Oleh: Darmawansyah*
Upaya Menteri Pendidikan dasar dan menengah dalam merubah model Pendidikan menjadi viral di media sosial, pasalnya beliau akan menggunakan model Pendidikan deep learning dalam proses Pendidikan di Indonesia.
Model Pendidikan ini telah ia temukan saat beliau menempuh Pendidikan di Australia tahun 90-an (paparnya di media).
Namun, apakah model Pendidikan yang bermasalah di negara ini? Ataukah materi kurikulum yang bermasalah? Dan mungkin beberapa pertanyaan lain yang dapat dimunculkan dari issue yang berkembang saat ini.
Berbagai macam permasalahan Pendidikan menjadi trending topic di media sosial dan elektronik, apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu kini bermunculan Kembali.
Kasus guru supriyani di Sulawesi misalnya yang menjadi bahan berita yang sangat menghebohkan jagat dunia Pendidikan dengan tuduhan kekerasan pada murid yang berbuntut pada tuntutan dan konpensasi yang tidak sedikit dari pihak korban.
Kasus ini, hingga berbuntut tidak diterimanya anak didiknya untuk bersekolah di wilayah tersebut yang merupakan Keputusan PGRI setempat buntut dari kasus yang berjalan.
Makin ruwetnya fenomena Pendidikan saat ini di kala pendidik ditakutkan dengan kasus-kasus kekerasan dan sikap tidak manusiawi orang tua kepada pendidik dan kelakuan anak didik yang tidak berakhlak sehingga menghasilkan outcome Pendidikan yang tidak mampu membaca dan berhitung saat anak didik tersebut telah menduduki bangku SLTA.
Apakah ini hasil Pendidikan yang diharapkan selama ini? Ijazah hanya sebagai pajangan yang menunjukkan bahwa telah mengikuti proses Pendidikan? Atau apa yang diinginkan negara hingga hasil Pendidikan sampai sedemikian rupa? Inikah yang diharapkan selama ini?
Kurikulum terus berganti “ganti pemerintah ganti kurikulum, ganti Menteri ganti model pembelajaran”, inilah fenomena yang muncul semenjak Indonesia Reformasi tahun 1998 dahulu.
Terhitung sudah beberapa kali kurikulum Pendidikan berganti selama lebih kurang dua puluh lima tahun terakhir. Belum selesai satu kurikullum dikuasai oleh pendidik sampai ke pelosok negeri muncul kurikulum baru lagi dengan nama yang berbeda.
Indonesia setidaknya telah merumuskan tujuan Pendidikan yang jelas dan telah tercatut dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan itu berjuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikianlah tujuan Pendidikan yang telah dirumuskan dalam undang-undang, namun apakah Pendidikan hari ini telah mengarah pada tujuan Pendidikan tersebut?.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa, masih ada anak didik yang tidak mampu baca tulis dan bahkan sampai Tingkat SLTA, ada anak didik yang tidak mampu memahami tulisannya sendiri.
Ada anak didik yang tidak mampu membaca kitab agamanya (al-Qur’an), ada anak didik yang tidak pernah menjalankan perintah agamanya dengan benar, ada anak didik yang tidak pernah mampu berkata baik (tidak sopan).
Ada anak didik yang tidak mampu berhitung dasar, ada anak didik yang tidak mengenal pejuang kemerdekaan, tidak mengerti Sejarah, tidak mengerti dasar negara, dan masih banyak persoalan bangsa yang terlahir dari proses Pendidikan saat ini.
Apakah kita mampu meraih hasil tujuan Pendidikan Ketika kita hanya mengejar teori pembelejaran tanpa melihat kompetensi apa yang diharapkan Ketika anak didik lulus Pendidikan pada tingkatannya.
Sebagai contoh Apakah anak Sekolah Dasar Ketika lulus akan dijadikan ilmuan yang menguasai bidang hitung matematika dengan berbagai persoalannya? apakah mereka mampu menerapkan materi hitung yang cukup kompleks dalam kehidupan sehari-harinya?
Tidakkah hitungan yang mereka gunakan hanya untuk menambah, mengurang, membagi dan mengali dalam kehidupan sehari-hari seperti membeli bahan makanan atau jajanan saja! dan mereka tidak terlibat pada hitungan pertukangan atau kontruksi bangunan yang menggunakan berbagai rumus matematika yang kompleks.
Tidakkah di masa kanak-kanak anak didik sangat gemar dengan cerita masa lalu seperti dongeng dan cerita pengantar tidur?
Mengapa Pendidikan kita tidak berupanya menanamkan nilai-nilai nasionalisme dengan catatan Sejarah yang membangkitkan semangat perjuangan sehingga tidak terpengaruh dengan Upaya-upaya disintegrasi bangsa di masa depan?
Tidakkah kita mengingat beberapa tahun yang lalu Ketika anak negeri mengikuti tes masuk TNI dan tidak mengetahui siapa pahlawan revolusi Ketika ditanya oleh penguji.
Berbagai macam persoalan negeri bermunculan dari hasil kompleksitas permasalan sosial di negeri ini, tidak terlepas dengan Pendidikan sebagai wadah dalam membentuk generasi penerus bangsa dikemudian hari.
Apakah upaya model pembelajaran deep learning yang dimunculkan oleh Menteri Pendidikan dasar dan menengah beberapa waktu lalu dapat menjawab permasalahan yang terus bermunculan hari ini?
Atau model pembelajaran tersebut hanya difokuskan pada jenjang Pendidikan tertentu saja, misal untuk Tingkat SLTP dan SLTA saja.
Sedangkan untuk Tingkat SD hanya berfokus pada penanaman materi dan internalisasi serta aplikasi nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan seperti penerapan ajaran agama yang benar, pelaksanaan shalat, membaca al-Qur’an.
Menerapkan Bahasa yang baik dan benar, mengenal Sejarah bangsa, mengenal lagu kebangsaan dan nasional, mengenal suku bangsa, mengenal dan mampu menggunakan hitungan dasar (tambah, kurang, kali dan bagi).
Deep learning adalah model pembelaran yang bukan model yang biasa-biasa saja tetapi model pembelajaran yang membutuhkan dasar yang kuat dalam mengolah pengetahuan yang di peroleh.
Tanpa dasar yang kuat dimungkinkan model pembelajaran yang demikian juga akan mengakibatkan chaos pada hasil Pendidikan nantinya.
Deep learning membutuhkan ilmu dasar yang akurat seperti matematika, kemampuan memahami makna kata dalam sebuah teks dan analisis daya pikir yang mumpuni. Pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah mampu anak didik saat ini di bekali dengan model Pembelajaran yang demikian dengan dasar keilmuan yang kurang baik?
Sampai dengan saat ini penulis masih bingung dengan hasil Pendidikan akhir negara Indonesia, kompetensi apa sebenarnya yang dihasilkan dari setiap tingkatan Pendidikan?
Jika melirik tujuan Pendidikan yang telah di ditetapkan pada Undang-undang SISDIKNAS tujuan utama Pendidikan adalah beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, faktanya materi atau pembelajaran keagamaan dibatasi jam ajarnya dalam seminggu dan dibanyakkan jam ajarnya pada materi-materi sains dan Bahasa.
Hanya pada sekolah keagamaan seperti madrasah dan sekolah Islam Terpadu saja yang menambah jam ajarnya pada materi agama, dan itupun belum sempurna pada hasilnya.
Setidaknya kurikulum Pendidikan Indonesia mengacu pada apa yang telah di tetapkan pada undang-undang SISDIKNAS sebagai dasar dalam menentukan hasil akhir Pendidikan pada setiap jenjang Pendidikan.
Kapan dan di mana dan di tingkat apa penanaman nilai keimanan dan ketaqwaan itu dikuatkan, begitu juga dengan nilai-nilai yang lainnya sehingga Pendidikan Indonesia memiliki warna yang jelas.
Ketika anak didik lulus atau selesai Pendidikan dari tingkatan Pendidikan tertentu maka ia akan memiliki kompetensi yang nyata dan dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setidaknya setiap elemen Pendidikan dapat memahami upaya dalam mengembangka generasi bangsa agar tidak menimbulkan berbagai persoalan sosial sebagaimana terjadi belakangan ini.
Seperti, kriminalisasi terhadap tenaga pendidik, dekadensi moral generasi muda, kriminalisasi pelajar, bullying dan perbuatan lainnya yang mengganggu nilai-nilai Pendidikan yang tidak kita harapkan dapat membentuk Masyarakat yang aman, tenteram dan jauh dari perbuatan yang tercela. Allahu a’lam.
*Penulis adalah Kaur TU pada MTsN 7 Aceh Tengah