Sastra Masuk Kurikulum Layu Sebelum Berkembang

oleh

Oleh : Zuliana Ibrahim*

Pembelajaran sastra sejatinya telah berlangsung lama dalam dunia pendidikan karena menjadi bagian materi yang dipelajari di mata pelajaran bahasa Indonesia.

Kemampuan peserta didik dikembangkan mulai dari memahami, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan bahkan mengapresiasi karya sastra.

Meskipun begitu, pembelajaran sastra di kelas dinilai masih belum efektif dan mendalam, hal ini disebabkan oleh alokasi waktu yang tidak memadai.

Alhasil pembelajaran sastra kerap kali disampaikan hanya secara sekilas oleh guru.

Mengutip pernyataan Antilan Purba bahwa pendidikan sastra dapat disamakan dengan pendidikan hidup. Melalui pendidikan sastra akan diperoleh nilai-nilai kehidupan yang bermakna.

Khususnya dalam berpikir, merasa, dan berkarsa (2008 : 58), hal ini sejalan dengan kurikulum merdeka yang memaknai pemahaman sebagai proses berpikir yang kompleks, peserta didik ditekankan pada pembelajaran yang lebih dalam dan bermakna didorong untuk berpikir kritis dan analitis, berfokus pada pengembangan kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Sehingga peserta didik didorong untuk memahami materi dalam konteks dunia nyata atau kontekstual. Pembelajaran sastra di sekolah menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan kemampuan berpikir, meningkatkan empati dan kreativitas peserta didik.

Menandai keseriusan pentingnya pembelajaran sastra di sekolah, kemendikbudristek telah meluncurkan program sastra masuk kurikulum pada 20 Mei 2024 lalu.

Sudah sepatutnya kita berbahagia, tatkala di zaman distraksi ini sastra yang luput dari perhatian dan kerap dipandang sebelah mata, telah mendapatkan ruang utama dalam dunia pendidikan.

Sastra telah memiliki porsinya tersendiri dalam kurikulum. Keputusan memasukkan sastra dalam kurikulum merdeka, tentu bukan tanpa alasan.

Apa lagi menumbuhkembangkan budaya literasi peserta didik, masih menjadi persoalan kita bersama sampai saat ini.

Melalui situs resminya, kemendikbudristek meluncurkan 177 judul buku karya sastra yang direkomendasikan untuk bahan bacaan peserta didik, yang terdiri dari 43 judul buku untuk tingkat SD/MI, 29 judul buku untuk SMP/MTS, dan 105 judul buku untuk SMA/MA.

Buku ini sudah melalui proses kurasi yang melibatkan beberapa pihak, seperti guru, sastrawan, dan akademisi. Kriteria utama kurasi dilakukan berdasarkan dimensi profil pelajar Pancasila.

Dengan begitu, sastra masuk kurikulum semoga dapat menjadi obat dari rendahnya minat baca peserta didik di Indonesia saat ini.

Selain karya sastra menjadi jalan untuk meningkatkan literasi peserta didik, karya sastra mampu membantu peserta didik dalam menemukan pengalaman dari dimensi kehidupan yang -mungkin- belum pernah mereka alami, mempelajari budaya lain, mengolah rasa dengan memasuki dunia tokoh-tokoh dalam cerita, membangun interaksi peserta didik dengan buku-buku sehingga memunculkan rasa simpati, empati dan membentuk kreativitas peserta didik.

Apakah program sastra masuk kurikulum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya? Menilik program ini terkesan lahir terburu-buru, ada banyak hal yang harus dikaji ulang dalam penyelenggaraannya, mengingat banyaknya keterlibatan pihak dalam mengimpelentasikan program ini tentu kita harus mempersiapkan segala tantangan yang besar kemungkinan akan dihadapi.

Buku panduan

Kenyataan pahit yang kita terima ketika belum lagi program ini berjalan. Buku panduan sastra masuk kurikulum ditarik dari publik oleh kemendikbudristek karena memuat informasi yang tidak sesuai, baik dari informasi profil sastrawan hingga informasi bentuk karya sastra yang direkomendasikan.

Salah satu contohnya penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam profilnya disebut meninggal dunia 17 Juli 2020 lalu, padahal beliau sampai saat ini masih segar bugar dan aktif bersastra.

Kecerobohan dalam penyusunan buku panduan ini tidak bisa ditoleransi karena mengandung informasi yang menyesatkan.

Selain itu ditemukan pula beberapa buku karya sastra yang direkomendasikan mengandung diksi vulgar, istilah sadisme, menyinggung ras atau golongan tertentu yang tidak layak dibaca oleh peserta didik, bahkan saat ini judul buku rekomendasi tingkat SMA di situs resmi Kemendikbudristek pun tidak dapat diakses lagi karena sedang direvisi.

Akses buku rekomendasi

Dengan diluncurkannya buku rekomendasi sebagai bahan bacaan peserta didik, menjadi cara mudah pihak sekolah dalam menentukan buku bacaan dalam penyelenggaraan sastra masuk kurikulum.

Namun buku rekomendasi tidak sepenuhnya dengan mudah didapatkan oleh sekolah di seluruh Indonesia, sejak diluncurkannya program ini situs resmi kemendikbudristek tidak menyediakan buku digital gratis yang dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik.

Pada buku panduan juga hanya menyampaikan ringkasan dari isi buku yang direkomendasikan. Bagi sekolah yang memiliki dana BOS cukup besar, tentu dapat membeli buku dengan mudah namun bagaimana dengan sekolah kecil di kota kecil?

Begitu pula dengan keberadaan literasi digital yang belum menyeluruh di sekolah-sekolah di Indonesia. Misalnya beberapa sekolah yang ada di Takengon, meski sekolah tersebut telah menerapkan kurikulum merdeka dalam pembelajarannya, namun dengan kemampuan jaringan internet yang cukup sulit karena letak geografis sekolahnya maka pembelajaran berbasis digital pun terkadang hanya menjadi angan belaka.

Sosialisasi kepada guru

Kerap kali program-program yang dikeluarkan oleh kemendikbudristek menimbulkan kegaduhan bahkan di kalangan guru sendiri sebagai pihak yang paling utama di lingkungan sekolah, dalam menyelenggarakan program sastra masuk kurikulum.

Program ini bukan sepenuhnya tanggung jawab guru mata pelajaran bahasa Indonesia, dimana mereka dianggap lebih kompeten karena memiliki dasar kemampuan di bidang sastra.

Program ini berlaku untuk seluruh guru bidang studi tanpa kecuali, oleh karena itu sosialisasi kepada guru harus dilakukan.

Guru diberikan panduan khusus dalam menyelenggarakan sastra masuk kurikulum di sekolahnya, namun kenyataannya sampai detik ini belum ada kabar baik dari kemendikbudristek dalam menyiapkan guru-guru dalam mengajarkan sastra, sebab program ini harus melibatkan guru yang akan mendampingi peserta didik dalam membaca, sehingga peserta didik dapat menemukan nilai-nilai pembelajaran yang terkandung dalam karya sastra guna melatih keterampilan mereka.

Beban guru bertambah

Memang terkesan aneh, tetapi setiap kemendikbudristek meluncurkan program baru maka bersamaan dengan itu timbul pula prasangka guru terhadap program tersebut.

Mengapa demikian? Hal ini sesuai dengan kenyataan yang sudah dialami sejak penerapan kurikulum merdeka mulai berlaku. Alih-alih memberikan ruang untuk guru “merdeka” lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran. Tumpukan tugas administrasi yang terus menggunung membuat guru terbelenggu di dalam ruang pendidikan yang luas.

Program sastra masuk kurikulum yang melibatkan guru dalam penyelenggaraannya, tentu memiliki tujuan akhir yang nantinya dapat dibuktikan baik dalam bentuk penilaian atau pun refleksi untuk menjadi barometer keberhasilan peserta didik dalam melaksanakan program ini.

Terkait dengan penilaian tersebut, guru pasti menjadi orang yang bertanggung jawab memberikan penilaian. Apakah proses pemberian penilaian ini justru menambah beban guru?

Tingkat keterbacaan

Eka Kurniawan sebagai salah satu kurator buku rekomendasi sastra masuk kurikulum, dalam wawancaranya yang dimuat di kompas.com menyebutkan sulitnya mencari buku sastra yang cocok dengan anak usia SMP.

Hal ini membuat jumlah buku untuk kategori tingkat ini paling sedikit dibandingkan dengan tingkat SD dan SMA.

Jika kita kembali membaca ulang kategori buku karya sastra yang direkomendasikan harus memenuhi kriteria, yaitu dengan kriteria utama berdasarkan dimensi profil pelajar pancasila dan kriteria umum memenuhi kriteria sastrawi yang salah satunya penulis buku dan karyanya telah mendapatkan penghargaan, diterjemahkan, dialihwahanakan dan dibuat resensi di media yang memiliki kredibilitas.

Dengan adanya kriteria pada poin ini, tentu menutup kemungkinan bagi karya sastra lain yang sebenarnya memiliki tingkat keterbacaan yang sesuai dengan jenjang namun jadi terhalang karena bukunya belum memiliki “derajat”, padahal ada banyak penulis-penulis daerah yang karyanya juga memiliki kualitas, tapi belum mendapatkan tempat.

Menindak hal ini seharusnya kemendikbudristek berinisiasi untuk bekerja sama dengan penulis-penulis daerah, misalnya dengan melakukan kompetisi untuk membuat karya sastra penulis di daerah juga bisa ikut berkontribusi menyertakan karya sastranya menjadi buku rekomendasi.

Program sastra masuk kurikulum bisa menjadi program unggulan, jika benar-benar dipersiapkan dengan matang. Meski awal kehadirannya telah banyak mengundang polemik, tetapi semoga dengan berbenah kembali program ini dapat dilaksanakan dengan penuh persiapan.

Bagaimanapun program ini sangat penting untuk peserta didik dalam impelementasi kurikulum merdeka, memanfaatkan karya sastra guna meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, bernalar kritis dan kreativitas peserta didik. Kita tunggu saja kabar baik dari Kemendik, dengan melahirkan kembali sastra masuk kurikulum edisi revisi.

*Disampaikan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa 2024 yang digelar di Auditorium UMSU Medan pada 24 Oktober 2024.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.