Catatan Redaksi
Beberapa kali nasabah BPRS Gayo sambangi gedung DPRK Aceh Tengah. Hanya satu tuntutan mereka. Tabungan mereka dapat dicairkan.
Nasabah bank milik Pemkab Aceh Tengah itu, Kamis 7 Nopember 2024, kembali datangi DPRK Aceh Tengah. Hasilnya hanya sebatas formalitas, semacam dialog berbalas pantun.
Hanya ada satu hiburan untuk para nasabah. Mereka sudah masuk kategori sebagai korban bencana sosial.
Sebenarnya bukan. Mereka adalah korban ketidakpedulian dan ketidakbertanggungjawaban pemegang saham mayoritas yaitu Bupati Aceh Tengah.
Saat ini, nasabah hanya butuh tabungannya dapat dicairkan. Mereka memerlukan uang untuk biaya hidup dan kebutuhan sekolah putra putri mereka.
Semua tahu, BPRS Gayo sedang “sakit.” Akibat “dibobol” oleh karyawannya sendiri. “Sakitnya” tidak tanggung-tanggung, sampai mengalami krisis likuiditas alias tidak memiliki dana segar (tunai).
Untungnya BPRS Gayo dilindungi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Nilai simpanan yang dijamin oleh LPS adalah paling tinggi sebesar Rp 2 milyar per nasabah per bank sejak tanggal 13 Oktober 2008.” (Kompas, 19 Desember 2021).
Meskipun dana nasabah berulangkali dikatakan dijamin LPS, tetapi nasabah tidak sabar ingin mencairkan dana mereka.
Alhasil, mengadulah mereka ke lembaga penampung aspirasi, sekaligus pengawas roda pemerintahan. DPRK Aceh Tengah menampung jeriitan hati nasabah, bahkan disediakan nasi bungkus pula.
Pertanyaannya, kenapa anggota DPRK Aceh Tengah tidak menggunakan haknya dalam krisis BPRS Gayo ini? Apa saja hak mereka.
1. Hak Interpelasi: Meminta keterangan kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan tertentu.
2. Hak Angket: Melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis.
3. Hak Menyatakan Pendapat: Menyampaikan pendapat atau usulan mengenai kebijakan pemerintah daerah.
4. Hak Inisiatif: Mengajukan rancangan peraturan daerah (perda).
5. Hak Budgeting: Terlibat dalam pembahasan dan penetapan anggaran daerah.
6. Hak Pengawasan: Mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan kebijakan pemerintah daerah.
Dari keenam hak itu, paling efektif dalam menyelesaikan krisis BPRS Gayo dengan menggunakan hak budgetting. Langkahnya mudah. DPRK Aceh Tengah menyetujui (dengan mendahului RAPBK) usulan Pj Bupati Aceh Tengah tentang tambahan penyertaan modal untuk BPRS Gayo.
Memang jumlah yang dibutuhkan BPRS Gayo tidak sedikit, mungkin puluhan milyar rupiah. Tidak pun sejumlah itu, paling tidak tambahan penyertaan modal yang dapat menalangi kebutuhan mendesak sebagian nasabah.
Akankah langkah kombinasi itu diambil oleh Pj Bupati dan wakil-wakil kita di DPRK Aceh Tengah? Kita tunggu dan lihat, sejauhmana kepedulian mereka terhadap masalah krusial ini.***