk Kurik: Menandai awal fajar.
• Dĕné Ajar Gajah: Saat kabut pagi mulai menghilang.
• Ampar Jĕmur: Waktu menjemur hasil panen ketika matahari mulai terik.
• Awal Ruhul dan Mugrip: Menandakan peralihan dari siang ke sore, dan dari senja ke malam.
Berikut nama-nama satuan waktu dalam tradisional Gayo :
Tuk kurik, dĕné ajar gajah, dĕrĕndang, beloh nur, sòbòh, kĕkabur, ampar jĕmur, rakat man, tólèh nur, atas lō timang, awal ruhul, gèlèng, akir ruhul, awal asar, akir asar, mata n lö tĕnglóp, sĕnye, mugrip, èsa, mis kĕkanak, mis tĕtue, tĕngah malam, relem lo
Pengetahuan ini sangat fungsional, membantu masyarakat menentukan waktu terbaik untuk bercocok tanam, berburu, atau melaksanakan upacara adat.
Namun, sekarang, penanda waktu seperti ini mulai terlupakan, tergantikan oleh jam digital yang lebih presisi tetapi tidak memiliki ikatan emosional dengan alam.
Mungkin ada yang bertanya, di tengah kemajuan teknologi, mengapa kita perlu melestarikan pengetahuan tradisional seperti ini?
Jawabannya sederhana: pengetahuan tradisional adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan kearifan lokal. []