Prilaku Oversharing (Tiada Hari Tanpa Posting) di Media Sosial

oleh

Oleh : Prof. Dr. Lukman Hakim, M.Ag*

Hari ini media sosial sudah menjadi kehidupan kedua bagi serata individu di dunia. Di Indonesia, menurut data dari We Are Social pada Januari 2021 menyebutkan bahwa rata-rata durasi penggunaan media sosial mencapai 3 jam 14 menit perharinya.

Penggunaan media sosial ini baik dalam batas yang wajar hingga melampaui batas kewajaran dalam memposting informasi pribadi mereka.

Tulisan ini saya mulai dari kebijakan penyelenggara haji di Arab Saudi yang pernah melarang jamaah haji untuk membawa kamera ke masjid nabawi dan masjidil haram.

Semua tas tentengan jamaah akan diperiksa di pintu-pintu masuk masjid. Pelarangan ini disebabkan kegemaran para jamaah berfoto ria di dalam masjid yang terkadang menganggu aktifitas ibadah jamaah yang lain.

Namun pelarangan bawa kamera ini sulit diterapkan pada android, karena pada android fungsi sebagai kamera menyatu dengan fungsi komunikasi sekaligus.

Kecendrungan berfoto ini menjadi trend tersendiri di kalangan jama’ah untuk kemudian mempostingnya ke sosial media.

Membuat status “Ya Allah nikmat sekali beribadah di rumahMu ini, izinkan kami agar bisa hadir kembali kesini” sambil mengunggah fotonya yang masih berpakaian ihram di keramaian tempat thawaf atau tempat lainnya.

Demikian sekedar penggambaran tentang kecenderungan sebagian prilaku pengguna media sosial hari ini.

Oversharing: Tanpa Hari Tanpa Posting

Tulisan ini mengetengahkan sebuah kecenderungan yang kerap dialami oleh sebagian pengguna media sosial yang disebut oversharing.

Oversharing ini adalah sebuah kecenderungan untuk memposting secara berlebihan di media sosial. Sebuah kecenderungan memposting apapun yang dilihat atau yang dikerjakan baik berupa foto, video atau informasi pribadi terkait dengan aktifitas kesehariannya.

Orang yang kecanduan oversharing ini mempunyai kegemaran yang di luar batas kewajaran untuk memposting,anpa peduli apakah konten yang dia posting itu bermanfaat bagi orang lain.

Uniknya mereka yang mengidap oversharing merasa prilakunya ini adalah hal yang wajar dan bahkan mereka sering tidak merasa telah melakukannya. Padahal di lain pihak , bisa jadi teman-temannya merasa tidak nyaman bahkan kesal dengan prilakunya tersebut.

Penguna media yang oversharing ini biasanya didorong oleh sebuah motif jiwa agar semua orang tau tentang aktivitas pribadinya baik berupa properti hingga gaya hidupnya. Mereka merasakan sebuah kenyamanan setelah mempostingnya ke media sosial.

Merasa tidak sempurna aktivitas jika tidak “melaporkan” ke publik. Pengidap oversharing akan merasa dihargai jika mendapatkan “like” dan respon positif dari pengikutnya. Memposting sesuatu ke media sosial dalam batas yang wajar adalah manusiawi.

Namun jika telah berlebihan akan menjadi sesuatu yang berbahaya. Kebiasaan oversharing ini bisa menimbulkan berkurangnya produktifitas untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat.

Karena keinginan berlebihan memposting ini akan menyita banyak waktunya. Lebih dari itu, prilaku oversharing ini juga akan membuat pikiran tidak tenang apalagi jika respon pihak lain memberikan komentar negatif, yang tentunya jauh dari harapannya.

Islam sendiri memberikan penuturan yang jelas terkait aktifitas manusia. Jika niat dari sebuah amalan dimaksudkan untuk mendapat pujian manusia, bukan untuk mendapatkan ridha Allah maka amalannya akan tertolak.

Dalam sebuah hadist Rasullullah bersabda: Innamal ‘amalu binniyat, bahwawa setiap amalan sangat tergantung kepada niat. Jika prilaku oversharing ini tidak jelas niatnya maka akan masuk dalam bab ujub dan riya dalam kajian tasawuf, nauzubilahi minzalik.

Bijak di Media Sosial Penggunaan media sosial ini dalam batas tertentu memberikan manfaat yang cukup besar untuk mempermudah komunikasi antar komunitas dan individu.

Melalui media sosial kita bisa membuat komunikasi lebih efisien mendekatkankan yang jarak dan mempercepat dari segi waktu. Untuk keperluan bersama tidak jarang maka dibuatlah grup komunitas-komunitas tertentu sebagai wahana komunikasi yang lebih efisien.

Namun dalam prakteknya keberadaan grup komunitas ini terkadang menjadi terganggu jika ada dari anggota grup tersebut yang memiliki kecenderungan oversharing. Karena postingan yang terlalu dominan sehingga banyak informasi-informasi lainnya yang lebih penting menjadi luput dan tidak terbaca.

Di sini akan beberapa pertimbangan bijak yang sejatinya dipertimbangkan sebelum memposting sesuatu di grup komunitas: Pertama, pastikan bahwa yang kita posting itu sesuai dengan tujuan pembentukan grup tersebut.

Misalnya jika grup itu grup komunnitas zikir maka yang layak diposting adalah tentang jadwal pertemuan, tentang ihwal zikir bersama, dan segala

informasi lain terkait dengan ibadah. Dalam konteks ini tentunya tidak cocok dalam grop zikir seperti ini kita memposting tentang pertanian, pekerjaan kantor dll.

Kedua, tidak memposting hal-hal privasi ke dalam grup komunitas. Sebab tidak semua anggota grup kita berkepentingan mengetahui informasi pribadi kita.

Dalam hal ini kita harus pandai-pandai membedakan mana ranah prifasi mana ranah publik, tidak juga kita perlu memposting kerjaan-kerjaan rumah tangga kita kegrup komunitas.

Ketiga, mengenali semua figur anggota grup yang tentunya ada di antara anggota grop adalah orang-orang yang kita segani baik dari segi kharisma dan keilmuanya. Sehingga mungkin candaan dan postingan kita harus sedikit disesuaikan.

Hal ini tentunya beda jika kita membuat grop kecil yang anggotanya terbatas, mungkin di sana candaan dan lucu lucuan lebih terbuka.

Keempat, Sebelum kita memposting sesuatu itu kita mungkin bisa memprediksi respon yang akan muncul dari anggota grup terhadap postingan kita.

Mungkin respon jiwa ini tidak secara terang terangan mereka ungkapkan, tapi kita sejatinya seakan bisa menyelami apa yang mereka rasakan. Postingan kita adalah cerminan dari jiwa kita.

Orang akan dapat menerka kedalam intelegensia, karakter, spiritualitas dan segala hal tentang kita postingan kita. Maka perlu pertimbangan bijak kita dalam bermedia sosial.

Pemaknaan hadith Rasullah “ Katakanlah yang baik atau lebi baik diam” untuk era androit ini bisa diterjemahkan “ postinglah yang bermanfaat atau lebih baik tidak memposting”. Wallahualam bishawaf…!

*Dosen Teologi Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.