Kombatan GAM di Persimpangan Jalan Menuju Perang Besar

oleh
Fauzan Azima bersama Abrar Syarif dan Ibnu Sakdan (Syech Sapuarang).

Oleh : Fauzan Azima*

“KITA telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Yakni jihad melawan hawa nafsu.”

SYAHDAN, setelah menghadapi Perang Badar yang berat, Nabi Muhammad saw berpesan tentang perang yang lebih besar. Perang itu adalah perang melawan hawa nafsu.

Meski tak setara Perang Badar, pada awal Darurat Militer diberlakukan di Aceh, kami, sejumlah kombatan Gerakan Aceh Merdeka, mengalami menjalani peperangan hebat di belakang Keude Alue Papeun, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.

Saat itu kami diserang lewat udara dengan pesawat F-16, Sukhoi dan helikopter. Sedangkan dari darat, kami dikepung oleh pasukan TNI terlatih. Begitupun dahsyatnya serangan musuh pada waktu itu, kami bisa melewati berkat kekompakan dan kesetiaan sesama pasukan GAM.

GAM, dari sisi manapun, jelas tak sebanding dengan tentara Pemerintah Indonesia. Baik dari sisi personil maupun persenjataan. Saat itu, jauh sebelum bom suara digunakan militer Israel untuk memerangi Bangsa Palestina, senjata itu di Aceh diujicobakan di Aceh, saat melawan kami.

Setelah perang di hebat di Alue Papeun itu. Setelah GAM dan Pemerintah Indonesia berdamai, ternyata perang, bagi kami bekas kombatan, tak pernah usai. Ada perang yang lebih besar dari gempuran di Alue Papeun. Perang yang sublim. Tak terasa. Bukan jenis perang yang menghadirkan ketakutan hingga tulang. Perang itu adalah melawan hawa nafsu.

Setelah perang, situasi berubah. Perlahan keintiman antarkombatan pudar. Mungkin karena saat itu kami tidak pernah menyiapkan diri untuk masa-masa perdamaian. Karena kami mengangap perang itu akan selamanya, dan kami benar-benar tidak siap untuk berdamai.

Yang muncul berikutnya adalah perasaan kikuk. Semasa perang, sesama kombatan biasa berbagi sebatang rokok. Bahkan menanggung peluru agar yang lain bisa selamat. Tak ada kepemilikan. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Setelah berdamai, saat tak ada lagi rasa takut dan bayangannya yang panjang, semua terasa aneh.

Tapi euforia itu terlalu nikmat. Kami, para kombatan GAM yang tak siap berdamai, kehilangan orientasi. Jika dulu sebatang rokok dinikmati bersama, kini rokok itu dinikmati sendiri meski asapnya membuat sesak napas kawan di samping.

Adalah momentum milad GAM ke-48 yang seharusnya membuat seluruh bekas kombatan GAM berhenti sejenak dari segala kesibukan dunia ini dan menoleh ke belakang sambil menanyakan hal ini, “apa yang sebenarnya kita cari, apa yang sebenarnyak kita perjuangkan?”

Terpilihnya Muzakir Manaf, bekas Panglima GAM, sebagai Gubernur Aceh memunculkan perasaan itu lagi, euforia. Ada perasaan bahwa semua hal, bagi bekas kombatan, akan berubah menjadi lebih baik, lebih mudah.

Bagi saya, Ini akan menjadi kesempatan kedua bagi kombatan untuk menata diri dan memperbaiki banyak hal yang sebelumnya diabaikan. Termasuk memperbaiki hal fundamental yang membuat sebagian kombatan merasa berhak atas banyak hal.

Pemerintahan Mualem ini adalah kesempatan terakhir memperbaiki citra bekas kombatan yang rontok. Jika ini berhasil, maka kepercayaan terhadap Mualem, sebagai simbol kombatan GAM, akan semakin meningkat. Sebaliknya, jika gagal, maka bekas kombatan bakal semakin ditinggalkan masyarakat.

(Tulisan ini disampaikan dalam sambutan Mantan Panglima Wilayah Linge dalam Milad GAM, 4 Desember 2024)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.