Oleh : Indah Mayasary*
Dalam sepuluh hari terakhir, kabar pergantian kurikulum nasional sedang ramai diperbincangkan. Tentu banyak opini masyarakat terkait hal ini.
Namun yang jelas, di tengah perdebatan para pemangku kebijakan, alangkah baiknya jika kita selaku orang tua menetapkan tujuan, isi dan standar pendidikan anak-anak di dalam rumah kita sendiri.
Sehingga kalaupun kurikulum nasional berganti-ganti, kita tetap punya visi dan misi pendidikan keluarga yang jelas sebagai pemandu kita mengantarkan anak ke masa depannya.
Caranya dengan tetap menjaga fitrah belajar dan bernalar anak tumbuh subur sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Menurut Ustadz Harry Santosa dalam bukunya yang berjudul Fitrah Based Education, fitrah adalah apa yang menjadi bawaan manusia sejak lahir.
Fitrah juga diibaratkan seperti benih yang di dalamnya terkandung segala sesuatu yang diperlukan bagi benih untuk berkecambah, bertumbuh dan akhirnya berbunga dan berbuah pada kondisi dan saat yang tepat.
Demikian pula pada manusia, saat ia dilahirkan ia telah membawa potensi yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupannya di bumi dan menggapai maksud penciptaannya.
Sehingga tugas pertama orang tua adalah merawat benih ini agar tumbuh dan berkembang. Tugas ini tidak bisa kita wakilkan seratus persen kepada sekolah, karena yang menjadi penanggung jawab pendidikan anak adalah kita sendiri begitupun yang akan memanen hasilnya kelak.
Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu a’laihi wasalam : “Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Kedua orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi..” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits lain berbunyi ”Ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” [HR. Imam Muslim].
Dari kedua hadist ini kita memahami bahwa yang paling bertanggung jawab dan paling memerlukan fitrah belajar anak tetap bertumbuh adalah orang tua.
Selain itu alasan terkuat lainnya adalah kelekatan, kedekatan, kelapangan waktu yang lebih banyak antara orang tua dan anak.
Orang tua pula-lah yang paling memahami potensi, karakter si anak dan kebutuhan belajarnya serta kendala apa yang dialami saat belajar dan apa solusi terbaiknya.
Karena tugas ini lumayan berat, maka sebelum membahas tentang bagaimana menjaga fitrah belajar anak, PR terbesar orang tua adalah mengenali, menjaga fitrah belajarnya sendiri.
Kita perlu menjadi figur baik bagi anak dalam penerapan belajar sepanjang hayat. Kita pula yang harus lebih dahulu meluruskan niat juga persepsi bahwa belajar bukanlah untuk mengejar kekayaan, bukan pula untuk mendapat pekerjaan, tapi belajar adalah kebutuhan, hak istimewa yang diberikan Sang Pencipta khusus bagi makhluk yang bernama manusia.
Belajar adalah bentuk ketaatan dan kesyukuran atas nikmat akal yang dengannya manusia bisa menggapai tingkat tertinggi dari semua mahkluk.
Dengan akal pula manusia mampu memelihara, memimpin (menjadi khalifah) di muka bumi. Kesempatan belajar adalah sebuah nikmat sekaligus pengingat bahwa kita dilahirkan untuk suatu manfaat yang hanya bisa ditunaikan melalui proses belajar dan bernalar.
Allah Subhanahu wa taala berfirman dalam surah Fatir ayat 28 yang artinya :
“Hanya orang-orang yang berilmu yang takut pada Allah”. Dari sini kita memahami tentang urgent-nya ilmu dalam kehidupan. Hanya dengan ilmu seseorang kemudian berada pada keadaan rodja (berharap) dan khauf (takut) pada Rabb-nya.
Lagi-lagi bahwa ilmu hanya bisa didapat dari proses belajar dan satu-satunya cara untuk menjaga agar kegiatan belajar dapat berlangsung hingga akhir hayat anak-anak kita adalah dengan pendidikan, khususnya di dan dari dalam rumah.
Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga agar kemampuan belajar dan bernalar ini tetap bisa terjaga?
1. Usia 0-6 tahun
Menurut penelitian, berat otak saat anak lahir hanya 25 %. Bertambah menjadi 80 % diusia 2-3 tahun dan 90 – 92 % saat anak berusia 4-5 tahun. Mencengangkan bukan? Otak anak seperti lava mendidih yang terus tumbuh, glek glek glek, hehe…
Dengan pertumbuhan otak yang demikian dahsyat, kita bisa merasakan antusias dan gairah belajar serta keingintahuan yang tinggi pada setiap anak. Binar mata, pertanyaan dan gerak tubuh yang tiada henti, eksplorasi adalah ciri khas anak di fase usia ini.
Orang tua perlu memberikan perhatian khusus untuk menjaga agar fungsi otak sebagai sumber akal ini tetap sehat dan bertumbuh dengan baik.
Selain makanan sehat dan bergizi, perhatian dalam bentuk stimulus panca indera dan kemampuan berpikir harus terus diberikan.
Beberapa aplikasinya seperti sering mengajak anak merasakan berbagai rasa alami menggunakan indera pengecap, menggenggam, meraba, mencium bau-bauan, mendengar aneka suara, melempar dan menangkap, melihat ragam warna dan rupa, berimajinasi positif, aktif bergerak untuk memaksimalkan sistem vestibular dan selalu merasa aman.
Stimulus lainnya seperti mengenalkan bahasa ibu terlebih dahulu sebelum bahasa yang lain, mendekatkan anak dengan alam dan belajar di alam, beraktivitas berkualitas bersama kedua orang tua dan tidak membebani kognitif anak terlalu berat sebelum syarat lainnya seperti keterampilan sensorik motorik, kemampuan berkomunikasi dan keterampilan pemprosesan terstimulasi dengan baik.
Pastikan indera anak terstimulasi maksimal, gunakan tabel perkembangan untuk mentracking perkembangan belajar anak. Selain itu orang tua juga bisa membuat kurikulum sederhana sebagai acuan kegiatan bersama.
Kurikulum ini bisa berisi judul kegiatan, tujuan kegiatan (kesadaran yang ingin dipahamkan), materi sederhana, sumber belajar, waktu, tempat, pembiasaan yang ingin ditanamkan, kolom catatan-catatan penting selama belajar.
Adapun indikator akhir ditahap ini adalah anak mencintai sumber ilmu, seperti buku, orang berilmu, ayah dan ibu. Anak juga siap bereksplorasi menuju dunia di luar rumah.
2. Usia 7-10 tahun
Usia ini adalah golden age-nya fitrah belajar dan bernalar karena katanya otak kanan dan otak kiri sudah tumbuh seimbang. Di fase ini, orang tua harus menaruh perhatian khusus pada fitrah belajar dan bernalar anak.
Selain antusias dan ghairah menalar dan meneliti, anak biasanya sudah punya ketertarikan untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain sehingga eksplorasi semakin terbuka lebar.
Jika sekolah formal menjadi pilihan pendidikan, orang tua tetap bisa memantau perkembangan belajar anak dengan membuat kurikulum sendiri di rumah.
Kurikulum ini sebagai tambahan agar tujuan pendidikan dalam keluarga tetap bisa digapai. Namun jika memungkinkan, orang tua bisa berkolaborasi dengan guru merancang kurikulumya untuk diterapkan di sekolah dan di rumah.
Yang perlu diingat adalah, kurikulum adalah media untuk menggali potensi, bukan tujuan akhir dari suatu pembelajaran.
Misalkan belajar matematika, fungsi sebenarnya adalah untuk mengasah logika anak, melatih daya nalar agar terstimulus sinaps-sinaps di otaknya sehingga kemampuan berpikir anak semakin meningkat.
Tujuannya bukan hanya sekedar “tahu” matematika. Jadi, jika ini berkaitan dengan penyambungan sinaps, maka pembelajaran a tidak boleh terpotong, atau tidak kuat secara pondasi. Begitu juga pada pilihan materi lainnya.
Pembelajaran masih harus tersedia dalam sajian yang menantang anak berpikir dan bernalar. Struktur berfikir dan logika mulai dibangun dengan pemberian materi sebagai pemantiknya.
Namun sebaiknya materi yang diberikan tidak terlalu banyak, yang ditekankan adalah kedalaman dan kebermaknaan juga dengan tahapan penguasaan yang benar agar mendatangkan kepuasan bagi anak.
Pastikan anak mendapatkan moment-moment “aha” dari setiap pembelajarannya agar ia memandang dunia ini begitu indah, memesona sebagai bentuk keteraturan dari Sang Maha Pencipta dan perlu dipelajari dengan mendalam.
Hal pertama yang perlu dipastikan adalah pembelajaran harus selalu berangkat dari pengetahuan awal anak.
Kedua, guru dan orang tua mengetahui anak mampu mengikuti pembelajaran atau tidak. Karena tanpa pemahaman, belajar sama seperti memaksakan makanan ditelan tanpa mengunyah.
Jika ini dibiarkan, anak bisa mengalami yang namanya “gagal belajar” yang berujung pada sikap abai atau menganggap gagal itu biasa.
Ketiga, hindari labeling buruk dari lingkungan, terutama dari orang tua dan guru karena bisa sangat mempengaruhi labeling dari dirinya sendiri.
Selain mulai belajar materi secara khusus, diusia ini anak tetap harus didekatkan dengan alam dan belajar dari alam. Orang tua juga bisa memfasilitasi sumber belajar yang kaya, penuh inspirasi baik dan gagasan-gagasan hebat.
Tempat belajar tebaik bagi mereka adalah museum, kebun, pasar, hutan dan kehiduapan nyata . Sistem belajar terbaiknya adalah project based learning yang relevan dengan potensi anak.
Fasilitasi juga aktivitas dengan prinsip 3B, yakni beragam, berulang dan bertemu banyak orang. Inisiasi berbagai aktivitas peran yang bisa dilakoni anak seperti memasak, berakting, menggambar, memelihara hewan, bercocok tanam, menjelajah, relawan, mengurusi orang, menjadi ketua sebuah program, membuat konten, photografi, kriya, IT, berintraksi dengan beragam hewan dan lain sebagainya. Sehingga anak bisa mengenali dan menggali kecenderungan-kecenderungan belajarnya baik dari gaya belajar, pola belajar (bakat) maupun dari kotennya (minat).
Tugas di fase berikutnya adalah mengasah pola-pola ini menjadi kompetensi yang akan melahirkan peran yang bisa membawa kebermanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Di fase 0-10 tahun ini, orang tua bertugas menjadi pengobservasi, pencatat, guide dan coach bagi anak. Anak suka belajar apa, dari apa atau siapa, bagaimana cara mudah mempelajarinya, media apa yang paling cocok dan karakter-karakter apa yang muncul saat belajar.
Catatan ini bisa digunakan sebagai panduan untuk merencanakan pembalajaran selanjutnya. Tak perlu rigid dan terlalu formal, namun tetap terarah.
Hindari menggegas anak, orang tua bukanlah penuntut tapi penuntun. Pastikan fitrah-fitrah lainnya seperti fitrah keimanan, fitrah jasmani, fitrah estetika juga bertumbuh sehingga berkulindan dengan berkembangnya fitrah belajar dan bernalar. Adapun penanda potensi ini bertumbuh dengan baik adalah konsistensi belajar, ketertarikan meneliti serta siap berinovasi.
3. Usia 11-14
Jika indikator akhir di fase sebelumnya telah nampak, maka anak siap melanjutkan fase belajar selanjutnya yakni memukalafkan jati diri pada kehidupan intelektual. Anak sudah punya gaya belajar yang khas dan pilihan-pilihan materi yang ingin didalami.
Kegitan belajar bisa berupa talent based project (proyek berbasis talent), magang pada maestro, merantau, atau bimbingan belajar dari mentor dan coach. Balajar sudah diarahkan untuk alam dan kehidupan serta bagaimana pengelolan yang sesuai dengan sunnatullah.
Hal penting lainnya yang dilakukan di fase ini adalah membentuk komunitas belajar. Dengan berkomunitas, anak berkesempatan mendapat pengalaman yang lebih luas, semangat belajar yang semakin tinggi dan ruang kolaborasi yang terbuka lebar.
Anak lebih mudah memahami potensi diri dan potensi orang lain, begitupun kelemahan masing-masing, sehingga terbentuk sebuah keterkaitan dalam bantuk kerjasama yang harmonis.
Saat diusia ini, anak diharapkan telah mampu menentukan standar hasil belajarnya sendiri, telah mampu mencatat dan merasakan sendiri kemajuan belajarnya, begitu pula kendala-kendala yang dihadapinya.
Sehingga orang tua hanya berperan sebagai teman belajar, mentor dan coach.
Karena setiap anak unik lagi spesial, orang tua perlu memahami dan menggunakan sudut pandang anak dalam porsi yang lebih besar. Inside out harus lebih ditekankan karena sejatinya pendidikan adalah untuk menggali potensi lalu mengasahkan menjadi kompetensi, bukan sekedar menjejalkan banyak materi.
Diusia lima belas tahun ke atas, orang tua biasanya tinggal memanen hasil dari ikhtiar sebelumnya. Apakah kita jeli melihat, mau mencatat dan punya daya untuk mengikat pola-pola yang ditunjukkan anak-anak kita selama proses belajarnya? Apakah kita kemudian mampu membantu anak membentuk suatu karya dari hasil belajarnya?
Di usia ini, kecintaan anak terhadap belajar dan mencari ilmu yang relevan dengan dirinya seharusnya sudah terbentuk. Namun tak mustahil pula terjadi sebaliknya, potensi belajar anak malah terkubur atau terkesampingkan karena tahapan yang keliru. Tapi tak ada kata terlambat untuk terus berbenah, dampingi anak-anak kita untuk sama-sama belajar.
Semoga Allah mudahkan kita semua mendampingi, memfasilitasi benih-benih yang diamanahkan di rumah kita tumbuh subur dan berbuah pada masanya nanti.
__ __ __
Sebuah Pemikiran yang bersumber dari buku Fitrah Based Education dan buku lainnya juga pengalaman perjalanan mengasuh 3 orang anak.
Uning Bersah, 1 November 2024