Oleh : Tgk. Ahyar M. Gade, MA*
Indonesia adalah bangsa yang menganut sistem pemerintahan berdemokrasi, yakni bentuk pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Di mana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang berkaitan dengan urusan penyelenggaraaan pemerintahan.
Dari sekian banyak negara yang menganut system demokrasi, hanya Indonesia yang berdemokrasi dengan asas demokrasi berbeda, asas pokok yang digunakan di indonesia adalah asas demokrasi pancasila.
Menurut Prof. Dr. Mr. Hazairin – seorang pakar hukum adat – yang pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Kabinet Ali Sastroamidjojo, menjelaskan bahwa “Demokrasi Pancasila” merupakan implementasi sila ke-4 dalam Pancasila Yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan”.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ditingkat provinsi dan kabupaten/kota merupakan momentum penting bagi demokrasi di Aceh. Dibalik dinamika kompetisi politik, Pilkada juga menjadi ujian kedewasaan berdemokrasi dalam menjaga persatuan dan kesatuan orientasi di tengah ragam perbedaan.
Konsep “bersanding pasca bersaing” menjadi alternative solutif dalam menguatkan ukhuwah dan kebersamaan dalam persaudaraan, demi terwujudnya visi misi yang telah ditetapkan selama proses kontestasi politik.
Konsep ini juga menawarkan refleksi mendalam tentang pentingnya menjaga harmonisasi setelah kompetisi berakhir, sebagai bagian dari upaya mewujudkan Pilkada damai, sehat dan bermartabat.
Bersaing; Ajang Adu Gagasan, Bukan Konflik
Dalam konteks demokrasi, kompetisi politik adalah sarana untuk menentukan pemimpin terbaik melalui pemilihan yang adil dan transparan.
Persaingan ini sejatinya dirancang sebagai ajang adu gagasan, visi, dan program kerja yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Di sinilah inovasi dan kreativitas dalam merumuskan kebijakan publik diuji.
Dengan membandingkan gagasan dan program, rakyat diberikan kesempatan untuk memilih berdasarkan kualitas dan kredibilitas, bukan semata-mata popularitas.
Sayangnya, pada praktiknya, kompetisi politik sering melampaui batas, menjadi ruang konflik yang memecah belah masyarakat.
Kompetisi politik sering kali disalah artikan sebagai ajang permusuhan, memicu konflik sosial, bahkan merusak kerukunan. Permasalahan muncul ketika persaingan ini diwarnai dengan politik identitas, ujaran kebencian, dan kampanye hitam.
Pendekatan semacam ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga memecah belah masyarakat yang seharusnya tetap bersatu meskipun berbeda pilihan.
Jargon “Kita Bersaudara walau Pilihan Berbeda” seharusnya menjadi pemantik untuk tetap mengedepankan persaingan sehat demi kemashlahatan masyarakat.
Bersanding: Membangun Persatuan Setelah Kompetisi
Pasca Pilkada, apapun hasilnya, semua pihak harus kembali bersatu demi kepentingan Bersama, karena babak baru kehidupan demokrasi dimulai.
Kandidat yang terpilih bertanggung jawab untuk merangkul semua elemen masyarakat, termasuk pihak yang sebelumnya menjadi saingan dalam kontestasi.
Sementara itu, kandidat yang belum terpilih diharapkan dapat mendukung dan berkontribusi bagi pembangunan, menunjukkan bahwa perjuangan muthlak demi kepentingan rakyat, maka tidak harus berhenti walau mengalami kekalahan.
Hasil kompetisi, baik kemenangan maupun kekalahan, harus menjadi pijakan untuk bersanding, bukan menjadi alasan untuk terus berkonflik.
Kemenangan dalam Pilkada bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal tanggung jawab besar untuk memenuhi janji kepada rakyat.
Disisi lain, bagi kandidat yang belum terpilih, kekalahan bukan berarti kehilangan kesempatan untuk berkontribusi. Peran oposisi yang konstruktif atau partisipatif dalam masyarakat adalah wujud nyata dedikasi untuk kemajuan bersama.
Proses ini adalah inti dari demokrasi yang dewasa, menyatukan kembali masyarakat demi membangun persatuan pasca kompetisi. Hal ini Sebagaimana nasehat orang tua dahulu, “yang menang janganlah berjiwa besar, yang kalah tetaplah berlapang dada”.
Musyawarah; Azas Dasar Demokrasi
Musyawarah – yang dalam Al-Quran disebutkan dengan Sy-Syura – merupakan suatu prinsip tentang tata cara pengambilan keputusan. Musyawarah sebagai proses tukar gagasan untuk menetapkan pendapat yang paling baik dan benar.
Mereka yang melakukan musyawarah, dapat menghilangkan sifat keegoisan. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Begitu pentingnya arti musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya.
Dalam sejarah kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Dalam Al-Qur`an surah Ali Imran ayat 159, Allah Swt Memerintahkan “Dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Mari kita merenungi, Rasulullah merupakan hamba Allah yang paling sempurna dalam segala hal, namun Allah Swt tetap memerintahkan kepada Rasulnya untuk bermusyawarah, dan mereka para Rasul melaksanakan perintah tersebut, yakni bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Maka bagaimana dengan kita? Tentu bermusyawarah menjadi sebuah keharusan dan keniscayaan karena sungguh banyak kekurangan yang ada dalam diri kita.
Terlebih sebagai wujud pemerintahan yang menganut system demokrasi, maka musyawarah merupakan sebagai azas utama dalam mengaplikasi system demokrasi tersebut. Apalagi musyawarah menajdi salah satu pilar dalam butir-butir nilai Pancasila.
Makna Pilkada Damai
Pilkada damai bukan hanya tentang tidak adanya kekerasan atau konflik, tetapi juga tentang membangun budaya politik yang santun, kompetitif, dan inklusif.
Masyarakat berperan penting dengan menolak politik identitas, ujaran kebencian, dan berita bohong. Sebaliknya, partisipasi aktif dalam memilih dan menjaga suasana kondusif dapat memperkuat demokrasi.
Rekonsiliasi pasca Pilkada adalah kunci untuk meredam polarisasi yang sering muncul akibat perbedaan pilihan politik. Membangun persatuan dapat dilakukan dengan:
1. Merangkul Semua Elemen Masyarakat; Pemimpin yang terpilih harus mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang tidak memilihnya.
2. Menghindari Dendam Politik; Pemimpin perlu menahan diri dari sikap balas dendam atau marginalisasi pihak yang kalah. Sebaliknya, yang kalah harus mendukung pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang baik.
3. Mengedepankan Dialog dan Kolaborasi; Semua pihak, termasuk tokoh masyarakat dan pemimpin lokal, harus aktif membangun ruang komunikasi yang terbuka dan inklusif.
Melalui bersanding pasca bersaing, Pilkada dapat menjadi bukti bahwa demokrasi tidak hanya tentang kemenangan atau kekalahan, melainkan tentang membangun harapan bersama demi masyarakat yang sejahtera dan kemajuan daerah yang lebih baik. Bersainglah dengan gagasan dan bersanding tanpa permusuhan.
*Ketua Kelompok Kerja Penyuluh Agama Islam Prov. Aceh