Pangkal Panas Kota Banda Aceh

oleh

Oleh : Yopi Ilhamsyah*

Tercatat sejak 15 Juli, kota Banda Aceh disengat teriknya matahari. Suhu udara pada Sabtu 20 Juli menembus 37,9 derajat Celcius. BMKG Blang Bintang melaporkan sebagai yang terpanas di Indonesia. Pada Minggu 21 Juli, suhu udara masih bertahan diangka 37 derajat Celcius. Mengapa bisa seterik itu?

Ada dua faktor yang melatar belakangi kemunculan udara kelewat panas ini. Yang pertama adalah faktor alam yang disebabkan oleh letak geografis kota Banda Aceh sementara yang kedua adalah faktor antropogenik (tindakan manusia) yang bertanggung jawab terhadap berubahnya iklim kota.

Leeward/Rainshadow

Ditinjau dari posisi geografisnya, Banda Aceh berada di barat laut lembah Gunung Seulawah. Wilayahnya diapit oleh perbukitan di timur dan pegunungan Bukit Barisan di bagian barat.

Pada musim barat yang berlangsung dari bulan Juni hingga minggu kedua September, kota Banda Aceh beralih menjadi daerah leeward, suatu wilayah yang berada di bawah angin.

Daerah leeward ini dalam istilah yang lebih populer dikenal dengan sebutan daerah di balik gunung. Konsekuensinya, kota Banda Aceh yang berada di balik gunung menjadi wilayah kering dan panas. Mengapa demikian?

Selama musim barat di Aceh, angin bertiup dari arah barat daya menuju timur laut. Dalam perjalanannya, angin baratan ini membawa banyak uap air dari lautan tropis yang menguap akibat panas.

Ketika tiba di wilayah barat Aceh yang bergunung-gunung, udara lembab yang mengandung uap air ini mengembun dengan cepat lalu terbentuklah awan-awan di lereng pegunungan Bukit Barisan bagian barat. Awan-awan ini terus berkumpul membentuk awan hujan dan hujan pun turun setelahnya.

Angin baratan terus bergerak menuju timur laut. Namun, kali ini udara yang mengalir sudah dalam kondisi kering. Ketika udara kering ini menerpa permukaan maka yang timbul adalah sensasi panas. Panas inilah yang kita rasakan sekarang ini.

Daerah leeward ini membentang dari sebelah utara hingga timur Aceh. Ini mengapa Sabang dan Aceh utara menjadi dua kabupaten/kota di antara sepuluh daerah di Indonesia dengan suhu tertinggi pada Sabtu 20 Juli, masing-masing 35,6 dan 34,6 derajat Celcius.

Selanjutnya, sepanjang daerah leeward ini menjadi daerah bayang-bayang hujan atau dikenal dengan istilah rainshadow. Dampaknya wilayah rainshadow ini mengalami defisit hujan.

Inilah mengapa karakteristik iklim di Aceh berbeda antara wilayah barat dengan wilayah di bagian timur dan utara Aceh. Di barat basah sementara kita yang tinggal di timur dan utara Aceh justru mengalami kekeringan, khususnya selama musim barat.

Ketika udara kering ini turun di balik pegunungan, udara mengalami akselerasi kecepatan. Akibatnya, angin bergerak dengan kecepatan tinggi menuju permukaan.

Sesampainya di permukaan, udara kembali memantul ke angkasa menciptakan efek turbulensi di permukaan. Inilah yang kemudian menimbulkan musibah badai angin di Kabupaten Aceh Utara pada Kamis 18 Juli.

Selama musim barat, kita yang tinggal di balik gunung kerap melihat selang-seling gulungan awan di langit. Itulah efek dari gerakan naik turunnya udara kering di daerah leeward yang menimbulkan badai di permukaan. Fitur gulungan awan ini dapat menjadi penanda akan datangnya badai angin.

Kearifan lokal dalam menentukan orientasi pembangunan rumah di Aceh tempo dulu juga menghindari angin baratan yang panas nan merusak ini.

Sejatinya, efek leeward/rainshadow terhadap kemunculan panas di suatu daerah adalah hal biasa. Namun menjadi tidak biasa karena kondisi alam yang telah jauh berubah. Dampaknya, panas yang kita rasakan akhir-akhir ini menjadi luar biasa.

Urban Heat Island

Kota Banda Aceh sedang tumbuh modern. Arus urbanisasi merubah lanskap kota. Untuk ini ada istilah Urban Heat Island atau pulau panas kota di mana suhu di kota menjadi lebih tinggi dibanding daerah di sekitarnya.

Katakanlah terdapat dua daerah rural (desa) di antara sebuah kota. Suhu di kedua daerah rural ini lebih rendah dibanding suhu di kota. Jika kita tarik garis maka akan membentuk sebuah pulau di mana suhu tertinggi akan tepat berada di kota. Inilah yang kemudian disebut dengan Urban Heat Island (UHI).

Penulis berpendapat fenomena UHI sebagai faktor kedua yang menyebabkan panas di kota Banda Aceh. UHI ini juga yang menyebabkan Banda Aceh mengalami panas sepanjang waktu, termasuk di malam hari.

Sifat material menyerap panas terlebih dahulu untuk kemudian di lepas kembali. Jalan-jalan aspal, infrastruktur kota bermaterial beton telah menjadi reservoir panas untuk siap dilepas. Pelepasan panas ini berlangsung di malam hari.

Suatu ketika pada Jum’at malam 20 Juli, penulis berada di Terminal Batoh Banda Aceh. penulis sempat merasakan panas yang muncul dari jalan beton di lingkungan terminal.

Panas ini selanjutnya naik ke atmosfer menyebabkan suhu tinggi di lapisan atas. Sejatinya, suhu menurun seiring bertambahnya ketinggian. Namun, efek dari UHI menyebabkan kondisi atmosfer berbalik yang dikenal dengan istilah inversion di mana suhu tetap tinggi meski kita berada di ketinggian sekalipun.

Akibatnya, panas tetap berada di permukaan, terperangkap di atmosfer. Inilah yang kemudian menimbulkan suhu ekstrem berhari-hari seperti yang kita rasakan belakangan ini. Minimnya vegetasi di kota memperparah keadaan.

Ekses dari fenomena UHI dapat dikenali juga dari peningkatan suhu di malam hari sehingga menjadi lebih panas dibanding malam-malam biasanya.

Tidak hanya Banda Aceh, kota-kota lain di Aceh termasuk kota Takengon juga sedang tumbuh. Efek UHI mulai datang menghantui.

Lawan panas dengan pohon. Inilah slogan yang tepat guna meminimalisir resiko iklim akibat Urban Heat Island. Untuk itu, aksi nyata dibutuhkan!

*Dosen Meteorologi Laut, Fakultas Kelautan dan Perikanan USK. Peneliti Sains Atmosfer Pusat Riset STEM USK

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.