Aceh Tengah Akan Menuju Masa Suram?

oleh
Ilustrasi (net)

Oleh : Dr. Jamhuri, MA*

Tulisan opini terbaru Bardan Sahidi, calon Bupati Aceh Tengah, yang dimuat beberapa media, 15 Agustus 2024, sungguh memancing perhatian publik.


Terkait : Kami Dukung Bardan-Kariman, Bisakah Fee Lebih Kecil?


Bardan mengklaim bahwa fee proyek tidak menjadi motivasi mereka dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Klaim itu menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah benar fee proyek tidak lagi menjadi pendorong utama di balik kontestasi politik lokal?

Untuk memahami implikasi dari klaim tersebut, kita perlu melihat lebih dekat potensi dan tantangan yang dihadapi oleh Kabupaten Aceh Tengah, terutama terkait dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK).

Fee proyek, dikenal sebagai pungutan tidak resmi yang disetor oleh kontraktor demi memperoleh proyek. Hal ini telah lama menjadi isu krusial dalam pemerintahan daerah.

Akibat fee proyek menyebabkan penyimpangan dalam penggunaan anggaran. Dan, sering kali berujung pada tindak pidana korupsi, dengan pelaku yang berakhir di balik jeruji besi.

Namun, apakah penurunan anggaran belanja daerah di Aceh Tengah dalam beberapa tahun terakhir bisa menunjukkan pergeseran dari praktik-praktik ini?

Menurut data dari Dirjen Dana Perimbangan Kementerian Keuangan [lihat: https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd?periode=12&tahun=2021&provinsi=01&pemda=05 ], belanja daerah Kabupaten Aceh Tengah terus menurun sejak tahun 2016 hingga 2023.

Pada tahun 2016, belanja daerah tercatat sebesar Rp 1.608,91 miliar, namun pada tahun 2023 angka tersebut menyusut menjadi Rp 1.188,95 miliar.

Ini mencerminkan pertumbuhan rata-rata tahunan yang negatif sebesar 4,23%. Salah satu komponen utama belanja daerah adalah belanja barang dan jasa, yang mencakup pembelian alat tulis kantor, konsumsi rapat, rehabilitasi bangunan, hingga jasa konsultasi konstruksi.

Anggaran untuk komponen ini juga mengalami penurunan, dari Rp 226,1 miliar pada tahun 2016 menjadi Rp 219,82 miliar pada tahun 2023.

Penurunan ini tidak hanya terbatas pada belanja barang dan jasa. Belanja modal untuk bangunan dan gedung mengalami penurunan yang lebih signifikan, dengan laju penurunan rata-rata 8,25% per tahun.

Sementara itu, belanja modal untuk jalan, irigasi, dan jaringan turun dengan laju rata-rata 18,12% per tahun (Sumber: https://keuangan.acehtengahkab.go.id/media/2022.09/laporan_keuangan_2021_lak1.pdf).

Jika tren ini terus berlanjut tanpa adanya inovasi atau upaya untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah, maka pada tahun 2029, belanja untuk bangunan dan gedung diperkirakan hanya akan mencapai Rp 25,16 miliar. Dan, belanja modal untuk jalan, irigasi, dan jaringan akan menyusut hingga Rp 19,72 miliar.

Risiko yang dihadapi Kabupaten Aceh Tengah semakin meningkat dengan adanya beban tambahan, seperti pembayaran gaji tenaga P3K yang akan dimulai pada Januari 2025.

Jika beban ini harus ditanggung oleh APBK Aceh Tengah, atau jika kebijakan belanja pegawai diperketat oleh Kementerian Dalam Negeri, maka ruang fiskal untuk belanja modal akan semakin terbatas.

Lebih jauh, jika kita menggabungkan belanja modal untuk bangunan gedung dengan belanja modal untuk jalan, irigasi, dan jaringan, serta memperhitungkan keuntungan rata-rata perusahaan kontraktor sebesar 30%, maka nilai proyek yang akan diperoleh perusahaan pada tahun 2029 hanya sekitar Rp 13,46 miliar.

Ini adalah angka yang jauh dari cukup untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang signifikan.

Tambahan pula, Kabupaten Aceh Tengah saat ini masih bergulat dengan defisit anggaran. Dan, diperkirakan akan semakin memburuk akibat skandal BPRS Gayo sebesar Rp 40 miliar.

Dengan kemungkinan defisit anggaran yang dapat melampaui Rp 100 miliar pada tahun 2025, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, baik gedung maupun jalan, kemungkinan besar akan jauh lebih kecil dari yang diperkirakan.

Dalam konteks ini, klaim Bardan Sahidi mengenai fee proyek tampak seperti sebuah pernyataan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

Di tengah penurunan anggaran dan meningkatnya tekanan fiskal, risiko manipulasi anggaran demi kepentingan pribadi tetap tinggi.

Tanpa reformasi yang serius dan inovasi dalam pengelolaan anggaran, Kabupaten Aceh Tengah menghadapi masa depan yang suram. Semakin mengkhawatirkan kemampuan daerah untuk membangun infrastruktur yang vital bagi kesejahteraan masyarakat. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.